Hukum Memberikan Mut’ah Setelah Perceraian

Assalamu’alaikum wr. wb. Ustad saya mau bertanya, kalau ada orang yg bercerai pihak perempuan setelah perceraian mendapatkan uang mut’ah. Saya mau menanyakan beberapa hal yg terkait dgn uang mut’ah dalam persepktif fikih, terutama fikih madzhab syafii yg banyak dipakai mayoritas muslim Indonesia.<> Apa yg dimaksud dgn uang mut’ah? Bagaimana hukumnya, dan dalam perceraian yg bagaimana perempuan dapat mendapatkan mut’ah, serta berapa besarannya?. Atas penjelasannya, kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb (Dewi Susanti/Pemalang)

 

Jawaban

Assalamu’alaikum wr. wb.

Penanya yg budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Perpisahan (furqah) atau perceraian antara suami isteri dapat terjadi sebab kematian salah satu dari dua pihak, atau terjadi semasa keduanya masih hidup. Dalam kasus kedua, yaitu terjadi perceraian pasangan suami-isteri bukan disebabkan oleh satunya meninggal dunia, memang dikenal istilah mut’ah.

Lantas apa yg disebut dgn mut’ah? Mut’ah secara bahasa berarti kesenangan. Menurut madzhab syafi’i, mut’ah ialah nama yg digunakan buat menyebut harta-benda yg wajib diberikan laki-laki (mantan suami) kepada perempuan (mantan isteri) sebab ia menceraikannya.

الْبَابُ الْخَامِسُ فِي الْمُتْعَةِ — هِيَ اسْمٌ لِلْمَالِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ دَفْعُهُ لِامْرَأَتِهِ بِمُفَارَقَتِهِ إيَّاهَا

“Bab kelima tentang mut’ah. Mut’ah ialah nama buat menyebut harta-benda yg wajib diberikan seorang (mantan) suami kepada (mantan) isterinya sebab ia menceraikannya” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 3, h. 319)  

Dengan mengau pada penjelasan ini maka pemberian mut’ah kepada mantan isteri menurut madzhab syafi’i ialah wajib. Namun tak semua perceraian mengakibatkan keharusan adanya memberikan mut’ah. Dalam kasus cerai mati, menurut ijma’ para ulama tak ada mut’ah sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi.

  اَلْفُرْقَةُ ضَرْبَانِ فُرْقَةٌ تَحْصُلُ بِالْمَوْتِ فَلَا تُوجِبُ مُتْعَةً بِالْإِجْمَاعِ

“Perpisahan itu ada dua macam, pertama perpisahan yg terjadi sebab kematian. Maka dalam kasus ini menurut ijma’ para ulama tak mewajibkan memberikan mut’ah”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Raudlah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Bairut-al-Maktab al-Islami, 1405 H, juz, 7, h. 321)

Hal penting yg harus diingat ialah bahwa perempuan yg dicerai berhak mendapatkan mut’ah apabila perceraian itu lahir dari inisatif pihak lelaki. Artinya, bila perceraian itu muncul inisiatif dari pihak perempuan, seperti dalam kasus faskh (cerai gugat) dimana pihak perempuan menggugat cerai suaminya dgn alasan suami tak mampu menafkahinya atau menghilang. Atau disebabkan oleh pihak perempuan itu sendiri, seperti suami meminta cerai disebabkan oleh adanya aib pada isterinya, seperti isteri terkena penyakit kusta atau lepra. Maka dalam hal ini ia tak berhak mendapatkan mut’ah.

وَكُلُّ فُرْقَةٍ مِنْهَا أَوْ بِسَبَبٍ لَهَا فِيهَا لَا مُتْعَةَ فِيهَا كَفَسْخِهَا بِإِعْسَارِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ أَوْ فَسْخِهِ بِعَيْبِهَا

“Setiap perceraian yg terjadi sebab inisiatif dari pihak perempuan atau disebabkan oleh pihak perempuan maka tak ada mut’ah, seperti pihak perempuan menggugat cerai suaminya sebab si suami tak mampu mencukupi nafkahnya atau menghilang, atau pihak lelaki mengajukan tuntutan cerai sebab adanya aib pada isterinya” (Taqiyuddin Muhamman Abu Bakar al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Damaskus-Dar al-Khair, 1999 M, juz, 1, h. 373)

Lebih lanjut dijelaskan oleh Muhyiddin Syarf Nawawi dalam kitab Raudlah ath-Thalibin-nya bahwa bila seorang laki-laki menceraikan isterinya dan belum sempat disetubuhi (dukhul) maka harus dilihat terlebih dahulu. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa perempuan yg dicerai sebelum disetubuhi maka ia hanya berhak mendapatkan separo dari maharnya. Maka apabila separo maharnya telah diberikan, maka ia tak wajib memberikan mut’ah kepada mantan isterinya. Namun bila separo maharnya belum diberikan, maka ia wajib memberikan mut’ah menurut pendapat yg masyhur di kalangan madzhab syafi’i. Sedangkan bila telah disetubuhi, maka menurut qaul jadid yg al-azhhar, ia (perempuan yg diceraikannya) berhak mendapatkan mut’ah.

 وَفُرْقَةٌ تَحْصُلُ فِي الْحَيَاةِ كَالطَّلَاقِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ نُظِرَ إِنْ لَمْ يَشْطُرْ الْمَهْرَ فَلَهَا الْمُتْعَةُ وَإِلَّا فَلَا عَلَى الْمَشْهُورِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا الْمُتْعَةُ عَلَى الْجَدِيدِ الْأَظْهَرِ

“(yg kedua) ialah perpisahan yg terjadi semasa hidup sebagaimana talak atau perceraian. Jika talak itu terjadi sebelum dukhul (disetubuhi) maka harus dilihat. Apabila pihak lelaki belum memberikan maharnya yg separo maka ia (perempuan yg dicerai) berhak mendapatkan mut’ah, namun bila maharnya yg separo telah diberikan maka tak ada mut’ah baginya sebagaimana pendapat yg masyhur di kalangan madzhab syafi’i. Sedangkan bila perceraian itu terjadi setelah dukhul maka ia berhak menerima mut’ah sebagaimana qaul jadid yg azhhar. (Raudlah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, juz, 1, h. 321)

Demikian penjelasan yg dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dgn baik. Saran kami, hindari sedapat mungkin perceraian. Sebab, perceraian itu mau membawa dampak yg kurang baik bagi diri kita, isteri, maupun anak, bahkan juga lingkungan sekitar kita. Dan kami selalu terbuka buat menerima saran dan kritik dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.

Wassalamu’alaikum wr. wb

 

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)

 

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.