Difabel Muslim Indonesia, Sejauh Mana Terpenuhi Hak-haknya?

Selain menghadapi tantangan terkait fasilitas dan layanan umum yg tak ramah disabilitas, para penyandang disabilitas muslim di Indonesia juga dihadapkan pada persoalan tata cara beribadah sesuai syariat Islam yg dipandang belum mengakomodasi kondisi dan kebutuhan khusus mereka. Hal ini tampak dalam berbagai pertanyaan, misalnya soal sah taknya ijab qabul dalam bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu-wicara baik dalam prosesi pernikahan maupun proses jual beli, atau bagaimana hukum membuka Al-Qur’an dgn kaki bagi penyandang disabilitas yg tak memiliki tangan. Selain itu muncul pula persoalan tentang bagaimana hukum transaksi jual beli penyandang disabilitas netra menurut fiqih dan berbagai macam persoalan lain yg terkait dgn permasalahan ibadah.

 

Kitab-kitab fiqih, utamanya fiqih klasik, memiliki kecenderungan menempatkan tema disabilitas di pasal atau bab yg berlainan. Hanya Abu Yahya Zakariyya Al-Anshari, ulama fiqih bermadzhab Syafi’i yg secara spesifik menulis satu bab mengenai ahkam al-a‘ma (hukum-hukum yg berkenaan dgn penyandang disabilitas netra) dalam kitabnya Tahrir Tanqih al-Lubab. Dengan demikian, pemaparan mengenai kondisi penyandang disabilitas muslim di Indonesia secara umum perlu tergambarkan terlebih dahulu dalam rangka mendalami konteks yg dimaksud.

 

Sementara itu pada wilayah sarana peribadatan, penyandang disabilitas acap kali mendapati kenyataan bahwa tempat atau fasilitas ibadah yg tak aksesibel. Infrastruktur masjid banyak yg tak ramah pada mereka; undakan tinggi, tempat wudhu berkolam, lantai licin, trotoar tanpa guiding block di sekitar masjid, dan lainnya. Di luar permasalahan infrastruktur, seringkali mereka dihadapkan pada khutbah Jumat tanpa running text atau penerjemah bahasa isyarat. Di situ perintah anṣitµ (perhatikanlah) terlaksana bagi mereka penyandang disabilitas rungu, tapi tak dapat merealisasikan perintah wasma’u (dengarkanlah) buat memastikan ketersampaikan isi khutbah sebagai salah satu syarat sah salat Jumat.

 

Untuk melaksanakan kewajiban ibadah, kesucian menjadi syarat sebelum itu. Pertanyaan mengenai hukum salat di atas kursi roda dgn roda yg diragukan kesuciannya pun muncul. Begitu pula dgn cara memastikan masuknya waktu salat bagi penyandang disabilitas netra. Bagi yg tak akrab dgn tradisi fiqih pesantren, pertanyaan tersebut amatlah sulit ditemukan jawabannya.

 

Dalam lingkup sosial-ekonomi, penyandang disabilitas mengalami perlakuan yg kurang adil. Mulai dari keabsahan tanda tangan penyandang disabilitas netra ketika melakukan transaksi perniagaan hingga kendala buat mendapatkan pekerjaan yg layak. Bagaimana sebenarnya fiqih melindungi transaksi jual-beli atau hubungan sosial penyandang disabilitas?

 

Dalam aspek politik dan kebijakan, fiqih dipertanyakan legitimasinya buat tak hanya memberikan anjuran pada pertimbangan masalahah dan mafsadah saja. Fasilitas publik yg tak aksesibel memunculkan pertanyaan apakah fiqih dapat mewajibkan pemerintah buat menjalankan kebijakan yg inklusif. Tentu hal ini dibarengi dgn satu hal yg amat krusial, yaitu keterlibatan penyandang disabilitas dalam proses penyusunan kebijakan.

 

Dalam hubungan personal-keluarga, diskriminasi justru muncul secara perorangan dan cenderung lebih diskriminatif ketimbang yg terjadi pada diskriminasi di wilayah peribadatan. Diskriminasi pada anak penyandang disabilitas dan kasus perceraian dgn alasan disabilitas. Banyak penyandang disabilitas anak yg tak mendapatkan pengasuhan yg layak, ditelantarkan, dan tak mendapatkan waris sesuai ketentuan fiqih sebab dianggap tak berkemampuan mengelolanya. Persoalan ini sama ramainya dgn pengalaman penyandang disabilitas yg tertolak buat menikah dgn alasan kafa’ah dan anggapan bahwa mereka tak berkemampuan membina keluarga.

 

Empat kategori persoalan tersebut menampilkan kompleksitas pengalaman penyandang disabilitas. Pengalaman tersebut menandakan bahwa penyandang disabilitas bukan hanya mengalami diskriminasi di wilayah peribadatan, namun juga pada hal-hal yg menygkut hajat hidup orang banyak yg teralami tak hanya personal dan hubungan ketuhanan.

