Dasar Relasi Antarumat Beragama ialah Damai

Seorang sejarawan Islam kontemporer bernama Ahmad Ma’mur Asiry dalam karyanya Mujir al-Tarikh al-Islami min ‘Ahdi Adam ila ‘Ashrina al-Hadlir, menyampaikan bahwa:

 

كان بالمدينة ثلاث طوائف: المسلمون، والعرب غير المسلمين، واليهود (بنو النضير وبنو قريظة وبنو قينقاع)ØŒ فوضع الرسول – ï·º – معاهدة لضمان الأمن والسلام، ولخلق جو من التعاون والتسامح بين هذه الطوائف

 

“[Saat Piagam Madinah ditandatangani] di kota itu terdapat tiga golongan besar, yaitu kaum Muslimin, orang Arab non-Muslim, dan kaum Yahudi (Bani Nadlir, Bani Quraidhah, dan Bani Qainuqa). Untuk mempersatukan mereka, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan fondasi kesepahaman jaminan keamanan harta benda dan keselamatan jiwa, menciptakan iklim masyarakat buat saling tolong-menolong dan toleransi.” (Mujir al-Tarikh al-Islamy min ‘Ahdi Adam ila ‘Ashrina al-Hadlir, juz 1, h. 70)

 

Di dalam manuskrip yg berjudul al-Siyasatu al-Syar’iyyah, juz 1, halaman 782, disebutkan bahwa akad jaminan keamanan dan keselamatan jiwa ini, pada awalnya tak dibangun di atas landasan akad dzimmah (jaminan perlindungan sebab patuh pada pemerintahan Islam, red), melainkan akad mu’ahadah (kesepakatan buat hidup bersama secara damai, red), tanpa ada keterikatan salah satu pihak buat menyerahkan upeti kepada pihak lainnya.

 

Dengan mencermati mau hal ini maka tak heran bila kemudian para ulama Ahlussunnah wa al-Jamaah menyatakan bahwa landasan utama relasi sosial antarmanusia ialah damai. Syekh Mahmud Abu Zahrah (w. 1394 H) di dalam Khatam al-Nabiyyin shalallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, juz 2, h. 520 menyatakan:

 

ولأن الأصل في العلاقة هو السلم، والحرب لا تكون إلا إذا دفعت إليها ضرورة رد الاعتداء بمثله مع التزام الفضيلة كما ذكرنا، وإذا كانت الموادعة فقد زالت ضرورة الحرب، والضرورة تقدر بقدرها

 

“Karena sesungguhnya landasan relasi sosial antarmanusia itu ialah damai maka perang tak dilakukan kecuali sebab adanya kondisi darurat berupa menolak serangan musuh dgn kekuatan yg sepadan bersama tetap menjunjung nilai-nilai keutamaan. Dan apabila dgn muwada’ah (gencatan senjata) sifat daruratnya perang itu dapat dihilangkan maka intensitas kedaruratan pertahanan dari serangan tersebut harus ditakar ulang.” (Khatam al-Nabiyyin shalallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, juz 2, h. 520).

 

Pendapat senada dgn Syekh Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) juga disampaikan oleh sejarawan Nadiyah Syarif al-Umary di dalam karyanya yg berjudul Adlwa’un ‘ala al-Tsaqafah al-Islamiyyah, juz 1, h. 283:

 

يتبين مما تقدم أن القتال في الإسلام ما هو إلا وسيلة لحماية الدعوة والدعاة من العدوان، وإن أصل العلاقات الدولية في اعتبار الإسلام السلم والسلام

 

“Berdasarkan penjelasan di atas maka jelas tampak bahwasanya sesungguhnya peperangan/konfrontasi di dalam Islam ialah semata hanya merupakan wasilah guna menjaga eksistensi dakwah dan melawan serangan musuh. Fondasi sebenarnya dari relasi antarumat beragama dalam aspek kenegaraan ialah damai dan keselamatan” (Adlwa’u ‘ala al-Tsaqafah al-Islamiyyah, juz 1, h. 283).

 

Pertanyaannya kemudian, apakah upaya rekonsiliasi damai dgn agama lain ini merupakan yg wajib dilakukan oleh Muslim ketika mereka dalam kondisi mendominasi dan menjadi mayoritas, atau sebaliknya ketika mereka dalam kondisi sedang lemah? Pertanyaan ini penting mengingat sebagian masyarakat ada yg menganggap bahwa relasi antara kedua pemeluk agama yg berbeda ialah senantiasa bersitegang.

