Hukum Praktik Bisnis Pejabat Tinggi Negara

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yg kami hormati. Kami mau menanyakan tentang hukum pejabat tinggi negara seperti menteri, gubernur, bupati, atau pejabat negara lain yg memiliki kewenangan tertentu melakukan bisnis, di mana dgn jabatan dan kewenangan yg disandangnya berpotensi buat membuat kebijakan yg dapat menguntungkan bisnisnya dan merugikan pihak lain.

Yang mau kami tanyakan, bagaimana hukum pejabat tinggi negara melakukan bisnis di bidang yg masih ada hubungan dgn kewenangannya? Atas penjelasaanya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Agus B/Jakarta Selatan)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yg budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yg kita ketahui bahwa ketika seseorang memangku jabatan seperti menteri, gubernur, bupati, camat, atau jabatan-jabatan lain, maka ia sebenarnya sedang menerima amanat yg cukup berat.

Mereka ialah para pemimpin masyarakat. Sedangkan para pemimpin ialah abdi atau pelayannya. Karena itu kemudian dikatakan sayyidul qaum khadimuhum (pemimpin umat ialah pelayan mereka). Karenanya, telah sepatutnya para pejabat tersebut sigap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa pandang bulu.

Para pejabat itu dgn segala kewenangan yg melekat pada dirinya jelas tak boleh mempergunakannya buat kepentingan pribadi misalnya buat kepentingan bisnisnya. Karena hal ini menyalahi amanat yg diembannya.

Ketika seseorang pejabat yg memiliki kewenangan tertentu kemudian dgn kewenangannya membuat kebijakan yg menguntungkan bisnisnya, maka hal ini mau menimbulkan persoalan serius.

Al-Bahuti salah seoarang ulama dari kalangan Madzhab Hanbali menyoroti bisnis yg dilakukan oleh pejabat tinggi negara seperti hakim dan yg lainnya. Menurutnya, hukum pejabat berbisnis ialah makruh.

Jika seoarang hakim misalnya mau berbisnis, sebaiknya ia menggunakan perantara atau wakil yg tak diketahui publik. Hal ini penting buat menghindari adanya perlakukan khusus atau istimewa. Sebab, perlakuan istimewa itu statusnya seperti hadiah. Demikian juga dgn pejabat tinggi negara yg lain.

وَيُكْرَهُ بَيْعُهُ ) أَيْ الْقَاضِي ( وَشِرَاؤُهُ إلَّا بِوَكِيلٍ لَا يُعْرَفُ بِهِ ) أَيْ : أَنَّهُ وَكِيلُهُ لِئَلَّا يُحَابِيَ وَالْمُحَابَاةُ كَالْهَدِيَّةِ ( وَلَيْسَ لَهُ ) أَيْ الْقَاضِي ( وَلَا لِوَالٍ أَنْ يَتَّجِرَ ) لِحَدِيثِ أَبِي الْأَسْوَدِ الْمَالِكِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ مَرْفُوعًا مَا عَدَلَ وَالٍ اتَّجَرَ فِي رَعِيَّتِهِ أَبَدًا

Artinya, “Dimakruhkan bagi seorang hakim buat melakukan jual-beli kecuali melalui wakil yg tak dikenal publik buat menghindari adanya perlakuan istimewa sebab hal itu seperti hadiah. Dan tak boleh bagi hakim begitu juga penguasa buat berbisnis atau berniaga sebab didasarkan kepada hadits marfu`yg diriwayatkan oleh Abul Aswad Al-Maliki dari bapaknya dari kakeknya, “Selamanya tak mau pernah berbuat adil seseorang penguasa yg melakukan bisnis atau perniagaan di tengah rakyanya’,” (Lihat Manshur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti, Daqa`iqu Ulin Nuha li Syarhil Muntaha, Bairut, Alamul Kutub, 1996 M, juz III, halaman 500).

Namun hukum makruh itu tak berlaku apabila pejabat yg bersangkutan memang membutuhkan buat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dengan kata lain, negara tak memberikan tunjangan atau gaji yg mencukupi. Hal ini seperti yg dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar RA yg melakukan perniagaan di pasar, sehingga para sahabat memutuskan buat memberikan tunjangan kepada beliau supaya dapat memenuhi kebutuhan dirinya serta keluarganya.

