Hukum Memelihara Anjing bagi Seorang Muslim

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, belakangan ini publik ramai memperbincangkan terkait larangan bagi seorang Muslim buat memelihara anjing. Mohon dijelaskan sesuai keterangan ahli agama atau ulama. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Siti Fathimah/Serang)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yg budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya buat kita semua. Anjing ialah salah satu hewan yg kerap dijauhi oleh umat Islam bukan sekadar sebab haram memakannya, tetapi sebab menyucikan diri dari liur dan kotorannya lebih sulit setaknya menurut Madzhab Syafi’i.

Lalu bagaimana bila seorang Muslim memelihara anjing? Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang Muslim yg memelihara anjing tanpa sebab tertentu dapat dikurangi pahalanya sebagai hadits riwayat Imam Muslim berikut ini:

وفي رواية لمسلم من اقتنى كلبا ليس بكلب صيد، ولا ماشية ولا أرض، فإنه ينقص من أجره قيراطان كل يوم.

Artinya, “Dalam riwayat Muslim Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yg memelihara anjing bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya mau berkurang sebanyak dua qirath setiap hari.’”

Dari hadits ini, ulama berbeda pendapat perihal seorang Muslim yg memelihara anjing. Ulama Madzhab Syafi’i menarik simpulan bahwa seorang Muslim haram memelihara anjing tanpa hajat tertentu. Seorang Muslim hanya boleh memelihara anjing buat sejumlah keperluan berikut ini:

وأما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية وهل يجوز لحفظ الدور والدروب ونحوها فيه وجهان أحدهما لا يجوز لظواهر الأحاديث فإنها مصرحة بالنهى الا لزرع أو صيد أو ماشية وأصحها يجوز قياسا على الثلاثة عملا بالعلة المفهومة من الاحاديث وهى الحاجة

Artinya, “Adapun memelihara anjing tanpa hajat tertentu dalam madzhab kami ialah haram. Sedangkan memeliharanya buat berburu, menjaga tanaman, atau menjaga ternak, boleh. Sementara ulama kami berbeda pendapat perihal memelihara anjing buat jaga rumah, gerbang, atau lainnya. Pendapat pertama menyatakan tak boleh dgn pertimbangan tekstual hadits. Hadits itu menyatakan larangan itu secara lugas kecuali buat jaga tanaman, perburuan, dan jaga ternak. Pendapat kedua–ini lebih shahih–membolehkan dgn memakai qiyas atas tiga hajat tadi berdasarkan illat yg dipahami dari hadits tersebut, yaitu hajat tertentu,” (Lihat Al-Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim ibnil Hajjaj, [Kairo, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah: 1929 M/1347 H], cetakan pertama, juz X, halaman 236).

Sementara Imam Malik menyatakan kebolehan seorang Muslim buat memelihara anjing buat berbagai keperluan sebagai keterangan Ibnu Abdil Barr berikut ini:

وأجاز مالك اقتناء الكلاب للزرع والصيد والماشية وكان بن عمر لا يجيز اتخاذ الكلب إلا للصيد والماشية خاصة ووقف عندما سمع ولم يبلغه ما روى أبو هريرة وسفيان بن أبي زهير وبن مغفل وغيرهم في ذلك

Artinya, “Imam Malik membolehkan pemeliharaan anjing buat jaga tanaman, perburuan, dan jaga hewan ternak. Sahabat Ibnu Umar tak membolehkan pemeliharaan anjing kecuali buat berburu dan menjaga hewan ternak. Ia berhenti ketika mendengar dan hadits riwayat Abu Hurairah, Sufyan bin Abu Zuhair, Ibnu Mughaffal, dan selain mereka terkait ini tak sampai kepadanya” (Lihat Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan pertama, juz XXVII, halaman 193).

Ibnu Abdil Barr, ulama Madzhab Maliki, menjelaskan bahwa pemeliharaan anjing tak diharamkan. “Larangan” Rasulullah hanya bersifat makruh. Sedangkan pengurangan pahala hanya bersifat preventif sebagai keterangan berikut ini:

وفي هذا الحديث دليل على أن اتخاذ الكلاب ليس بمحرم وإن كان ذلك الاتخاذ لغير الزرع والضرع والصيد لأن قوله من اتخذ كلبا – [ أو اقتنى كلبا ] لا يغني عنه زرعا ولا ضرعا ولا اتخذه للصيد نقص من أجره كل يوم قيراط يدل على الإباحة لا على التحريم لأن المحرمات لا يقال فيها من فعل هذا نقص من عمله أو من أجره كذا بل ينهى عنه لئلا يواقع المطيع شيئا منها. وإنما يدل ذلك اللفظ على الكراهة لا على التحريم والله أعلم

Artinya, “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa memelihara anjing haram sekalipun bukan buat kepentingan jaga tanaman, ternak perah, dan berburu. Maksud redaksi hadits ‘Siapa saja yg menjadikan anjing’ atau ‘memelihara anjing’ bukan buat jaga tanaman, jaga ternak perah, atau berburu maka mau berkurang pahalanya sebanyak satu qirath, menunjukkan kebolehan bukan pengharaman. Pasalnya, pengharaman tak dapat ditarik dari pernyataan, ‘Siapa yg melakukan ini, maka mau berkurang amalnya atau pahalanya sekian.’ Larangan itu dimaksudkan supaya Muslim yg taat tak jatuh di dalamnya. Lafal ini menunjukkan larangan makruh, bukan haram. Wallahu a‘lam,” (Lihat Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan pertama, juz XXVII, halaman 193-194).

Ibnu Abdil Barr menjelaskan bahwa pada prinsipnya kualitas pemeliharaan anjing tergantung pada bagaimana perlakuan keseharian kita terhadap hewan peliharaan tersebut. Kalau perilaku keseharian kita baik, maka Allah mau memberikan pahala. Tetapi ketika perilaku kita buruk, maka Allah mau membalas kita dgn dosa.

وقد يكون في التقصير في الإحسان إلى الكلب لأنه قانع ناظر إلى يد متخذه ففي الإحسان إليه أجر كما قال صلى الله عليه وسلم في كل ذي كبد رطبة أجر وفي الإساءة إليه بتضييقة وزر

Artinya, “Terkadang terjadi kelalaian buat berbuat baik terhadap anjing. Hal ini cukup dilihat dari tangan orang yg memeliharanya. Berbuat baik terhadap anjing bernilai pahala sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Pada setiap limpa yg basah terdapat pahala.’ Berbuat jahat dgn kezaliman tertentu terhadap anjing bernilai dosa,” (Lihat Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan pertama, juz XXVII, halaman 194).

Atas perbedaan pendapat di kalangan ulama, kita sebaiknya saling menghargai pendapat orang lain yg berbeda. Sedangkan terkait pemeliharaan anjing, kita harus mengikuti standar pemeliharaan anjing supaya tak berlaku aniaya terhadapnya. Demikian halnya dgn hewan peliharaan lainnya.

Kami juga menyarankan mereka yg berkenan memelihara anjing berkonsultasi dgn pakar hewan terkait tabiat dan potensi risiko jenis anjing tertentu yg mau dipelihara. Tetapi mereka juga perlu berkonsultasi dgn ahli fiqih terkait cara bersuci dari najis anjing di badan, pakaian, dan di tempat lain di rumah kita.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Alhafiz Kurniawan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.