Wirid ialah nama lain dari ibadah kepada Allah. Setiap orang memiliki wirid yg berbeda. Ada orang yg menjadikan shalat malam sebagai wiridnya. Sebagian lain menjadikan tadarus Al-Quran sebagai wiridnya. Walhasil segenap bentuk ibadah dapat menjadi wirid, yaitu sedekah, puasa, tafakkur, ta’lim, zikir, dan pelbagai aktivitas lain yg diniatkan ibadah.
Kita tak perlu heran dgn perbedaan jenis wirid orang lain. Kita juga tak perlu mempengaruhi apalagi merendahkan wirid orang lain. Perbedaan ini menunjukkan keragaman yg Allah SWT kehendaki sebagaimana disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini.
Artinya, “Jenis amalan tiap orang bermacam-macam seiring perbedaan inspirasi pada keadaan.â€
Kita perlu sekali menjaga adab terhadap wirid orang lain. Untuk sebagian orang, wirid ditentukan oleh guru mereka. Di sini kita harus menghargai wirid orang lain. Tetapi buat sebagian orang, wirid ditentukan oleh suasana batin yg bersangkutan. Kita juga perlu menghargai wirid mereka yg didasarkan pada suasana batinnya sebagai dijelaskan Syekh Syarqawi berikut ini.
Artinya, “(Jenis amalan tiap orang) hamba-hamba Allah yg beramal (bermacam-macam seiring perbedaan inspirasi pada keadaan), yaitu inspirasi yg menghasilkan suasana-suasana tertentu di hati mereka yg menuntut kecenderungan mereka pada sebuah amalan atau wirid tertentu. Inspirasi itu kadang disebut juga keadaan sebagai nanti diterangkan, yaitu di mana kau menemukan sebagian murid menyibukkan diri dgn shalat sebagai wiridnya, sebagian lain sibuk mengamalkan puasa sebagai wiridnya, dan seterusnya. Sebab dari semua itu ialah perbedaan inspirasi ilahi kepada mereka yg menuntut kecenderungan si fulan buat wirid ini, si fulan buat wirid itu, dan seterusnya. Jika tak dalam bimbingan salah seorang mursyid, seseorang seyogianya mengamalkan sebuah wirid tertentu sesuai kecenderungan inspirasinya. Tetapi mereka yg berada di bawah bimbingan seorang mursyid tak boleh mengamalkan wirid tertentu tanpa izin dan kehendak mursyidnya,†(Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, halaman 11).
Sementara Syekh Ahmad Zarruq menangkap dua pengertian berbeda soal hikmah ini. Pengertian pertama ialah pengertian seperti dijelaskan di atas, yaitu jenis wirid seseorang diinspirasi oleh suasana batinnya. Sedangkan buat pengertian kedua, wirid seseorang harus sesuai dgn tuntutan riil lapangan, yaitu kondisi sulit menuntut seseorang buat bersabar dan kondisi lapang menuntut orang bersyukur.
Artinya, “Buat saya, pengertian ‘bermacam-macam’ itu berwarna-warni. ‘Amalan’ sendiri merupakan ungkapan atas gerakan fisik. ‘Keadaan’ ialah ungkapan atas gerakan batin sehingga gerakan fisik seseorang mengikuti suasana batinnya. Kalau memang demikian, seseorang tak perlu fokus pada ketiadaan wirid ketika wirid uzur buat dilakukan sebab telah ada suasana batinnya. Ini yg dituntut dalam Kitab Tanbih…
Yang saya pribadi pahami bahwa kata ‘amalan’ merujuk pada gerakan fisik dan batin. Sedangkan ‘keadaan’ merupakan ungkapan dari perubahan riil, yaitu kaya-fakir, mulia-hina, sejahtera-bala, dan seterusnya yg berdampak padanya sebuah hukum sehingga amalan tiap-tiap orang berlainan sebab perbedaan tuntutan riil terkait dirinya. Setiap keadaan riil menuntut amalan tersendiri dan orang tertentu secara khusus sehingga keadaan itu saling menggantikan. Keluputan keadaan riil yg menuntut amalan syukur atas sejahtera, mau disusul dgn keadaan riil yg menuntut sabar atas sebuah bala, dan seterusnya. Kekurangan dalam amalan fisik dapat disempurnakan dgn amalan batin… Ketika ditawarkan pilihan pangkat nabi yg raja atau nabi yg rakyat jelata, Rasulullah SAW menjawab, ‘Tuhanku, hamba memilih lapar sehari dan kenyg di hari setelahnya supaya saat lapar hamba merendakan diri di hadapan Paduka dan saat kenyg hamba dapat memuji dan bersyukur kepada Paduka.’ Di sini Rasulullah SAW tak mengutamakan salah satu keadaan dibanding lainnya, tetapi memerhatikan penghambaan kepada Allah pada segala keadaan sebab penghambaan inilah yg menjadi tujuan hidup. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita. Amiiin,†(Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 23).
Penjelasan Syekh Zarruq ini sejalan dgn firman Allah pada Surat Ad-Dzariyat berikut ini.
Artinya, “Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali buat menyembah-Ku,†(Surat Ad-Dzariyat ayat 56).
Dengan penjelasan itu, Syekh Zarruq mau mengatakan bahwa kondisi riil setiap orang bersifat khusus dan menuntut amal yg khusus pula sehingga dalam kondisi apapun setiap orang tetap menjaga penghambaan kepada Allah dalam bentuk ibadah yg terus berubah seiring perubahan kondisi. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)