Perlindungan Konsumen dalam Sistem Jual Beli menurut Islam

Ketika kita berbicara mengenai konsumen maka kita berbicara mengenai pihak yg menjadi objek akibat suatu introduksi produk atau jasa. Untuk kasus jual beli (bai’) maka kita bicara soal pembelinya (musytari). Untuk kasus akad sewa jasa (ijarah) maka kita seolah berbicara mengenai perlindungan terhadap penyewa atau pengguna jasa (musta’jir). Dan bila kita berbicara soal kasus investasi (istitsmar) maka kita berbicara mengenai perlindungan terhadap investor.

 

Dari ketiga sektor bidang usaha di atas, yakni jual beli, jasa, dan investasi, tentu saja objek yg menjadi landasan perlindungan konsumen dalam Islam secara berturut–turut, terletak pada (1) mabi’ (barang yg diniagakan), (2) manfaat sewa dan objek sewa, dan (3) sektor investasi.

 

Baca juga: Ketika Barang Pesanan Online Tidak Sesuai Pesanan

 

Dari ketiga objek inilah, selanjutnya, kajian tentang perlindungan konsumen dalam Islam itu memiliki cabang-cabang yg sangat kompleks bila dihadapkan pada kondisi di lapangan. Kali ini kita hadirkan terlebih dulu paradigma perlindungan konsumen jual beli produk riil dalam Islam.

 

Sebagaimana kita tahu bahwa jual beli merupakan sektor yg pelik buat dibahas, mengingat jual beli dalam Islam itu ada empat pola; 2 di antaranya sah yaitu jual beli barang fisik secara tatap muka atau pemesanan (salam) (ain musyahadah dan syaiin maushuf fi al-dzimmah), dan 1 di antaranya diperselisihkan hukumnya yaitu pada praktik pesan sesuatu yg dapat diwujudkan dalam tempo tertentu (syaiin maushuf fi al-dzimmah ma’a al-imkan al-ijad), dan terakhir ialah jual beli barang gaib yg bersifat ma’dum (fiktif) yg disepakati berhukum haram.

 

Dari setiap mekanisme jual beli itu, tujuan utama dari perlindungan konsumen dalam Islam ialah demi menjaga terbitnya rasa thayyibi al-anfus (bagusnya psiko penerimaan) yg ditengarai oleh rasa saling ridla (‘an taradlin).

 

Itulah sebabnya, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits, beliau bersabda bahwa sesungguhnya jual beli itu hendaknya menerbitkan rasa saling ridla (innama al-bai’u ‘an taradlin).

 

Karena tak semua mekanisme jual beli dilakukan dalam wadah satu majelis maka ditetapkan adanya khiyar (opsi memilih melanjutkan atau membatalkan akad).

 

Dilihat dari sisi majelisnya, khiyar ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: (1) ada khiyar majelis, (2) khiyar syarat, (3) khiyar aib.

 

Khiyar majelis ditengarai oleh penentuan oleh pembeli terhadap barang yg dibeli sebelum berpisah dgn pembeli dari majelis akad atau majelis transaksi. Tujuan dari khiyar ini ialah buat menjaga supaya tak terjadi praktik gharar (ketakpastian) yg merugikan konsumen (pembeli barang).

 

Khiyar syarat ditengarai oleh pilihan terhadap barang yg dijualbelikan beserta ketentuan yg berlaku dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Suatu misal, buat kasus jual beli dgn sistem online, atau sistem salam. Umumnya disyaratkan, bahwa transaksi baru dianggap sebagai deal (terjadi dan sah) bilamana barang telah diterima oleh pembeli, lengkap dgn ketentuannya.

 

Suatu misal, setelah satu minggu barang diterima, ada problem atau tak pada barang, dan pembeli ridla atau tak. Nah, dalam kasus semacam ini, bilamana pembeli kemudian merasa keberatan dgn produk yg diberikan kepadanya maka hak baginya ialah melakukan klaim atas barang dan pembatalan akad. Atau justru sebaliknya, yaitu menerima apa adanya terhadap barang tanpa protes terhadap kekurangan yg ditemuinya.

 

Praktik khiyar syarat semacam ini ialah bagian dari upaya perlindungan terhadap konsumen, bahwa ia harus mendapatkan barang sesuai dgn yg dikehendakinya, tanpa adanya hal yg membuatnya tak dapat menerima terhadap kekurangan yg mungkin ada pada barang. Dan syariat melegitimasi khiyar syarat ini, sebab adanya illat dlarurat li hajati al-nas  (darurat sebab kebutuhan manusia). Buktinya?

 

Tidak semua penjual dan pembeli sebagai yg dapat bertemu langsung dgn penjual di majelis akad. Demikian halnya, barang yg dijualbelikan, terkadang juga tak dapat diketahui cacatnya secara langsung di majelis akad, melainkan meniscayakan harus dipergunakan dulu.

 

Baca juga: Marak Money Game, Siapa Wajib Menanggung Kerugian Konsumen?

 

Itulah sebabnya muncul sistem “garansi” dalam kasus transaksi modern, yg bila dirunut asal muasal dari sistem ini, ialah perkembangan dari khiyar syarat dan khiyar aib (cacat). Dan, masyarakat sangat membutuhkan adanya toleransi syariat di wilayah tersebut. Akhirnya, muncul yg hasil-hasil ijtihad dari para ulama madzhab perihal khiyar setelah mempertimbangkan ‘urf (adat), situasi dan kondisi masyarakat.

 

Kesimpulan

Penetapan syarat dan rukun jual beli dalam Islam, hakikatnya juga dapat dimaknai sebagai kepentingan perlindungan konsumen (pembeli) sekaligus terhadap pedagang. Namun, yg paling pokok ialah kepada konsumen selaku masyarakat luas. Apa buktinya? Bukti yg paling urgen ialah dibolehkannya akad jual beli dgn sistem salam, ialah sebab faktor dlarurat sebab kebutuhan manusia.

 

Adapun mekanisme yg harus dipenuhi pada praktik jual beli dalam Islam ialah terbitnya rasa saling ridla. Untuk menerbitkan rasa itu maka hadir yg dinamakan sistem khiyar.

 

Tujuan dari diterapkannya khiyar, ialah menghilangkan unsur ketaktahuan pembeli, ketakpastian dalam jual beli (gharar), kecurangan, dan lain sebagainya.

 

Inilah indahnya syariat Islam yg telah mengantisipasi semua kebutuhan umat manusia, sehingga dapat terjalin perilaku kehidupan yg adil dan tak menindas antara satu sama lain sebab hak masing-masing penjual dan pembeli dijaga oleh Islam. Wallahu a’lam bish shawab

 

Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.