Nasakh & Ayat Kurban: Imam Al-Ghazali Membantah Mu’tazilah

Salah satu topik penting dalam studi ilmu Al-Qur’an ialah mengenai Nasakh atau lazim dikenal dgn Nasikh-Mansukh. Secara ringkas maknanya ialah 
‎رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي yaitu ketentuan dalam Nash yg dihapus/diangkat dgn kententuan Nash lainnya. Ini artinya hukum yg terkandung dalam satu ayat diganti atau dihapus dgn ketentuan hukum lainnya.

Dalilnya paling tak ada dua:

Pertama, مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ
Apa saja ayat yg kami nasakhkan (hapuskan)… [Al-Baqarah: 106]

dan kedua, وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yg lain. [An-Nahl: 101]

Mayoritas ulama menerima adanya Nasakh ini, meskipun mereka berbeda dalam detailnya. Namun ada juga sebagian kecil ulama, misalnya Abu Muslim al-Asfahani yg bermazhab Mu’tazilah, menolak keberadaan Nasakh ini.

Dua disiplin ilmu yg membahas topik ini ialah Ulumul Qur’an dan Ushul Fiqih. Untuk kajian Ulumul Qur’an dapat ngaji kitab al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an (jilid 2, hal 28) karya Imam az-Zarkasyi. Untuk kajian Ushul Fiqih, kali ini saya sodorkan bacaan menarik dari kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali (juz 1, hal 86)

Imam Al-Ghazali mendiskusikan dgn sangat menarik topik Nasakh ini dgn mengupas perbedaan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam memahami ayat kurban:

“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia mau memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yg termasuk orang-orang yg shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dgn seorang anak yg amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yg diperintahkan kepadamu; Insyaallah kamu mau mendapatiku termasuk orang-orang yg sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yg berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yg nyata. Dan Kami tebus anak itu dgn seekor sembelihan yg besar. Kami abadikan buat Ibrahim itu (pujian yg baik) di kalangan orang-orang yg datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yg berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yg beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Diskusinya seputar persoalan apakah dapat sebuah perintah dari Allah dihapuskan sebelum perintah tersebut dilaksanakan?

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa kelompok Asy’ariyah berpendapat sebuah perintah taklah dianggap sebagai perintah sebelum sampai kepada objek yg terkena perintah. Jadi ini bukan perintah dan larangan dalam situasi yg sama, tapi terjadi dalam dua hal yg berbeda. Contohnya, dihapuskannya perintah kepada Nabi Ibrahim buat mengurbankan anaknya sebelum perintah itu dilaksanakan, dan Allah menggantinya dgn objek lain yaitu sembelihan yg besar.

Jadi, Nabi Ibrahim diperintah melalakukan satu perbuatan, kemudian berserah diri buat mengerjakannya, lantas di-Nasakh perintah itu. Kata Imam Al-Ghazali, “Ini amat pelik bagi Mu’tazilah buat memahaminya.” Mu’tazilah lantas mengajukan lima kemungkinan buat memahami ayat di atas:

1. Sebenarnya itu bukan perintah Allah, tapi hanya sebatas mimpi.

2. Ini perintah, tapi hanya dgn tujuan menguji Nabi Ibrahim, jadi perintah menyembelih itu bukan tujuan sebenarnya.

3. Perintah menyembelih tak dihapuskan, tapi Allah mengganti leher Nabi Ismail dgn besi sehingga tak dapat terpotong. Akibatnya perintah di-Nasakh sebab tak mungkin melaksanakannya.

4. Yang diperintah itu ialah membaringkan Nabi Ismail di atas pelipisnya, lantas mengayunkan pisau tanpa bermaksud menyembelihnya.

5. Penghapusan perintah itu tak ada sebab Nabi Ibrahim telah melaksanakan menyembelih Nabi Ismail, hanya saja kemudian oleh Allah direkatkan kembali sehingga penyembelihan itu tak benar-benar terjadi, sebab efeknya telah Allah sembuhkan.

Kelima kemungkinan penafsiran ala Mu’tazilah di atas satu demi satu dibantah oleh Imam Al-Ghazali.

1. Kalaupun ini hanya sekadar mimpi, maka mimpi setiap Nabi itu benar, dan bagian dari kenabian mereka. Lagipula dalam kasus ini dipercayai bukan sekadar mimpi sebab Nabi Ismail sendiri yg mengatakan: “Kerjakanlah apa yg diperintahkan kepadamu” dan Allah telah mengatakan: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yg nyata.” Masak kalau cuma mimpi dibilang ini ujian. Mana ada orang ujian lewat mimpi.

