Beragama dgn Tutur Kata yg Baik

Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977: 50) menyebut manusia Indonesia tukang menggerutu. Hanya saja, katanya, mereka tak berani melakukannya secara terbuka, beraninya di dalam rumah atau bersama kawan-kawannya yg sepaham atau seperasaan dgnnya.

 

Namun, naga-naganya tesis tersebut hari ini mulai terbantahkan. Pasalnya, adanya media sosial saat ini membuat mereka dapat menggerutu secara terbuka. Setaknya, mereka dapat menyindir dgn tanpa menyebutkan nama orang yg dimaksudnya.

Kita dalam hal ini perlu ingat bahwa media sosial memberikan pengawasan terhadap diri kita masing-masing yg dilakukan oleh pengguna lain. Karenanya, kita harus berhati-hati dalam bersikap dan mengunggah sesuatu. Setiap berkomentar atau mengunggah sesuatu, pastikan bahwa kata-kata yg kita pilih ialah yg terbaik, tak menyinggung perasaan orang lain dan merugikannya.

Dalam hal ini, Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 83.

… ÙˆÙŽ قُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا …

“… dan berkatalah kalian semua kepada manusia dgn perkataan yg baik…”

Dalam Tafsir al-Jalalain Juz Awal, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata husna sebagai suatu bentuk masdar dan sifat dari kata yg terbuang berupa masdar dari kata kerja perintah sebelumnya, yakni qaula. Kata tersebut, lanjutnya, bermakna mubalaghah, kelipatan atau kesungguhan. Hal serupa juga disampaikan Al-Baidhawi dalam kitab tafsirnya.

Artinya, perintah buat berkata kepada manusia dgn baik itu sungguh-sungguh harus dilaksanakan. Apalagi Allah swt. dalam kalimat tersebut menggunakan kata perintah (fiil amar). Dalam kajian Ushul Fiqih, perintah itu menunjukkan kewajiban pelaksanaannya.

Menambahkan keterangan al-Suyuthi, Imam Ahmad al-Shawi dalam Hasyiyah Al-Shawi menjelaskan bahwa kata manusia di situ berlaku umum, tak saja kepada orang dgn agama atau bangsa tertentu. Ayat tersebut juga, katanya, senada dgn sebuah hadis wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin, bersikap kepada manusia dgn akhlak yg baik.

Sementara itu, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzhim Juz Awal menjelaskan maksud ayat tersebut ialah berbicara dgn baik dan bersikap rendah hati kepada mereka. Pun dalam mengingatkan orang lain buat berlaku baik dan mencegah diri dari kemungkaran juga harus dilakukan dgn baik, bukan dgn kekerasan.

Berbeda dgn Imam Ibnu Katsir, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani menjelaskan dalam kitab tafsirnya yg berjudul Marah Labid Juz Awal (tt: 22), maksud dari qulu li al-nasi husna ialah perkataan yg dapat menghasilkan manfaat. Artinya, setiap kali kita mengunggah sesuatu di media sosial haruslah menghasilkan manfaat. Sebab, bila tak bermanfaat, unggahan kita sia-sia atau justru merugikan orang lain. Hal ini yg membuat medsos menjadi berbahaya bagi kita.

Kita tak seenaknya dapat mengunggah, menggerutu, atau malah membicarakan orang lain di media sosial. Pasalnya, kita diperintah Allah swt. buat selalu menjaga perkataan kita dgn ucapan atau tulisan di media sosial yg baik.

 

Selain itu, Quraish Shihab dalam bukunya yg berjudul Dia di Mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (2004: 213) mengingatkan bahwa apapun yg telah keluar dari lisan atau jemari kita di media sosial itu menawan kita sendiri. Hal ini berkaitan juga dgn ayat Al-Qur’an pada Surat Qaf (50) ayat 18.

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tiada suatu ucapan pun yg diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yg selalu hadir. (Q.S. Qaf [50]: 18).

Oleh sebab itu, kita harus mawas diri, sebetulnya, selain diawasi oleh netizen, Raqib dan Atid juga selalu menyaksikan setiap gerak-gerik kita. Dengan mengingat itu, kita segan buat berlaku dan berkata yg tak elok, meskipun di media sosial. Jika warganet, termasuk artis yg diceritakan di atas, mengingat hal ini, tentu peristiwa yg tak dimaukan tersebut tak mau terjadi.

Selanjutnya, setiap kali kita mengunggah sesuatu di media sosial janganlah sampai sia-sia. Terkait hal ini, saya jadi ingat sebuah syair yg saya dengar saat masih berseragam putih abu-abu pada upacara Bendera Merah Putih setiap Senin. Kepala Madrasah dalam amanatnya mengutip sebait syair bermetrum basith yg dibuat seorang kiai yg juga penyair, yakni KH Akyas Abdul Jamil Buntet Pesantren Cirebon.

Tushawwitu tang ting tung wa tot tet wa tot wa laa * tubali bi jironin faqauluka dlai’un (kamu bersuara tang ting tung dan tot tet tot sedangkan tak peduli dgn tetangga, maka ucapanmu sia-sia belaka).

Syair yg berbentuk talmi’, campuran bahasa Arab dan bahasa ‘ajam (Jawa), itu memiliki makna yg mendalam. Muqaddam Tarekat Tijaniyah itu sebetulnya mengingatkan kita buat tak bersikap sia-sia dgn berkata macam-macam, tetapi tak peduli terhadap keadaan tetangga di sekitar.

Maksudnya, kita mengunggah banyak hal di media sosial, memerkan sesuatu, menunjukkan pribadi, tetapi tak memiliki kepedulian terhadap sesuatu yg lain, perbuatan tadi hanyalah sia-sia, tak memiliki arti sama sekali. Mafhum mukhalafah dari peringatan Kiai Akyas melalui syairnya itu, kita sebetulnya harus memberikan manfaat bagi orang lain. Jangan hanya sesumbar, mengatakan pelbagai macam hal, tetapi tak berbentuk laku sama sekali.

Rasa-rasanya, dalam hal ini, Mochtar Lubis (1977: 53) benar, bahwa ciri manusia Indonesia ialah kurang perduli dgn nasib orang, selama tak menimpa dirinya atau kerabatnya. Padahal, kita juga perlu mengingat bahwa Rasulullah saw. bersabda bahwa orang Muslim sebetulnya ialah dia yg mampu menjaga keselamatan muslim lain dari lisan dan tangannya.

Lebih dari itu, ada peribahasa yg menyebut bahwa memang dasar lidah tak bertulang. Banyak manusia yg terpeleset sebabnya. Tak ayal, ada pepatah yg menyebut bahwa keselamatan manusia terletak pada penjagaannya terhadap lisan.

Oleh sebab itu, mari kita jaga lisan dgn mengucapkan atau mengunggah hal-hal baik saja di media sosial, yakni yg dapat melahirkan manfaat kepada manusia lainnya. Sebab, sebaik-baik manusia ialah dia yg paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

 

Muhammad Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)

*) Artikel ini terbit atas kerja sama dgn Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI TAGS: Moderasi Beragama Islam Moderat Moderasi Islam





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.