Cara Rasulullah Mengelola Kekayaan Alam

Rasulullah ialah seorang pemimpin negara, selain sebagai pemimpin agama (Nabi dan Rasul Allah). Ia menjadi pucuk pimpinan ‘negara Madinah.’ Maka apapun yg menjadi urusan masyarakat Madinah, secara otomatis juga menjadi tanggung jawab Rasulullah. Termasuk dgn masalah ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam ‘negara Madinah.’

Lalu, bagaimana cara Rasulullah mengelola kekayaan alam yg ada Madinah dan wilayah yg berada di bawah kekuasaannya. Pertama, bagi hasil. Dalam kitab Zaadul Ma’ad, sebagaimana dikutip kitab Syakhshiyah Ar-Rasul, diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah hendak mengusir kaum Yahudi dari Khaibar sebab mereka mengkhianati perjanjian bersama, Piagam Madinah. 

Namun, kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah supaya mereka tetap diizinkan buat tinggal di Khaibar. Alasannya, mereka mau mengolah dan memelihara tanah Khaibar. 

“Karena kami lebih mengetahui tentangnya (tanah Khaibar) ketimbang kalian,” kata kaum Yahudi meyakinkan Rasulullah. 

Karena tak memiliki orang yg cukup dan keahlian –yg lebih baik dari kaum Yahudi- di bidang pengolahan tanah, akhirnya Rasulullah membiarkan kaum Yahudi buat tinggal di Khaibar dan mengolah tanahnya. Namun Rasulullah memberikan syarat, yaitu setengah hasil kekayaan tanah Khaibar, baik buah atau pun sayuran, buat kaum Muslim. Sedangkan setengah sisanya buat kaum Yahudi.   

Kedua, dikelola orang lain sampai waktu tertentu. Dalam kasus kaum Yahudi di Khaibar di atas, Rasulullah tak hanya memberikan syarat bagi hasil bagi kaum Yahudi tapi juga membatasinya dalam jangka waktu tertentu. 

Rasulullah sadar bahwa pada saat itu memang tak ada kaum Muslim yg memiliki keahlian lebih baik dari kaum Yahudi dalam hal mengelola tanah Khaibar. Namun Rasulullah sadar bahwa suatu saat pasti ada kaum Muslim yg memiliki keahlian di bidang tersebut. Sehingga Rasulullah hanya mengizinkan kaum Yahudi buat tinggal di Khaibar dan mengolah tanahnya dalam jangka waktu yg dimaukannya, tak terus-terusan. 

Alasan Rasulullah membiarkan dan mengizinkan kaum Yahudi tinggal di Khaibar ialah buat membangkitkan pemanfaatan tanah produktif sebaik-baiknya dan meningkatkan semangat aktivitas ekonomi pertanian masyarakat setempat, tak lebih.

Ketiga, menghidupkan lahan yg mati. Rasulullah selalu menyerukan kepada para sahabatnya buat menghidupkan tanah-tanah yg tak dikelola. Rasulullah tak membiarkan ada lahan sejengkal pun di wilayah kekuasaan umat Islam yg mati atau tak dikelola.

“Barang siapa menghidupkan lahan yg mati, maka ia ialah miliknya,” kata Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya Muwattha’.

Dalam hadits lain, Rasulullah juga mendorong supaya para kaum Muslim menanam suatu tanaman atau menaburkan benih di atas lahan-lahan kosong. Mengapa? Karena siapapun yg memakan hasilnya itu –baik manusia atau pun hewan- maka yg menaman atau menabur mau mendapatkan pahala sedekah.

“Siapapun Muslim yg menanamkan suatu tanaman atau menabur suatu benih, kemudian hasilnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, melainkan ia menjadi sedekah baginya,” kata Rasulullah.

Demikian cara Rasulullah mengelola kekayaan alam di wilayah yg dikuasainya dan umat Islam. Memang, kekayaan alam pada zaman Rasulullah tak lah se-kompleks seperti saat ini. Dulu kekayaan alam hanya yg tampak di atas permukaan tanah, saat ini kekayaan alam yg lebih melimpah ada di dalam bumi seperti emas, timah, batubara, gas, minyak, dan lainnya.  

Namun demikian, secara garis besar Rasulullah telah memberikan ‘panduan kebijakan’ tentang bagaimana cara mengelola kekayaan alam. Yakni kekayaan alam harus dikelola buat kemaslahatan bersama, bukan buat perorangan atau kelompok. (A Muchlishon Rochmat)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.