Hukum Shalat Jumat dgn Imam & Khatib Lain Orang

Seiring menyebarnya jargon “Kembali ke Al-Qur’an Hadits” yg marak beberapa tahun ini. Banyak sekali amalan-amalan masyarakat digugat seperti dibilang bid’ah, syirik dan diancam neraka. Alasannya ialah sebab tak sesuai dgn Al-Qur’an dan hadits menurut asumsi sebagian orang.

Di antara amalan yg dipermasalahkan ialah tentang teknis shalat Jumat di mana orang yg menjadi imam shalat Jumat bukan sekaligus yg bertindak sebagai khatibnya, sebagaimana praktik shalat Jumat di berbagai masjid di Indonesia. Anggapannya hal itu tak sesuai dgn berbagai hadits yg menyatakan ‘wal imamu yakhtubu’ (dan Imam sedang berkhutbah). Lalu, sebenarnya bagaimana hukumnya?

Pemahaman Hadits

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dilihat dulu hadits yg disalahpersepsikan itu. Di antaranya sabda Rasulullah SAW:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ. متفق عليه

Artinya, “Ketika kamu berkata kepada temanmu, ‘Diamlah’ pada hari Jumat sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh telah mengucapkan ucapan yg tak berguna,” (Muttafaq ‘Alaih), (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, [Beirut, Daru Ihya’it Turats Al-‘Arabi, 1392 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 138).

Namun demikian, para ulama pensyarah hadits tak menjelaskan bahwa redaksi ‘wal imamu yakhtubu’ berarti menunjukkan bahwa yg menjadi imam harus sekaligus khatibnya. Tetapi maksudnya ialah kewajiban inshat atau diam saat Jumatan hanya berlaku saat khatib berkhutbah, sebagaimana mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, dan jumhur ulama. (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, [Beirut, Daru Ihya’it Turats Al-‘Arabi: 1392 H], cetakan kedua, juz VI, halaman 139).

Pendapat Empat Mazhab tentang Imam Shalat Jumat

Lalu bagaimana pendapat ulama tentang imam shalat Jumat yg bukan sekaligus khatibnya, sebagaimana dipraktikkan di berbagai masjid di Indonesia?

Dalam mazhab Syafi’i, tampaknya tak ada keharusan yg menjadi imam shalat Jumat ialah sekaligus khatibnya. Hal ini tersirat dalam penjelasan Imam Syamsuddin Ar-Ramli (919-1004 H/1513-1596 M) ketika menjelaskan kesunnahan khatib buat segera menuju ke mihrab (tempat Imam) setelah selesai khutbah bersamaan dgn muazin mengumandangkan iqamah. Tokoh mazhab Syafi’i asal Mesir berjuluk As-Syafi’i As-Shaghir menjelaskan:

لَوْ كَانَ الْإِمَامُ غَيْرَ الْخَطِيبِ وَهُوَ بَعِيدٌ عَنِ الْمِحْرَابِ أَوْ بَطِيءَ النَّهْضَةِ سُنَّ لَهُ الْقِيَامُ بِقَدْرٍ يَبْلُغُ بِهِ الْمِحْرَابَ، وَإِنْ فَاتَتْهُ سُنَّةُ تَأَخُّرِ الْقِيَامِ إلَى فَرَاغِ الْإِقَامَةِ

Artinya, “Andaikan imamnya bukan orang yg berkhutbah sementara posisinya jauh dari mihrab, atau ia orang yg lambat bangunnya, maka disunnahkan berdiri dahulu dgn ukuran waktu yg dgnnya ia mampu mencapai mihrab, meskipun kehilangan kesunnahan menunda berdiri sampai muazin selesai dari iqamahnya,” (Lihat Muhammad bin Abil Abbas Al-Manufi al-Mishri, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1424 H/2003 M], cetakan ketiga, juz II, halaman 327).

Selain itu, hal tersebut juga terkonfirmasi secara terang-terangan dalam kitab Rahmatul Ummah karya Muhammad bin Abdirrahman Ad-Dimasyqi. Di sana ia mengatakan:

وَاخْتَلَفُوا هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُصَلِّي غَيْرَ الْخَاطِبِ؟ فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ لِعُذْرِ. وَقَالَ مَالِكُ: لَا يُصَلِّي إِلَّا مَنْ خَطَبَ. وَلِلشَّافِعِيِّ قَوْلَانِ، اَلصَّحِيحُ الْجَوَازُ. وَعَنْ أَحْمَدَ رِوَايَتَانِ

Artinya, “Imam mazhab empat berbeda pendapat, apakah boleh yg mengimami shalat Jumat ialah selain orang yg berkhutbah? Lalu Imam Abu Hanifah berpendapat boleh bila sebab ada uzur. Imam Malik berpendapat tak boleh mengimami shalat Jumat kecuali orang yg berkhutbah. Imam punya dua pendapat, dan pendapat yg shahih ialah boleh. Sementara dari Imam Ahmad terdapat dua riwayat (yg membolehkan dan tak membolehkan),” (Lihat Muhammad bin Abdirrahman Ad-Dimasyqi As-Syafi’i, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: tanpa keterangan tahun], juz halaman 50).

Dari uraian di atas diketahui bahwa masalah ‘siapa yg boleh menjadi imam shalat Jumat, apakah orang yg berkhutbah atau orang lain’ merupakan permasalahan khilafiyah imam mazhab empat. Bahkan Imam As-Syafi’i juga punya dua pendapat, sebagaimana dari Imam Ahmad diwariskan dua riwayat pendapatnya. Demikian titik terangnya. Wallahu a’lam. (Sekretaris LBM NU Jatim, Ahmad Muntaha AM)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.