Hak Nafkah Istri dalam Pernikahan

Sebelumnya telah diuraikan dua hak istri setelah pernikahan. Satu hak berikutnya ialah hak nafkah. Berikut uraian singkatnya beserta syarat mendapatkannya, hal-hal yg menggugurkannya, jenis-jenis dan juga besarannya.

Nafkah ialah segala yg diberikan buat memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam konteks ini ialah nafkah yg diberikan suami buat memenuhi kebutuhan istrinya. Ulama bersepakat kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya berdasarkan ayat berikut:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا

Artinya, “Hendaklah orang yg mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yg disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yg Allah berikan kepadanya,” (Surat At-Thalaq ayat 7).

Lantas hak nafkah apa saja yg diterima istri dari suaminya? Yang disebutkan dalam nash Al-Qur’an dan hadits ialah:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

Artinya, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka buat menyempitkan (hati) mereka,” (Surat At-Thalaq ayat 6).
 

Riwayat Mu‘awiyah al-Qusyairi menyebutkan bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah tentang hak istrinya. Beliau menjawab, “Engkau beri dia makan bila engkau makan. Engkau beri dia pakaian bila engkau memiliki memiliki pakaian,” (HR Ahmad).

Berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits di atas hak nafkah istri dari suaminya ialah tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Namun, di samping makanan, pakaian, dan tempat tinggal, Syekh Az-Zuhayli menambahkan lauk-pauk, alat kecantikan, peralatan rumah tanggal, termasuk asisten rumah tangga.

Kemudian, di antara beberapa pihak yg wajib dinafkahi seorang laki-laki, istri mendudukkan posisi pertama setelah dirinya dan nafkahnya yg terlewatkan tak gugur begitu saja.    

Syekh Musthafa Al-Khin menyebutkan:

يقدم بعد نفسه: زوجته، لأن نفقتها آكد، فإنها لا تسقط بمضي الزمان، بخلاف نفقة الأصول والفروع، فإنها تسقط بمضي الوقت

Artinya, “Setelah dirinya, suami harus mendahulukan istrinya. Menafkahinya lebih ditekankan sebab nafkahnya tak gugur seiring dgn berlalunya waktu. Berbeda halnya dgn nafkah buat orang tua atau anak. Nafkah mereka gugur seiring dgn berlalunya waktu.

Setelah diri dan istrinya, posisi orang yg harus dinafkahi seorang laki-laki ialah anaknya, kemudian ibunya yg tak mampu, kemudian ayahnya yg tak mampu, kemudian anak dewasanya yg tak mampu, kemudian kakeknya yg tak mampu. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imamis Syafi‘i,  jilid IV, halaman 178).

Saking besarnya hak nafkah, sampai-sampai seorang istri diperbolehkan mengambil hak tersebut secukupnya. Hal itu didasasarkan pada hadits riwayat Hindun binti ‘Utbah. Ia pernah mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasul, sesungguhnya Abu Sufyan itu kikir. Ia tak mau memberiku nafkah kepadaku dan anakku kecuali yg aku ambil darinya di luar sepengetahuannya.” Beliau bersabda, “Ambillah secara makruf apa yg membuatmu dan anakmu cukup,” (HR As-Syafi‘i).

Selanjutnya, kapan seorang istri berhak mendapat nafkah dan kapan hak nafkahnya gugur? 

Syarat utama seorang istri berhak mendapat nafkah  ialah pernikahan yg sah. Sebab, syariat mengatur, setelah akad nikah berlangsung, maka fokus perhatian dan pelayanan istri beralih kepada suami, ketaatannya bertambah buat suami, tinggalnya harus di rumah suami, tugasnya mengurus rumah tangga suami, mengasuh serta mendidik anak-anak suami. Maka sebagai imbalannya, sang istri mendapatkan hak nafkah yg cukup selama bangunan rumah tangganya tegak berdiri, tak ada perbuatan nusyuz darinya,  dan faktor penghalang yg lainnya.

Lebih lengkapnya, Syekh Sayyid Sabiq merinci lima syarat seorang istri mendapatkan nafkah.

1. Suami dan istri terikat akad nikah yg sah

2. Istri memasrahkan dirinya kepada suami

3. Suami berkesempatan buat bersenang-senang layaknya suami-istri

4. Istri tak menolak buat dipindahkan ke tempat yg dimaukan suami

5. Keadaan suami dan istri telah normal secara seksual dan bukan anak di bawah umur (Lihat: Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 170).

Artinya, ketika syarat-syarat itu tak terpenuhi, maka istri tak berhak mendapatkan nafkah dari suami. 

Begitu pula ketika istri tak memasrahkan dirinya kepada suami, atau istri tak mau diajak berhubungan intim, atau tak mau diajak pindah rumah yg dimaukan suami tanpa ada alasan yg kuat, maka gugurlah hak nafkahnya. Sebab, perkara yg menggugurkan itu datang dari pihak istri. 

Bagaimana bila si istri mau memasrahkan diri, namun ia masih di bawah umur dan tak mungkin diajak berhubungan badan, maka menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, maka nafkah buatnya tak wajib. 

Diriwayatkan, sewaktu menikah dgn Siti ‘Aisyah, Nabi SAW tak memberikan nafkah. Beliau memberinya nafkah ketika telah dapat diajak tinggal bersama layaknya suami-istri. Tidak ada pengganti nafkah yg terlewatkan dari Nabi SAW. 

Meski demikian, bila suami meridai istri yg masih di bawah umur itu berada di rumahnya dgn tujuan sebagai teman pendampingnya, maka kondisi itu tetap mewajibkan nafkah.    

Lain halnya bila istri dewasa, suami yg masih di bawah umur. Maka dalam kondisi itu, menurut pendapat sahih, nafkah dari suami tetap wajib. Sebab, tak ada unsur penggugur nafkah dari pihak istri. 

Besaran Nafkah

Adapun soal besaran nafkah, ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat, besaran nafkah tak ditetapkan secara syariat. Ia dikembalikan kepada tempat, waktu, kemampuan suami, dan kebutuhan istri. Sementara Imam Syafii menyatakan sebaliknya. Besaran nafkah ditetapkan oleh syariat, yaitu dua mud (1 mud ialah 543 gram) bagi suami yg berkecukupan, satu setengah mud bagi suami kalangan menengah, dan satu mud bagi suami yg miskin. Namun rupanya besaran yg ditetapkan oleh Imam Syafii hanya berupa makanan. Sedangkan yg lain tak ditentukan. 

Ada pula yg berpendapat, besaran nafkah tak ada dibatasi kecuali batas kecukupan. Sedangkan kecukupan dikembalikan kepada adat kebiasaan. Suami tak perlu memaksakan diri di luar kemampuannya. Yang penting telah berusaha maksimal memenuhi kewajiban nafkah.

Hal itu didasarkan ayat di atas, “Hendaklah orang yg mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yg disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yg Allah berikan kepadanya,” (Surat At-Thalaq ayat 7). Demikian yg dikemukakan oleh Musthafa Al-Khin. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji,  jilid IV, hal. 173). Wallahu a’lam.

M. Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) di KUA Sukanagara, Cianjur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.