وَإِنْ احْتَاجَ إلَى التِّجَارَةِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يَكْفِيهِ لَمْ تُكْرَهْ لَهُ لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَصَدَ السُّوقَ لِيَتَّجِرَ فِيهِ حَتَّى فَرَضُوا لَهُ مَا يَكْفِيهِ وَلِوُجُوبِ الْقِيَامِ بِعِيَالِهِ فَلَا يَتْرُكُهُ لِوَهْمِ مَضَرَّةٍ

Artinya, “(Berbeda kasusnya, pent) apabila ia memang perlu buat melakukan bisnis sebab memang ia tak memiliki sesuatu buat memenuhi kebutuhannya, maka tak dimakruhkan. Sebagaimana Abu Bakar RA yg menuju ke pasar buat melakukan perniagaan, dan (melihat hal tersebut, pent) para sahabat berinisiatif buat memberikan tunjangan kepada beliau buat memenuhi kebutuhannya, di samping memang adanya kewajiban buat memenuhi kebutuhan keluarga sebabnya beliau tak perlu meninggalkannya sebab madarat yg masih belum jelas (mawhumah),” (Lihat Manshur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti, Daqa`iqu Ulin Nuha li Syarhil Muntaha, juz III, halaman 500-501).

Dalam kasus bisnis yg dilakukan oleh pejabat negara, Ibnu Khaldun telah memberikan peringatan yg cukup keras. Menurutnya, bisnis yg dilakukan penguasa mau merugikan rakyat dan dapat mengurangi pendapatan negara.

Hal ini dapat kita lihat dalam Mukaddimah Tarikh Ibnu Khaldun di mana ia menulis bagian atau pasal khusus mengenai bisnis yg dilakukan oleh penguasa. Yaitu pasal tentang bisnis yg dilakukan penguasa itu dapat menyengsarakan rakyat dan mengurangi pendapatan negara.

فِى أَنَّ اَلتِّجَارَةُ مِنَ السُّلْطَانِ مُضِرَّةٌ بِالرَّعَايَا وَمَفْسِدَةٌ لِلْجِبَايَةِ

Artinya, “Bagian tentang bisnis yg dilakukan oleh penguasa itu cenderung memberikan dampak negatif pada kesempatan usaha oleh masyarakat atau swasta, dan merusak pendapatan negara,” (Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2001 M, juz I, halaman 346).

Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan para pejabatnya buat tak melakukan bisnis. Karena dikhawatirkan para pejabat mau melakukan monopoli dan membuat kebijakan yg merugikan pihak lain dan menguntungkan diri pejabat tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari penyataannya yg didokumentasikan oleh Ibnu Abdil Hakam berikut ini.

وَنَرَى أَنْ لَا يَتَّجِرَ إِمَامٌ وَلَا يَحِلَّ لِعَامِلٍ تِجَارَةٌ فِي سُلْطَانِهِ الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ فَإِنَّ الْأَمِيرَ مَتَى يَتَّجِرُ يَسْتَأْثِرُ وَيَصُبُّ أُمُورًا فِيهَا عَنَتٌ وَإِنْ حَرَصَ عَلَى أَنْ لَا يَفْعَلَ

Artinya, “Kami berpandangan bahwa seorang imam atau pemimpin sebaiknya tak melakukan bisnis dan tak halal juga bagi seorang pejabat melakukan bisnis dalam wilayah kekuasaaanya. Sebab, pemimpin ketika melakukan bisnis maka (dikhawatirkan, pent) mau melakukan monopoli dan mengalirkan hal-hal yg di dalamnya mengandung kerusakan (membuat pelbagai kebijakan yg negatif, pent) meskipun ia sebenarnya tak mau melakukannya,” (Lihat Ibnu Abdil Hakam, Siratu Umar ibni Abdil Aziz, Beirut, Alamul Kutub, 1404 H/1984 M, halaman 87).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka dalam pandangan kami maka tak elok (makruh) bagi para pejabat tinggi negara yg telah jelas-jelas mendapatkan gaji dan tunjangan yg cukup besar melakukan bisnis atau terlibat bisnis dgn pihak lain. Karena dikhawatirkan pejabat tesebut memanfaatkan jabatan dan kewenanganya buat menguntungkan bisnisnya. Bahkan dapat jadi haram, apabila memang benar-benar jabatan yg melekat pada dirinya disalahgunakan buat merugikan pihak lain. Karena sebagai pejabat ia dituntut buat berlaku adil.

Para pejabat tinggi negara selama masih menjabat sebaiknya mengindari praktik bisnis yg masih ada hubungannya dgn wilayah kewenangannya sebab buat menghindari hal-hal negatif yg tak dimaukan.

Demikian jawaban yg dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka buat menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith tharqiq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.