 

Pada tahun 2017, Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya dgn didukung oleh Program PEDULI – TAF mengadakan penelitian masyarakat Islam di 3 kota/kabupaten di Jawa Timur yaitu Sampang, Jombang, dan Tulungagung. Penelitian tersebut terkait dgn aksesibilitas dan pandangan kaum santri dalam melihat penyandang disabilitas yg dipetakan dalam empat hal:

 

  1. Aksesibilitas infrastruktur tempat ibadah (masjid) bagi penyandang disabilitas
  2. Keterlibatan masyarakat Islam dgn penyandang disabilitas
  3. Penerimaan masyarakat Islam terhadap penyandang disabilitas
  4. Sikap masyarakat Islam terhadap penyandang disabilitas

 

Terkait dgn aksesibilitas infrastruktur tempat ibadah (masjid), terdapat 75 masjid di Jombang, Tulungagung, dan Sampang yg menjadi objek survey dalam penelitian ini. Termasuk dalam masjid-masjid tersebut ialah masjid agung/jamik kota/kabupaten, yaitu Masjid Agung Baitul Mukminin Jombang, Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung, dan Masjid Agung/Jamik Sampang. Selain itu dilakukan survey terhadap masjid-masjid yg ada di lingkungan pondok pesantren.

 

Secara umum berikut ialah rangkuman hasil survey yg berfokus pada enam aspek pengamatan:

 

a. Aspek Pintu

 

Peraturan Menteri PU Nomor 30 Tahun 2006 menetapkan bahwa pintu utama harus memiliki bukaan sebesar minimal 90 cm. Dalam survey ini hampir seluruh masjid telah memenuhi standar ini (90.67%) namun ada sebagian kecil yg tak sesuai dan keadaannya kurang baik. Dalam persentase yg lebih kecil (66.67%), masjid memiliki bukaan sebesar minimal 80 cm buat pintu-pintu lain yg kurang penting. Di sisi lain hal ini masih kurang diimbangi dgn peletakan tekstur yg kasar atau permukaan yg tak licin di sekitar pintu. Hanya 44 persen masjid yg telah memperhatikan peletakan tersebut.

 

b. Aspek Tangga

 

Sebanyak 36 persen masjid telah memperhatikan tingkat kemiringan standar, yaitu kurang dari 60 derajat. Hanya 48 persen masjid yg memiliki lebar tangga ideal. Ditambah lagi hanya sebagian kecil masjid (24%) yg meletakkan pegangan tangan (handrail) pada tangga.

 

c. Aspek Parkir

 

Hanya 4 persen atau 3 dari 75 masjid yg disurvei yg telah memberikan slot parkir buat penyandang disabilitas, dan satu di antaranya belum memenuhi syarat sesuai dgn Permen PU sebab tak dilengkapi dgn peletakan trotoar di dekat parkir penyandang disabilitas. Meski demikian, peletakan lokasi parkir umum di masjid cukup ideal sebab sebagian besar (86.67%) jaraknya berdekatan dgn masjid dan 61.33 persen di antaranya memiliki luas yg cukup memadai buat keluar-masuknya penyandang disabilitas dari kendaraan.

 

d. Aspek Markah

 

Penanda yg terdapat di masjid kebanyakan berkaitan dgn petunjuk lokasi, misalnya tempat wudhu, toilet, parkir, dan perpustakaan. Sebanyak 38.67 persen telah memberikan marka walau belum meliputi seluruh lokasi yg ada di masjid, namun baru 30.67 persen yg telah sesuai buat kebutuhan penyandang disabilitas dalam mengidentifikasikan lokasi terkait dgn besar huruf dan penempatan marka. Hanya 6.67 persen yg memberikan simbol-simbol aksesibilitas di lingkungan masjid. Tidak ada masjid yg menjadi objek survei yg memiliki guiding block sebagai marka yg penting bagi kemandirian mobilitas orang dgn disabilitas netra.

 

e. Aspek Toilet

 

Sebanyak 46.67 persen masjid memberikan penanda letak toilet walaupun tak semua toilet dapat digunakan oleh penyandang disabilitas. 4 persen atau 3 dari 75 masjid memiliki toilet berdesain universal sesuai dgn Permen PU dan sebanyak 10.67 persen toilet memiliki ketinggian kloset duduk yg sesuai dgn standar. Sebanyak 50.67 persen masjid memiliki bahan lantai yg tak licin, namun baru 33.33 persen yg memenuhi standar. Sebanyak 32 persen toilet masjid memiliki pintu sesuai dgn standar, namun hanya 20 persen yg memenuhi standar buat kemudahan buka tutup pintunya. 10.67 persen toilet masjid memiliki kecukupan yg memadai buat ruang gerak penyandang disabilitas di dalamnya, namun baru 9.33 persen toilet yg menggunakan keran sistem pengungkit. 13.3 persen telah memenuhi standar dalam peletakan tissue dan perlengkapan kamar mandi lainnya. Sudah ada masjid yg memiliki wastafel khusus (1.33%) dan handrail (2.67%) di toilet, namun belum ada yg sesuai dgn standar dalam Permen PU.

