Hujjah Qira’at, Ilmu Bacaan Al-Qur’an yg Jarang Dijamah

Secara umum, ilmu qira’at dapat dipetakan dalam dua kategori; riwayah dan dirayah. Dari sisi periwayatan, ilmu qira’at menguraikan tentang perbedaan bacaan yg dinisbatkan kepada salah satu imam qira’at. Sedangkan dari sisi dirayah, ilmu qira’at menjelaskan tentang berbagai macam aspek yg terkait dgn ilmu qira’at salah satunya ialah dari aspek argumentasi kebenaran qira’at Al-Qur’an atau yg dikenal kemudian dgn nama hujjah qira’at.

Pada hakikatnya, ilmu ini merupakan ilmu yg mandiri selayaknya ilmu yg lain, hanya saja tak setenar dan masih jarang diajarkan di berbagai majelis ilmu. Ilmu ini sangat berkaitan dgn aspek kebahasaan, dialek Arab, pemaknaan dan perbedaan aspek hukum dari perbedaan bacaan dan lain-lain.

Hujjah secara bahasa berarti dalil, pedoman, dan argumentasi. Sedangkan secara istilah, hujjah qira’at ialah ilmu yg menjelaskan argumentasi ulama tentang perbedaan bacaan qira’at Al-Qur’an. Nama lain dari hujjah qira’at ialah: taujih al-qira’at, ilal al-qira’at, wujuh al-qira’at, ihtijaj al-qira’at, ma’ani al-qira’at, i’rab al-qira’at, al-intishar li al-qira’at, nukat al-qira’at, dan takhrij al-qira’at.

Pada sekitar abad ketiga, Ibnu Mujahid (w. 324 H) melakukan penetapan qira’at sab’ah mutawatirah dgn memilih 7 imam qira’at yg mewakili setiap negara Islam. Di saat yg bersamaan, banyak ulama yg berlomba-lomba mengulas tentang argumentasi kesahihan qira’at. Mereka membuktikan kebenaran qira’at Al-Qur’an dgn menggunakan berbagai analisis dalam menguraikannya sebagai bukti keabsahan qira’at yg sahih. Di samping itu juga buat menjawab tuduhan orang-orang yg ragu terhadap keabsahah qira’at.

Siapakah ulama yg pertama kali menulis tentang hujjah qira’at?

Ulama yg pertama kali menulis karya tentang hujjah qira’at ialah Abu Bakar Muhammad bin al-Sari (w. 316 H). Beliau hidup semasa dgn Ibnu Mujahid. Namun karya ini belum sampai rampung ditulis, hanya sampai pada surat Al-Fatihah dan sebagian surat al-Baqarah. 

Menurut Ibnu al-Nadim, orang yg pertama kali menulis karya tentang hujjah qira’at ialah Muhammad bin al-Mubarrad (w. 285 H). Beliau menulis sebuah karya Kitab Ihtijaj al-Qira’ah, yg kemudian diikuti oleh kedua muridnya; Ibnu al-Siradj (w. 313 H) dan Ibnu Durustawaih (w. 330 H).

Karya Ibnu al-Siradj ialah Kitab Ihtijaj al-Qira’ah, sedangkan karya Ibnu Durustawaih ialah Ihtijaj al-Qurra’.

Berikut ulama yg menulis tentang hujjah qira’at ialah :

 

  • Muhammad bin Hasan al-Anshari (w. 351 H). beliau menulis sebuah karya “Kitab al-Sab’ah bi Ilaliha al-Kabir”.
     
  • Abu Bakar Muhammad bin Hasan bin Miqsam al-Atthar (w. 362 H). Beliau menulis beberapa karya, diantaranya ialah : “Kitab Ihtijaj al-Qira’at” “Kitab al-Sa’ah bi ilaliha al-Kabir” “Kitab al-Sab’ah al-Ausath” “Kitab al-Ausath” dan “Kitab al-Ashghar” yg dikenal dgn nama “Syifa’ al-Sudur”.
     
  • Al-Husain bin Ahmad bin al-Khalawaih (w. 370 H). Beliau menulis karya “al-Hujjah fi Ilal al-Qira’at al-Sab’I”.
     
  • Abu Ali al-Farisi (w. 377 H). Karyanya ialah “Al-Hujjah fi al-Ihtijaj li al-Qira’at al-Sab’I”.
     
  • Abu Zur’ah Abdurrahman bin Muhammad bin Zanjalah, karyanya ialah “Hujjat al-Qira’at”.
  • Makki bin Abi Thalib (w.437 H). karyanya ialah “al-Kasyfi An Wujuh al-Qira’at al-Sab’I wa ilaliha wa Hujajiha”.
     

