Doa Rajab, Apakah Boleh Diamalkan?

Setiap kali memasuki bulan Rajab banyak di antara kaum muslimin yg membiasakan doa khusus yg berbunyi “Allâhumma bârik lanâ fi Rajab wa Sya’bâna wa ballighnâ Ramadhân” yg artinya, “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.”

Doa ini tak hanya dibaca secara sendiri-sendiri oleh umat Islam tapi juga secara bersama-sama setiap kali selesai salat fardhu di masjid ataupun mushalla. Bahkan di sebagian tempat doa ini juga dijadikan sebagai background sebuah himbauan atau pengumuman buat acara-acara keislaman.

Pertanyaannya ialah apakah doa tersebut pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau itu hanya sebatas doa para ulama yg hingga saat ini terus populer dan diriwayatkan secara lisan? Kemudian pertanyaan selanjutnya, andaikata doa tersebut tak bersumber dari Nabi SAW, maka apakah boleh kita membaca dan mengamalkannya setiap selesai shalat atau tak? Pertanyaan ini mau kita ulas dalam tulisan yg sederhana ini, insya Allah.

Doa tersebut diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits. Di antaranya Abdullah bin Ahmad dalam kitab Syakir, Imam Al-Bazzar dalam kitab Kasyful Astar, Ibnu Abid Dunya dalam kitab Fadhail Ramadhan, Ibnus Sinni dalam kitab Al-Yaum wal Lailah, Imam At-Thabarani dalam kitab Mu’jamul Ausath, Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya’, Imam Al-Baihaqi dalam kitab Fadhailul Auqat, dan bahkan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar-nya juga mengutip doa tersebut dan menempatkannya di bab zikir-zikir yg berkaitan dgn ibadah puasa.

Berikut cuplikan nukilan doa tersebut dalam kitab Al-Adzkar Imam An-Nawawi:

وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعفٌ، عن زياد النميري عن أنس رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : “اللَّهُمَّ بارِكْ لَنا في رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنا رَمَضَانَ”ØŒ ورويناه أيضاً في كتاب ابن السني بزيادة.

Artinya, “Kami riwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya dgn sanad yg dhaif (lemah), bersumber dari Ziyad An-Numairi dari Anas bin Malik RA. Ia berkata, ‘Rasulullah Saw ketika memasuki bulan Rajab berkata: Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban. Sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.’ Riwayat serupa juga kami riwayatkan dari kitab Ibnus Sinni dgn sedikit tambahan redaksi.”

Secara kualitas, sanad hadits tersebut agak sedikit bermasalah. Imam An-Nawawi menilainya dhaif (lemah). Imam At-Thabarani menggolongkannya sebagai hadits mungkar sebab salah seorang perawinya yg bernama Zaidah bin Abir Riqad dinilai sebagai seorang rawi yg munkarul hadits. Ibn Abi Hatim juga menyebutkan bahwa Zaidah sering meriwayatkan hadits dari Ziyad An-Numairi, dari Anas bin Malik RA berupa hadits-hadits marfu’ yg munkar. Sementara itu, Imam Abu Dawud mengakui, beliau tak mengetahui sumbernya.

Kemudian Ziyad bin Abdillah An-Numairi (salah seorang perawi lain dari hadits tersebut) juga dianggap dhaif oleh Ibnu Ma’in dan Abu Dawud. Ibn Hibban menilainya sebagai seorang yg munkarul hadits juga. Abu Hatim menegaskan, haditsnya dapat ditulis tapi tak dapat dijadikan sebagai hujah (dalil).

Berdasarkan takhrijan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa secara sanad hadits tersebut memang bermasalah. Lantas apakah doa yg terdapat dalam hadits tersebut boleh diamalkan?

Hadits ini hanya berisi konten terkait doa dan harapan kebaikan yg tak ada hubungannya dgn akidah ataupun ibadah mahdhah (murni), tapi masuk dalam ranah fadhail (keutamaan-keutamaan) saja. Kedhaifannya juga menurut versi Imam An-Nawawi tampaknya tak terlalu parah dgn bukti ia tetap memasukkannya ke dalam kitabnya al-Adzkar, padahal kitab tersebut diniatkan sebagai rujukan bagi mereka yg ahli ibadah. Berikut nukilan perkataan Imam An-Nawawi dalam mukadimah kitabnya sebagai berikut.

فلهذا أرجو أن يكون هذا الكتاب أصلاً معتمداً، ثم لا أذكر في الباب من الأحاديث إلا ما كانت دلالته ظاهرة في المسألة.

Artinya, “Karena ini, saya berharap supaya kitab ini (Al-Adzkar) menjadi sumber rujukan yg mu’tamad (diakui). Lalu, tak saya sebutkan pada bab-babnya kecuali hadits-hadits yg memunyai hubungan makna yg jelas dgn tema yg sedang dibahas.”

Berdasarkan data ini, kita menyimpulkan bahwa hadits tersebut berstatus dhaif (lemah), namun tetap dapat diamalkan sebab tingkat kedhaifannya yg tak terlalu parah (berpatokan kepada pendapat Imam An-Nawawi) dan tak berkaitan dgn masalah akidah dan ibadah mahdhah. Selain itu mengamalkan doa tersebut juga boleh selama tak diyakini bahwa ia bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Allahu a‘lam. (Yunal Isra)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.