Hukum Buka Puasa Bersama di Rumah Ibadah Non-Muslim

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yg terhormat. Saya mendengar bahwa sepekan lalu, Kamis (16/6), kegiatan buka puasa bersama lintas iman yg rencananya dihadiri istri mendiang Gus Dur Hj Sinta Nuriyah terpaksa gagal di Gereja Katolik Kristus Ungaran, Semarang sebab aksi penolakan sekelompok orang yg mengaku komunitas Muslim.

Pertanyaan saya, apakah pandangan Islam terkait buka puasa di tempat ibadah non-Muslim? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr.wb. (Abdul Malik, Jakarta).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Penanya dan pembaca yg budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Perihal kasus yg saudara Malik tanyakan, Penulis melihat ada sejumlah persoalan. Kita mau membicarakan kasus ini setaknya dari penolakan oleh sekelompok yg mengaku komunitas Muslim itu.

Apakah yg dipersoalkan itu ialah makanannya, tempat berbuka puasanya, kebersamaan Muslim yg berpuasa dgn non-Muslimnya, atau siapa yg mengundangnya? Menurut dugaan kami, setaknya empat pokok masalah ini yg dipersoalkan. Kita mau memulai satu per satu menguraikan empat masalah ini.

Pertama masalah makanannya. Kalau makanan yg dihidangkan buat berbuka puasa itu terbuat dari zat yg diharamkan seperti babi, anjing, khamar, dan segala bentuk makanan dan minuman, jelas memakan dan meminumnya ialah haram.

Tetapi kalau yg dihidangkan berupa makanan yg halal, maka tak masalah mengonsumsinya meskipun itu disediakan non-Muslim. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 5 sebagai berikut.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Artinya, “Makanan Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal juga bagi mereka.”

Perihal ayat ini, An-Nasafi dalam tafsirnya Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil menjelaskan,

 وَطَعَامُ الذين أُوتُواْ الكتاب حِلٌّ لَّكُمْ } أي ذبائحهم لأن سائر الأطعمة لا يختص حلها بالملة { وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ } فلا جناح عليكم أن تطعموهم لأنه لوكان حراماً عليهم طعام المؤمنين لما ساغ لهم إطعامهم

Artinya, “(Makanan Ahli Kitab itu halal bagimu) maksudnya ialah hewan yg disembelih oleh mereka. Karena semua makanan itu tak dihalalkan secara khusus buat agama ini. (dan makanan kamu halal juga bagi mereka) sehingga tak dosa kamu berbagi makanan dgn mereka. Karena seandainya makanan orang beriman itu haram buat mereka, niscaya tak boleh memberikan makanan itu kepada mereka,” (Lihat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil, Darul Fikr, Beirut).

Sedangkan kedua, masalah tempat sahur atau tempat berbuka puasa. Kita harus mengaitkan ibadah puasa dgn ibadah lainnya. Para ulama membedakan ibadah puasa dari lainnya. Kalau ibadah lainnya seperti shalat, umrah, dan haji, waktu dan tempat pelaksanaannya telah ditentukan. Orang tak dapat berhaji di sembarang tempat. Demikian juga shalat. Meskipun setiap jengkal tanah dapat menjadi tempat shalat, Rasulullah SAW memakruhkan shalat di tempat mendeku unta, kolam pemandian, tempat penampungan sampah, kuburan, atau di jalanan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.

عن ابن عمر قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يصلى في سبع مواطن في المزبلة والمجزرة والمقبرة وقارعة الطريق والحمام ومعاطن الإبل وفوق الكعبة

Artinya, “Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW melarang shalat di tujuh lokasi, tempat sampah, tempat jagal hewan, kuburan, di tengah jalan, kolam pemandian, tempat menderum unta, dan di atas Ka’bah,” (HR Ibnu Majah).

Adapun ibadah puasa hanya ditentukan waktunya yakni sejak terbit hingga terbenam matahari seperti disebutkan Al-Quran di Surat Al-Baqarah. Sedangkan perihal tempat, agama tak membatasi orang yg berpuasa buat melakukan sahur dan berbuka puasa di manapun. Jadi tak ada larangan dalam Islam buat bersahur dan berbuka puasa di tempat tertentu.

Sementara ketiga, kebersamaan dgn non-Muslim. Pergaulan antara Muslim dan non-Muslim tak dipermasalahkan oleh Islam. Pada Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, Allah SWT menegaskan bagaimana seharusnya hubungan Muslim dan non-Muslim.

ولذا قال تعالى: لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

Artinya, “Allah tiada melarang kamu buat berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yg tiada memerangimu sebab agama dan tak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sungguh Allah menyukai orang-orang yg berlaku adil. Sungguh Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yg memerangi kamu sebab agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) buat mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yg zalim.”

Pada ayat ini, kita dapat melihat sababun nuzulnya terlebih dahulu. Ibnu Ajibah membawa riwayat sebagai berikut.

رُوِي أن « قُتَيلةَ بنت عبد العزى » قَدِمَتْ مشركة على بنتها « أسماء بنت أبي بكر » رضي الله عنه ، بهدايا ، فلم تقبلها ، ولم تأذن لها بالدخول فنزلت ، وأمرها رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن تقبل منها ، وتُكرمها ، وتُحسن إليها

Artinya, “Diriwayatkan bahwa Qutailah binti Abdul Uzza (ketika musyrik) mendatangi anaknya, Asma binti Abu Bakar dgn membawa hadiah. Tetapi Asma tak menerima pemberian ibunya dan tak mengizinkan ibunya masuk rumah. Lalu turunlah ayat itu (Al-Mumtahanah ayat 8-9). Rasulullah SAW lalu meminta Asma buat menerima pemberian ibunya, menghormati dan memuliakan ibunya,” (Lihat Ibnu Ajibah, Tafsir Al-Bahrul Madid).

Terakhir, ialah masalah siapa yg mengundang. Keterangan Abu Bakar bin Sayid Muhammad Syatha Dimyathi dalam Hasyiyah I’anatut Thalibin dapat membantu kita memperjelas persoalan ini.

( قوله إن دعاه مسلم ) خرج به ما لو كان كافرا فلا تطلب إجابته نعم تسن إجابة ذمي

Artinya, “(Jika diundang oleh seorang Muslim), kafir (harbi) tak masuk kategori Muslim.Kalau diundang oleh kafir harbi, Muslim tak wajib mendatangi undangannya. Tetapi disunahkan mendatangi undangan dzimmi (non-Muslim yg hidup rukun dgn Muslim),” (Lihat Abu Bakar bin Sayid Muhammad Syatha Dimyathi, Hasyiyah I’anatut Thalibin, Darul Fikr, Beirut).

Dari empat pokok yg dipermasalahkan, kita ternyata tak menemukan masalah di dalamnya. Memang benar tak ada ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW yg menganjurkan kita buat berbuka puasa atau sahur bersama non-Muslim. Tetapi kita juga tak menemukan dalil Al-Quran dan hadits yg melarang buka puasa bersama di tempat ibadah non-Muslim.

Sikap penolakan sekelompok Muslim itu patut disaygkan. Sebuah sikap yg seharusnya tak perlu. Saran kami, masyarakat Muslim mesti terus menggali perihal agama dan terutama hukum Islam secara seksama dan mendalam sehingga tak berteriak ini munkar, itu munkar tanpa dasar kajian. Semuanya telah jelas di dalam kitab-kitab yg ditulis oleh para ulama.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka buat menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.