Ulama kontemporer yg menulis tentang hujjah qira’at ialah :

  • Muhammad Salim Muhaisin dgn karyanya “al-Mughni fi Taujih al-Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah”. 
     
  • Qasim Ahmad al-Dujawi dan Muhammad Shadiq Qamhawi, karyanya “Qalaid al-Fikr fi Taujih al-Qira’at”. 

Abdul Hadi al-Fadli memberi catatan bahwa penulisan tentang hujjah qira’at memang bukan diawali pada masa Ibnu Mujahid dan Muhammad al-Sari, mau tetapi tenarnya penulisan tentang hujjah ini pada masa kedua ulama tersebut.

Bagaimana pola ulama menguraikan hujjah qira’at?

Para ulama memiliki pola dan cara yg berbeda dalam menguraikan hujjah qira’at, di antaranya ialah:

Pertama, berhujjah dgn ayat yg lain. Seperti yg dilakukan oleh Abu Ali al-Farisi (w. 377 H) dalam mengungkapkan hujjah qira’at Abu Amr; 

لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ

Dalam riwayat Imam Abu Amr (w. 154 H) huruf fa’nya dibaca sukun dan huruf ta’ kedua tanpa tasydid (تُفْتَحُ). Argumentasi bacaan ini didasarkan pada ayat lain surat al-Hujarat ayat 14 yg dibaca takhfif;

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا

Pada ayat di atas, para ulama qira’at sepakat membaca takhfif.

Kedua, berhujjah dgn asbab nuzul, seperti firman Allah:

 وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

Pada ayat di atas, sebagian ulama qira’at membaca kasrah kha’ yg bermakna perintah. Argumentasi bacaan ini didasarkan pada hadis yg disampaikan oleh Imam Bukhari dari sahabat Umar. Beliau berkata: Tiga hal pendapatku yg sesuai dgn Firman Tuhanku. Salah satunya ialah aku menyampaikan kepada Nabi: “Ya Rasulallah, Alangkah baiknya kita menggunakan maqam Ibrahim ini sebagai tempat shalat: maka turunlah ayat:

 وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

Ketiga, berhujjah dgn Rasm Al-Qur’an, sebagaimana yg disampaikan oleh Ibnu Khalawaih (w. 370 H) dalam hal menetapkan atau membuang huruf ya’ dalam surat al-Ankabut:

 يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ (٥٦)

Argumentasi ulama yg membaca sukun ya’ (pada kata ‘ibaadiy) dan membuangnya secara lafadz sebab menganggap cukup dgn harakat kasrah pada huruf dal dan meniadakan huruf ya’, sebab mabni dari I’rab nida’ ialah membuang huruf.

Imam Khalawaih berkata: Pilihan ulama yg membaca huruf ya’ dgn fathah ialah ketika pembaca berhenti pada huruf ya’, sebab menurut kebanyakan ulama huruf ya’ itu masih tetap. Jika huruf ya’ dibuang maka pembaca berhenti pada huruf dal. 

Keempat, berhujjah dgn riwayat dan sanad. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Maryam (w. 525 H) dalam kitabnya “Al-Mudhah fi Wujuh al-Qira’at wa Ilaliha” dalam persoalan bacaan imalah. Beliau berkata bahwa tak ada celaan bagi orang yg berpegang terhadap bacaan asal (tahqiq) dan meninggalkan imalah meskipun bacaan imalah dianggap baik. Sebab bila imalah itu baik maka bukan berarti bacaan asal (tahqiq) dianggap jelek, oleh sebabnya, maka wajib harus mengikuti atsar dalam persoalan ilmu qira’at”.

Ilmu qira’at secara riwayat, wajib didasarkan pada periwayatan dan transmisi yg jelas. Imam al-Syatibi mengatakan:

وما لقياس في القراءة مدخل

Artinya, dalam qira’at tak ada intervensi bacaan maupun analogi bacaan. Sebab semua perbedaan wajah-wajah qira’at berpedoman pada penukilan yg mutawatir, talaqqi secara sah yg diterima dari para imam qira’at.

Kelima, berhujjah dgn analogi bahasa, seperti dalam firman Allah :

بِرُوحِ الْقُدُسِ

Imam Ibnu Katsir (w. 120 H) membaca sukun huruf dal (الْقُدُسِ). Menurut Imam Khalawaih (w. 370 H) hal tersebut menghindari berkumpulnya harakat dhammah secara berurutan dan bersamaan. Maka dari itu, huruf dal dibaca sukun buat meringankan pengucapan. Di samping itu membaca sukun huruf dal itu ialah bagian dari dialek sebuah kabilah. Sementara hujjah yg membaca dhammah huruf dal ialah membaca sebuah lafadz sesuai asalnya.

Ustadz Moh. Fathurrozi, penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at”, dan pengajar ilmu qira’at.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.