Sebagian orang mengambil cara berpura-pura miskin, faqir, atau berpura-pura menyandang disabilitas buat mengambil empati dan belas kasih masyarakat luas. Cara instan ini tampaknya bagi sebagian orang cukup efektif digunakan mengemis.
Sebagian orang ini menggunakan cara berpura-pura buat mengambil keuntungan dari rasa iba masyarakat.
Adapun dampak negatifnya, masyarakat menilai kalangan disabilitas sebagai kelompok masyarakat yg tak produktif dan kreatif serta patut dikasihani. Padahal mereka memiliki potensi luar biasa dan dapat mandiri secara ekonomi.
Tindakan pura-pura miskin, faqir, atau pura-pura sebagai penyandang disabilitas buat kepentingan ini sangat diharamkan. Pelakunya wajib mengembalikan pemberian yg diterimanya kepada si pemberi sebab ia tak berhak menerimanya.
Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas terbitan LBM PBNU pada 2018 menyebut tindakan itu mengandung unsur keharaman, yaitu mengemis, menipu, dan tak mengembalikan hak milik orang lain, (Tim LBM PBNU, 2018: 147).
وَمَنْ Ø£ÙعْطÙÙŠÙŽ Ù„ÙوَصْÙÙ ÙŠÙظَنّ٠بÙÙ‡Ù ÙƒÙŽÙَقْرÙØŒ أَوْ صَلَاØÙØŒ أَوْ نَسَب٠بÙأَنْ تَوَÙَّرَتْ الْقَرَائÙن٠أَنَّه٠إنَّمَا Ø£ÙعْطÙÙŠÙŽ بÙهَذَا الْقَصْدÙØŒ أَوْ صَرَّØÙŽ لَه٠الْمÙعْطÙÙŠ بÙØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽØŒ ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ بَاطÙنًا بÙØ®ÙلَاÙÙÙ‡Ù ØَرÙÙ…ÙŽ عَلَيْه٠الْأَخْذ٠مÙطْلَقًا، ÙˆÙŽÙ…ÙثْلÙه٠مَا لَوْ كَانَ بÙه٠وَصْÙÙŒ بَاطÙنًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْه٠الْمÙعْطÙÙŠ لَمْ ÙŠÙعْطÙÙ‡ÙØŒ وَيَجْرÙÙŠ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ ÙÙÙŠ الْهَدÙيَّة٠أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهÙØŒ ÙˆÙŽÙ…ÙثْلÙهَا سَائÙر٠عÙÙ‚Ùود٠التَّبَرّÙع٠ÙÙيمَا يَظْهَر٠كَهÙبَة٠وَوَصÙيَّة٠وَوَقْÙ٠وَنَذْرÙ
Artinya, “Siapa yg diberikan sesuatu sebab ada sifat yg disangka ada dalam dirinya semisal kefakiran, kesalehan, atau nasab yg diketahui dari beberapa tanda bahwa dia diberikan dgn maksud demikian atau si pemberi menjelaskan motifnya sendiri, sedangkan sesungguhnya tak demikian, maka ia haram secara mutlak buat menerima pemberian tersebut. Demikian juga bila ada sifat yg disembunyikan dalam diri si penerima yg andaikan tampak pada orang yg memberi, maka dia tak mau memberinya. Hal ini berlaku juga dalam konteks hadiah menurut pendapat yg lebih kuat. Hukum yg sama juga berlaku pada semua akad tabarru‘ (bantuan sosial) yaitu hibah, wasiat, waqaf, dan nazar,†(Lihat Syekh Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 164).
Sikap pura-pura semacam ini jelas dilarang oleh agama. Di dalamnya yg pasti terkandung unsur penipuan. Meski si pemberi “terpaksa†ikhlas sebab tak dapat memverifikasi kepura-puraan pengemis tersebut, tindakan ini tetap dilarang. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Uncategorized