Hampir semua ibadah yg diperintahkan Allah SWT memiliki dampak positif dan kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan tersebut tak hanya dirasakan oleh orang yg mengerjakannya, tetapi juga berdampak pada orang lain. Ibadah shalat misalnya, di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS: al-‘Ankabut: 45). Apabila tujuan shalat ini terwujud nyata dalam perilaku orang Islam, tentu ini mau memberikan kenyamanan dan ketenangan terhadap orang lain.
Disebabkan tujuan ibadah baik dan mulia, mestinya pelaksanaan ibadah juga mengindahkan kemaslahatan orang lain. Lakukanlah ibadah sebagaimana mestinya dan usahakan tak mengusik kenyamanan orang lain. Jangan mentang-mentang kita mau beribadah, tapi malah menganggu aktifitas orang lain. Misalnya, membaca al-Qur’an itu amalan yg baik, tapi mau lain cerintanya bila kita membacanya malam hari dgn suara keras dan menggunakan pengeras suara pula, ini tentu mau memancing hujatan dan makian banyak orang.
Begitu pula shalat, alangkah baiknya shalat dilakukan di tempat yg tak menganggu aktivitas orang lain atau tempat yg telah dikhususkan penggunaannya buat shalat. Berdasarkan alasan ini, Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab memakruhkan pelaksanaan shalat di jalan umum. Kemakruhan ini tentu tak berdampak pada pembatalan shalat. Beliau mengatakan:  Â
ولا يصلي ÙÙŠ قارعة الطريق Ù„Øديث عمر رضى الله عنه “سبع مواطن لاتجوز Ùيها الصلاة وذكر قارعة الطريق” ولأنه يمنع الناس من الممر وينقطع خشوعه بممر الناس Ùإن صلى Ùيها صØت صلاته لأن المنع لترك الخشوع أو لمنع الناس من الطريق
وذلك لا يوجب بطلان الصلاة
“Janganlah shalat di jalan umum sebab hadis dari ‘Umar menyebut bahwa ada tujuh tempat yg dilarang malakukan shalat, salah satunya ialah jalan umum. Shalat di jalan umum dilarang sebab menghalangi jalan orang lain dan kekhusyukan shalat terganggu lantaran orang lalu-lalang. Kendati demikian, shalat yg dilakukan di jalan umum tetap sah, sebab larangan di sini disebabkan oleh hilangnya kekhusyukan dan menganggu jalan orang lain. Kedua hal ini tentu tak berdampak pada pembatalan shalatâ€
Menurut Imam al-Nawawi, ada dua alasan dimakruhkan shalat di jalan umum: pertama, menghalangi perjalanan orang lain, terlebih lagi bila shalat diselenggarakan di jalan raya atau umum; kedua, menganggu kosentrasi dan kekhusyukan shalat. Laiknya jalan raya pada umumnya tak pernah sepi dari kendaraan ataupun pejalan kaki. Hal ini tentu berakibat pada ketakfokusan pikiran. Shalat di masjid saja susah khusyuknya, apalagi di jalan umum.
Beliau menambahkan, bila shalat dilakukan di jalan yg tak dilewati banyak orang, seperti jalan di hutan ataupun padang sahara, maka shalat di sana diperbolehkan. Beliau mengatakan:
وذكر الأصØاب علة ثالثة وهي غلبة النجاسة Ùيها قالوا وعلى هذه العلة تكره الصلاة ÙÙŠ قارعة الطريق ÙÙŠ البراري وإن قلنا العلة Ùوات الخشوع Ùلا كراهة ÙÙŠ البراري إذ لم يكن هناك طارقون
“Sebagian ulama menambahkan bahwa bahwa ‘illah dilarang shalat di jalan ialah sebab ada najis. Oleh sebab itu, mereka juga memakruhkan shalat di jalan yg terdapat di padang sahara (meskipun di sana tak ada orang lewat). Namun bila kita mengatakan ‘illahnya sebab hilangnya kekhusyukan, maka tak dimakruhkan shalat di padang sahara, sebab tak ada (jarang) orang yg lewat.â€
Dengan demikian, seyogyanya pelaksanaan shalat tak menganggu kenyamanan orang lain. Terlebih lagi, dalam konteks Indonesia, masjid dan mushola masih banyak dan luas. Beda halnya bila masjid telah tak mampu menampung banyak jemaah atau tak ada masjid sama sekali, sebagaimana muslim di daerah minoritas. Dalam kondisi ini tentu menggunakan jalan sebagai tempat shalat menjadi salah satu alternatif. Wallahu a’lam (Hengki Ferdiansyah)
Uncategorized