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, tampaknya menarik buat menyimak penafsiran dari salah seorang mufasir kenamaan, Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:

 

فَإنِ انتَهَوْا فَلا عُدْوانَ إلاَّ عَلى الظّالِمِينَ

 

“Ketika mereka telah berhenti maka tiada lagi perlawanan kepada mereka, terkecualii atas pihak-pihak yg telah berlaku aniaya.”

 

Dalam hal ini, dgn menukil perkataan dari Mujahid (seorang mufassir dari kalangan Tabi’in), Ibnu Katsir menyampaikan penjelasan tentang ayat ini sebagai berikut:

 

فإن انتهوا عما هم فيه من الشك وقتال المؤمنين فكفوا عنهم، فإن من قاتلهم بعد ذلك فهو ظالم ولا عدوان إلا على الظالمين، وهذا معنى قول مجاهد: لا يقاتل إلا من قاتل

 

“Apabila mereka (kaum kafir) telah berhenti dari apa yg mereka ragukan, dan mengakhiri konfrontasinya terhadap kaum mukminin maka tahanlah diri kalian dari mereka. Sesungguhnya orang yg memerangi mereka setelah penghentian konfrontasi tersebut ialah pihak yg telah berlaku aniaya. Tiada permusuhan lagi ditujukan melainkan atas pihak-pihak yg telah berbuat aniaya. Inilah makna yg dikehendaki oleh Mujahid ketika menyebut: tiada perang melainkan kepada pihak yg sengaja memerangi.” (Tafsir Al-Qur’an al-Adhim li Ibn Katsir, juz 1, h. 227)

 

Penafsiran Ibn Katsir ini senada dgn bunyi Firman Allah SWT di dalam ayat lain:

 

وقاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقاتِلُونَكُمْ ولا تَعْتَدُوا إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ المُعْتَدِينَ

 

“Dan berperanglah kalian di jalan Allah terhadap orang-orang yg memerangi mereka, namun jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah SWT tak mencintai kaum yg melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah: 190)

 

Di dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

 

الَّذِينَ عاهَدْتَ مِنهُمْ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وهُمْ لا يَتَّقُونَ، فَإمّا تَثْقَفَنَّهُمْ فِي الحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِمْ مَن خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ، وإمّا تَخافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيانَةً فانْبِذْ إلَيْهِمْ عَلى سَواءٍ إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الخائِنِينَ

 

“(Yaitu) orang-orang yg kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, setelah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan maka cerai-beraikanlah orang-orang yg di belakang mereka dgn (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan bila kamu khawatir mau (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dgn cara yg jujur. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yg berkhianat.” (Q.S. Al-Anfal: 56-58)

 

Di dalam ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa peperangan hanya ditujukan atas pihak yg melampaui batas. Sementara di dalam QS Al-Anfal, Allah menegaskan termasuk bagian dari pihak yg diperangi ialah pihak yg melanggar perjanjian serta berlaku khianat terhadap isi kesepakatan.

 

Alhasil, dgn berpedoman pada keterangan di atas, sikap toleransi umat Islam senantiasa mengacu pada fondasi kehidupan damai dan selamat, tak hanya ketika mereka sedang menjadi minoritas saja maupun saat mereka menjadi mayoritas/mendominasi. Itu sebabnya, sejarawan Nadiyah Syarif al-Umary juga berani menarik sebuah kesimpulan bahwa:

 

الإذن بقتال قوى الشر متمثلة باليهود والنصارى الذين تكتلوا ووقفوا ضد الدعوة الإسلامية ومنعوا الناس من الدخول في دين الله

 

“Hadirnya izin dalam Islam buat melakukan konfrontasi terhadap kaum Yahudi dan Nasrani ialah terhadap mereka yg berusaha membatalkan dan menghentikan dakwah Islam saja, serta melarang masyarakat dari masuk ke dalam agama Allah (Islam).” (Adlwa’u ‘ala al-Tsaqafah al-Islamiyyah, juz 1, h. 283).

 

Wallahu a’lam bish-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.