Hukum Memberikan Zakat Fitrah Sekeluarga kepada Satu Orang

Zakat fitrah diwajibkan buat setiap Muslim yg menemui satu bagian dari waktu Ramadhan dan Syawal, meski dalam waktu yg sebentar. Asal memiliki kemampuan menunaikannya, baik budak ataupun merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bayi ataupun dewasa, ia wajib menunaikannya. Untuk anak yg belum akil baligh, kepala keluarga wajib menanggung zakat fitrah orang-orang yg wajib ia nafkahi.

 

Menurut mazhab Syafi’i, zakat fitrah dikeluarkan sebanyak satu sha’ makanan pokok daerah orang yg berzakat—di Indonesia umumnya menggunakan beras. Ada beberapa pendapat tentang ukuran satu sha’. Versi kitab al-Taqrirat al-Sadidah (Pasuruan: Darul Ulum al-Islamiyyah, h. 419-420) 2,75 kg, versi lain dalam kitab serupa dari sebagian ulama, 3 kg. Versi kitab Mukhtashar Tasyyid al-Bunyan (Yaman: al-Ma’ruf Huraidloh, h. 205) 2,5 kg. Ada juga versi Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil (Kairo: al-Quds, h. 37) yg mengatakan 2,04 Kg. Di antara beberapa pendapat tersebut masyarakat boleh memilih salah satunya.

 

Banyak cara dilakukan masyarakat dalam menenuaikan zakat fitrahnya. Sebagian menyerahkannya kepada petugas pengumpulan zakat setempat, ada juga yg mengeluarkannya sendiri. Dalam memberikan jatah zakat per jiwa juga berbeda-beda. Sebagian membagi zakat fitrah setiap jiwa kepada orang yg berbeda, semisal zakat anaknya diberikan kepada si A, zakat fitrah istrinya diberikan kepada si B dan seterusnya. Yang cukup menarik ialah pemberian zakat fitrah sekeluarga kepada satu orang mustahiq (orang yg berhak menerima zakat) saja—jatah zakat tak diberikan kepada orang lain. Pertanyaannya kemudian, bolehkah zakat fitrah sekeluarga diberikan kepada satu orang?

 

Menurut pendapat yg kuat dalam mazhab Syafi’i, zakat, termasuk zakat fitrah buat setiap jiwa harus diberikan secara merata kepada seluruh golongan mustahiq zakat di daerah setempat. Standar minimal rata ialah membagikan zakat kepada tiga orang di setiap golongan mustahiq zakat yg berjumlah delapan. Semisal ada dua kelompok mustahiq zakat di daerah setempat, faqir dan gharim, maka bila zakat fitrah wajib dibagi kepada enam orang, dgn perincian tiga orang dari golongan faqir, tiga orang dari golongan gharim.

 

Jika aturan tersebut tak diindahkan, maka wajib mengganti rugi kepada mustahiq zakat yg tak diberi, berupa harta paling minimal yg dapat dihargai (aqallu mutamawwal). Sebagian pendapat menyebut ganti ruginya ialah nominal harta yg sebanding dgn sepertiga zakat yg ditunaikan. Pengecualian berlaku buat mustahiq berupa ‘amil (panitia zakat), boleh memberikan zakat kepada satu orang saja dari golongan ‘amil.

 

Aturan ini berlandaskan kepada ayat mengenai mustahiq zakat yg disampaikan dalam bentuk plural (jama’), al-fuqara’, al-masakin, dan seterusnya. Dalam gramatika Arab, minimal jama’ ialah tiga orang.

 

Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi mengatakan:

 

(ولا يقتصر) في إعطاء الزكاة (على أقل من ثلاثة من كل صنف) من الأصناف الثمانية (إلا العامل)؛ فإنه يجوز أن يكون واحدا إن حصلت به الحاجة فإن صرف لاثنين من كل صنف غرم للثالث أقل متمول. وقيل يغرم له الثلث.

