Diberi Hidangan saat Berpuasa Sunnah Menurut Fiqih

Salah satu ajaran luhur yg diajarkan oleh Islam kepada umatnya ialah ajaran buat bertamu (silaturahmi) dan memberi hidangan kepada tamu. Kedua perilaku baik ini diyakini mau memberikan manfaat dan keberkahan bagi pelakunya, tamu dan tuan rumah.

Pada momen-momen tertentu Islam bahkan mengajarkan buat mengundang orang lain buat menjadi tamu guna menikmati hidangan yg disediakan dan mewajibkan orang yg diundang buat menghadiri undangan tersebut.

Pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat banyak orang yg merasa senang ketika rumahnya didatangi tamu, terlebih tamu tertentu yg bagi tuan rumah ialah orang-orang istimewa. Ungkapan rasa senang atas kunjungan ini tak jarang mendorong pihak tuan rumah buat menyediakan berbagai macam hidangan demi menghormati dan menyenangkan tamunya.

Permasalahan kemudian muncul ketika tuan rumah telah bersusah payah menyediakan hidangan buat sang tamu, namun tamunya tak berkenan menikmatinya dgn alasan sedang melakukan puasa sunah. Tentunya rasa kecewa mau dirasakan oleh tuan rumah.

Lalu bagaimana fiqih Islam menyikapi permasalahan ini. Apa sikap yg mesti dilakukan saat seseorang bertamu ke rumah orang lain dan diberi hidangan berbagai makanan dan minuman namun ia dalam posisi sedang berpuasa. Haruskah ia membatalkan puasanya atau tetap mempertahankannya?

Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’ȋn menjelaskan masalah ini sebagai berikut:

يندب الأكل في صوم نفل ولو مؤكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى

Artinya: “Disunahkan makan (saat bertamu) ketika sedang berpuasa sunah meskipun sunah muakkad buat menyenangkan pemilik makanan, bila mempertahankan puasa memberatkan bagi tuan rumah, meskipun telah berada di akhir waktu siang sebab adanya perintah buat berbuka. Ia mau diberi pahala atas puasa yg telah lewat dan sunah menggantinya di hari yg lain. Namun bila mempertahankan berpuasa tak memberatkan bagi tuan rumah maka tak disunahkan berbuka, bahkan lebih utama mempertahankannya.” (Zainudin Al-Malibari, Fathul Mu’ȋn dalam kitab I’ȃnatut Thȃlibȋn, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2009], juz III, hal. 665).

Dari uraian di atas dapat diambil satu simpulan bahwa ketika seorang yg sedang berpuasa sunah bertandang ke rumah orang, lalu oleh tuan rumah ia dihidangkan makanan maka disunahkan baginya buat membatalkan puasanya dan memakan hidangan yg disuguhkan tuan rumah.

Ini dilakukan dgn tujuan buat menyenangkan tuan rumah yg telah bersusah payah menyiapkan hidangan. Pun ini dilakukan bila dirasa tuan rumah yg telah menyiapkan berbagai hidangan mau merasa kecewa bila hidangannya tak dimakan oleh sang tamu. Namun bila dirasa tuan rumah tak mengapa bila hidangannya tak dimakan maka bertahan buat tetap berpuasa lebih utama dari pada membatalkannya.

Sikap ini juga diambil bila sang tamu sedang berpuasa sunah. Sedangkan bila ia sedang melakukan puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar atau puasa qadla maka ia dituntut buat tetap mempertahankan puasanya dan haram membatalkannya. (Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, I’ȃnatut Thȃlibȋn, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2009], juz III, hal. 665).

Selanjutnya Syekh Zainudin juga menjelaskan bahwa ketika sang tamu membatalkan puasanya demi memakan hidangan dan menyenangkan tuan rumah ia tetap mau diberi pahala atas puasa yg telah dilakukannya. Semisal bila saat bertamu pada jam dua siang, maka puasanya sejak subuh hingga jam dua siang itu mau tetap diberi pahala oleh Allah.

Syekh Zainudin juga memberi solusi buat mengganti puasanya tersebut di hari lain bila yg bersangkutan mau melakukannya. Ini berarti hukum mengganti puasa sunah tersebut ialah sunah, tak wajib.

 

Baca juga: Menguak Makna Puasa-Puasa dalam Islam

 

Simpulan ini berdasar pada sebuah riwayat dari Imam Baihaqi yg menceritakan di mana ketika Rasulullah bertamu dgn sahabatnya yg sedang berpuasa sang sahabat mengatakan “saya sedang berpuasa”. Kemudian Rasulullah menegurnya dgn mengatakan “saudaramu sesama muslim bersusah payah (menyiapkan makanan) buatmu dan kamu mengatakan sedang berpuasa? Berbukalah dan gantilah pada hari yg lain”.

Apa yg diajarkan ulama di atas memang sangat relevan dan sangat sering terjadi di masyarakat. Seringkali, sebab begitu senangnya mau kedatangan tamu tertentu, tuan rumah dgn senang hati bersusah payah menyiapkan berbagai makanan buat dihidangkan kepada sang tamu yg mau datang. Bisa dibaygkan betapa mau kecewanya bila tiba-tiba sang tamu tak berkenan menikmati hidangan yg ada sebab alasan sedang menjalani puasa sunah.

Dengan melihat kebiasaan yg ada, mau lebih baik bila sang tamu yg sedang berpuasa dan mau mempertahankan puasanya mencegah tuan rumah membuatkan hidangan makanan dan minuman. Pencegahan ini dapat dilakukan ketika dilihat tanda-tanda sang tuan rumah hendak membuatkan hidangan.

Bila kedatangan sang tamu sebelumnya telah dikomunikasikan terlebih dahulu, sang tamu dapat menyampaikan kepada tuan rumah buat tak menyiapkan apapun mengingat dirinya sedang berpuasa.

 

Baca juga: Inilah Beberapa Hukum Berpuasa​​​​​​​

Dengan demikian maka semua pihak mau merasa senang dan ridlo. Sang tamu dapat tetap melanjutkan puasanya tanpa terbebani dgn perasaan tak enak kepada tuan rumah, sedangkan tuan rumah tak perlu kecewa atas hidangannya yg tak dimakan oleh tamunya. Wallȃhu a’lam.

Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkyudan Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal.

 

 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.