 

f. Aspek Tempat Wudhu

 

Aspek tempat wudhu merupakan kebutuhan vital di masjid, namun hanya 4 persen tempat wudhu yg cukup leluasa digunakan buat pengguna kursi roda. 42.67 persen masjid telah meletakkan keran wudhu yg aksesibel. Terdapat 6.67 persen atau 5 dari 75 persen yg memiliki handrail, namun hanya 4 persen atau 3 dari 75 yg telah memenuhi standar.

 

Secara khusus Masjid Al Munawwar Tulungagung ialah masjid yg memiliki kesesuaian dgn standar yg ditetapkan oleh Permen PU No 6 Tahun 2003. Walau demikian, pemenuhan standarnya relatif minim sebab tak ada akses parkir atau kamar mandi dan tempat wudhu yg disediakan buat penyandang disabilitas. Fasilitas handrail belum ditempatkan di berbagai area masjid, namun luasan, ramp, dan bukaan pintu di masjid tersebut cukup ramah dgn penyandang disabilitas.

 

Penelitian juga mengkaji tentang wacana disabilitas dalam masyarakat santri. Penyandang disabilitas muslim di Indonesia mendapati pengalaman keseharian mereka tak terlepas dari lingkungan sosial yg mengitari mereka. Untuk itu, pada bagian ini mau digambarkan bagaimana pemahaman masyarakat santri terhadap disabilitas.

 

Dalam beberapa hal, semakin santri seseorang, semakin ia memiliki anggapan dan laku yg lebih positif terhadap penyandang disabilitas. Di lain hal, anggapan tersebut tak berlaku di lingkup yg lebih luas seperti dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan tempat ibadah. Meski masyarakat santri cenderung positif dan memberikan rasa hormat pada penyandang disabilitas, kecenderungan ini tak bertautan dgn ketersediaan fasilitas publik dan peribadatan yg aksesibel. Masjid-masjid masih belum ramah penyandang disabilitas.

 

Masyarakat santri di berbagai kota dan wilayah tak mengalami perbedaan signifikan dalam anggapan mereka terhadap penyandang disabilitas. Baik pesantren kecil atau pesantren besar di Jawa Timur menerima penyandang disabilitas sebagai santri, bahkan ada beberapa pengasuh atau pengurus pesantren yg merupakan penyandang disabilitas.

 

Pengalaman keseharian bergaul dgn penyandang disabilitas juga menjadi faktor masyarakat santri bersikap positif pada mereka. Santri madrasah yg memiliki teman penyandang disabilitas di sekolahnya memiliki pandangan yg cenderung baik tentang disabilitas. Namun saygnya, faktor pengalaman mengajar santri penyandang disabilitas tak berperan apa-apa dalam persepsi atau pemahaman pengajar atau pengasuh di pesantren. Penerimaan pesantren pada penyandang disabilitas dalam hal ini cenderung amat personal, belum melangkah pada penyediaan fasilitas publik yg ramah disabilitas atau pelibatan penyandang disabilitas dalam ketentuan-ketentuan pesantren.

 

Masyarakat santri yg tak memiliki keluarga penyandang disabilitas memiliki pandangan yg positif terhadap penyandang disabilitas, di mana rasa menghormati dan kehendak buat membantu mengikuti setelahnya. Namun pada tahap tertentu, hal ini hanya berlaku pada wilayah peribadatan saja. Mereka cenderung sulit menyikapi positif penyandang disabilitas di hal-hal yg berhubungan dgn pernikahan dan keluarga. Hal ini bertolak belakang pula dgn santri yg memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas. Masyarakat santri yg memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas tak memiliki kecenderungan positif terhadap penyandang disabilitas.

 

Pengalaman penyandang disabilitas muslim dan persepsi masyarakat santri terhadap disabilitas sebagaimana dijelaskan di atas memberikan gambaran terhadap kondisi yg terjadi pada masyarakat santri secara umum. Aksesibilitas dan inklusivitas masyarakat santri terbangun di beberapa wilayah yg amat personal dan peribadatan tapi tak berkembang dalam lingkup sosial dan kebijakan.

 

 

===
Artikel ini dinukil dari buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” yg disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw. Unduh buku (PDF) ini di kanal Download NU Online.

 

 

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.