Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, sebelum bertanya, saya meminta maaf terlebih dahulu tanpa bermaksud menyinggung siapapun. Sudah lazim masyarakat kita memberikan amplop berisi uang ala kadarnya kepada penceramah agama. Pertanyaannya, bagaimana kalau penceramah itu memasang tarif ceramah dalam forum keagamaan tertentu? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (M Said/Karawang)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yg budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya buat kita semua. Uang ala kadarnya yg diberikan masyarakat kepada penceramah biasa disebut bisyarah, sejenis insentif. Uang ini dianggap sebagai pengganti biaya transportasi meskipun sekali waktu panitia hari besar Islam sebuah masjid menjemput penceramah agama tersebut.
Harus diakui bahwa pemberian uang semacam ini oleh masyarakat merupakan fenomena baru. Sementara sebelumnya para guru agama termasuk penceramah mendapatkan bisyarah atau insentif langsung dari anggaran negara dan kemurahan orang-orang dgn kelas ekonomi menengah ke atas.
Hal ini diangkat sebagai topik diskusi oleh ulama muta’akhirin, salah satunya Ibnu Rusyd. Masalah ini kemudian diangkat kembali oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily terkait penerimaan bisyarah oleh guru agama dari masyarakat sebagai berikut:
Artinya, “Fatwa di zaman kita ini terkait kewajiban buat memberikan insentif (lewat amplop atau rekening) atau pengupahan, hadir sebab munculnya gejala keredupan masalah keagamaan, putusnya anggaran negara (baitul mal) buat kerja-kerja guru, sedikitnya muru’ah orang-orang kaya. Semua ini berbeda dgn masa lalu di mana ulama Hanafiyah memakruhkan pemberian insentif atau amplop kepada mereka sebab kegigihan orang di masa lalu dalam melakukan hisbah (semacam amar makruf dan nahi munkar), banyaknya anggaran negara buat mereka, dan kekuatan muruah pada pengusaha dan orang-orang kaya buat membantu memberikan insentif sehingga mereka tak memerlukan insentif atau amplop (dari masyarakat), semata menegakkan hisbah,†(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).
Dari sini jelas bahwa pada masa mutaqaddimin, para guru agama mendapat kucuran anggaran dari negara dan juga orang-orang kaya. Kondisi ini yg menyebabkan ulama Madzhab Hanafi menyatakan makruh bagi mereka buat menerima pemberian masyarakat (yg sekarang kita kenal sebagai gratifikasi) sebab mereka telah dihonori oleh negara. Zaman dulu, kita dapat bilang bahwa mereka itu ialah PNS sehingga tak boleh dan tidah perlu menerima insentif dari masyarakat.
Sementara kondisi sekarang berubah. Negara tak mengalokasikan anggaran buat guru-guru agama atau penceramah. Di lain pihak muruah kebanyakan orang kaya memudar. Kebanyakan mereka tak lagi menyokong pengajaran agama dan syiar-syiar agama. Perubahan kondisi ini menjadi faktor keluarnya fatwa kebolehan guru agama atau penceramah menerima insentif dari masyarakat (bisyarah) demi melestarikan syiar Islam.
Adapun soal penetapan tarif oleh penceramah, kita perlu menelaah masalah ini lebih jauh. Hal ini biasanya sensitif buat dibicarakan. Meskipun tak ada dalil secara jelas, hanya sejatinya guru agama atau penceramah agama tak etis menetapkan tarif.
Kalaupun dirasa perlu, tampaknya harus ada batas minimal tarif penceramah sebagai standar berasarkan adat setempat, setaknya menutupi biaya transportasi dari domisili penceramah ke lokasi masyararakat yg memiliki hajat syiar agama. Biaya transportasi ini tentu berbeda-beda tergantung jarak dan jenis transportasi yg digunakan.
Pemasangan tarif dapat jadi ialah upaya buat mengatasi kebuntuan komunikasi atau “kontrak†informal yg lazimnya berjalan selama ini. Pemasangan tarif dimungkinkan supaya penceramah agama menjadi tak tekor sebab menutupi ongkos transportasinya. Jadi jangan sampai masyarakat membiarkan penceramah agama “terlantarâ€. Tetapi ini biasanya jarang sekali terjadi sehingga pada hemat kami, penceramah agama tak etis memasang tarif sebab dapat menimbulkan mudarat, yaitu kesan kapitalisasi agama di masyarakat.
Menurut hemat kami, yg justru “harus ada†pemasangan tarif ialah para instruktur pelatihan organisasi yg bersifat nonprofit. Karena nonprofit, sikap panitia harus jelas. Jangan sampai status nonprofit menjadi alasan pihak panitia buat melempar tanggung jawab meski hanya pas-pasan buat transportasi instruktur.
Sebuah komunitas atau unit organisasi nonprofit harus menyatakan secara lugas kepada instruktur pelatihan yg mau diundang bahwa pihak panitia tak menyiapkan atau telah menyiapkan dana transportasi supaya instruktur tersebut tak bimbang dalam memutuskan kehadirannya di forum pelatihan tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya tak pihak yg dirugikan. Dengan keterbukaan ini, “kontrak†kedua pihak menjadi klir. Pada prinsipnya, tak boleh ada pihak yg dirugikan.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)