 

“Dan tak boleh meringkas dalam memberi zakat atas jumlah yg kurang dari tiga orang dari setiap golongan mustahiq zakat yg ada delapan, kecuali ‘amil, maka boleh diberikan hanya kepada satu orang bila dgn satu orang tersebut terpenuhi kebutuhan. Maka bila zakat diberikan kepada dua orang dari setiap golongan, wajib mengganti rugi kepada orang ketiga berupa minimal harta yg dapat dihargai. Sebagian pendapat mengatakan ganti ruginya ialah sepertiga” (Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 213).

 

Berpijak dari teori tersebut, maka tak boleh memberikan zakat fitrah sekeluarga kepada satu orang.

 

Menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal, zakat—termasuk zakat fitrah—boleh diberikan kepada satu orang mustahiq, tak wajib diratakan kepada seluruh kelompok penerima (ashnaf), tak pula harus diberikan kepada minimal 3 orang dari masing-masing ashnaf. Pendapat tiga Imam ini juga difatwakan oleh banyak ulama dari kalangan Syafi’iyah, di antaranya Imam Ibnu ‘Ujail al-Yamani, Imam al-Ashba’i dan mayoritas ulama Muta’akhirin. Argumen dari pendapat ini bahwa pemberian zakat kepada minimal tiga orang di setiap ashnaf sulit buat direalisasikan, terlebih zakat fitrah yg jumlahnya sedikit.

 

Syekh Abu Bakr bin Syatho mengatakan:

 

وقال ابن حجر في شرح العباب قال الأئمة الثلاثة وكثيرون يجوز صرفها إلى شخص واحد من الأصناف. قال ابن عجيل اليمني ثلاث مسائل في الزكاة يفتى فيها على خلاف المذهب، نقل الزكاة، ودفع زكاة واحد إلى واحد، ودفعها إلى صنف واحد.

 

“Syekh Ibnu Hajar berkata dalam Syarh al-‘Ubab, berkata tiga imam dan banyak ulama (Syafi’iyah), boleh memberikan zakat kepada satu orang dari beberapa ashnaf. Ibnu ‘Ujail al-Yamani berkata, tiga permasalahan zakat yg difatwakan berbeda dgn pendapat al-Madzhab, kebolehan memindah zakat, kebolehan memberi zakatnya satu jiwa kepada satu orang, dan kebolehan memberi zakat kepada satu golongan” (Syekh Abu Bakr bin Syatho, I’anah al-Thalibin, juz.2, hal. 212).

 

Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur menjelaskan:

 

(مسألة ي ش) لا خفاء أن مذهب الشافعي وجوب استيعاب الموجودين من الأصناف في الزكاة والفطرة ومذهب الثلاثة جواز الاقتصار على صنف واحد وأفتى به ابن عجيل والأصبعي وذهب إليه أكثر المتأخرين لعسر الأمر ويجوز تقليد هؤلاء في نقلها ودفعها إلى شخص واحد كما أفتى به ابن عجيل وغيره

 

Tidak ada keraguan bahwa menurut mazhab Syafi’i diwajibkan meratakan mustahiq zakat yg wujud dari beberapa golongan di dalam zakat (mal) dan zakat fitrah. Menurut mazhabnya tiga Imam, boleh meringkas atas satu golongan. Pendapat ini difatwakan oleh Syekh Ibnu Ujail, Syekh al-Ashba’i dan diugemi oleh mayoritas ulama muta’akhirin, sebab sulitnya perihal (meratakan zakat). Boleh mengikuti pendapat-pendapat tersebut dalam memindah zakat dan memberinya kepada satu orang seperi fatwanya Syekh Ibnu ‘Ujail dan lainnya”. (Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 219).

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah sekeluarga buat satu orang mustahiq ialah persoalan yg diperdebatkan oleh ulama (ikhtilaf). Menurut pendapat mayoritas mazhab Syafi’i tak diperbolehkan, sedangkan menurut Ibnu ‘Ujail, al-Ashba’i dan mayoritas ulama muta’akhirin, diperbolehkan. Pendapat kedua ini senada dgn pendapatnya tiga Imam, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Masing-masing dari dua pendapat tersebut boleh diikuti.

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.