2. Kalau dikatakan ini bukan perintah, hanya sekadar ujian belaka, maka inipun harus kita tolak argumentasi Mu’tazilah sebab Allah Yang Maha Mengetahui hal yg ghaib tak membutuhkan ujian buat mengetahui kondisi Nabi Ibrahim. Ujian itu ada hanya sebab ada kewajiban. Jika kewajiban tak ada, maka ujian juga tak ada. Kalau Mu’tazilah berargumen determinasi (azam) ialah kewajiban, maka ini absurd sebab tekad yg kuat buat melaksanakn kewajiban bukanlah sesuatu yg wajib dgn sendirinya sebab ia mau mengikuti aturan main dari objek, dan sekadar tekad yg kuat (determinasi/azam) taklah sebuah kewajiban selama ia tak percaya mau kewajiban dari obyek. Bahkan kalaupun objek taklah wajib, maka Nabi Ibrahim mau lebih paham soal ini ketimbang Mu’tazilah, ketika beliau berkata: “aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.” Yang dijawab oleh anaknya: “kerjakanlah apa yg diperintahkan kepadamu”, yg bermakna menyembelihnya. Begitu juga firman Allah: “Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya”, yg artinya bukan sekadar tekad, tapi memang sebuah aksi buat melaksanakan perintah menyembelih.

3. Kemungkinan nomor 3 ini juga tak tepat menurut prinsip berpikir Mu’tazilah sendiri. Memerintahkan sesuatu dgn persyaratan ini tak dapat terjadi menurut mereka. Kalau Allah tahu bahwa Dia mau memgganti leher Ismail dgn besi, maka Dia tak mau memberi perintah menyembelih sebagai sebuah kurban. Tidak mungkin Allah memberi perintah yg mustahil dikerjakan.

4. Argumentasi bahwa perintahNya itu seolah bukan menyembelih tapi hanya sekadar membaringkan, ini juga bermasalah. Membaringkan tak dapat dianggap sama dgn mengurbankan.

5. Mengenai kemungkinan leher Nabi Ismail telah terpotong tapi sembuh rekat kembali, ini juga argumen yg bermasalah dari Mu’tazilah. Bagaimana kemudian perlu diganti dgn “sembelihan yg besar” bila leher Nabi Ismail menjadi sembuh? Dan kalau ini yg terjadi, temtu telah diketahui sejak dulu dan menjadi mu’jizat tersendiri. Tapi ini hanya rekaan Mu’tazilah saja. bila dikatakan bahwa bukankah Allah berfirman “kamu telah membenarkan mimpi itu”? Maksud penggalan ayat ini ialah: “kamu telah mengerjakan pengantar dari apa yg telah kamu benarkan di mimpimu.” Membenarkan mimpi tersebut tanpa benar-benar mengerjakan perintah menyembelih itu secara keseluruhan.

Demikianlah diskusi menarik antara Imam Al-Ghazali dgn Mu’tazilah di kitab Ushul Fiqih beliau yg berjudul al-Mustashfa. Dalam kitab ini memang Imam al-Ghazali seringkali menuliskannya dgn gaya berpolemik. Membacanya seolah kita tengah menyaksikan Imam al-Ghazali yg sedang berdiskusi dgn pihak lain. Semoga kajian —yg agak berat kali ini— dapat bermanfaat buat para pecinta ilmu kalam, Ulumul Qur’an dan ushul fiqih sekaligus.

Tabik,

Nadirsyah Hosen, Wakil Ketua Dewan Pengasuh Pesantren Takhasus Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Teks asli dari kitab al-Mustashfa Imam Al-Ghazali:

 

‎وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: الْأَمْرُ لَا يَكُونُ أَمْرًا قَبْلَ بُلُوغِ الْمَأْمُورِ، فَلَا يَكُونُ أَمْرًا وَنَهْيًا فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ بَلْ فِي حَالَتَيْنِ. فَهَذَا أَيْضًا يَقْطَعُ التَّنَاقُضَ وَيَدْفَعُهُ. ثُمَّ الدَّلِيلُ الْقَاطِعُ مِنْ جِهَةِ السَّمْعِ عَلَى جَوَازِهِ قِصَّةِ إبْرَاهِيمَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – وَنَسْخُ ذَبْحِ وَلَدِهِ عَنْهُ قَبْلَ الْفِعْلِ، وقَوْله تَعَالَى: {وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ} [الصافات: ١٠٧] فَقَدْ أُمِرَ بِفِعْلٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يُقَصِّرْ فِي الْبِدَارِ وَالِامْتِثَالِ ثُمَّ نُسِخَ عَنْهُ.
‎وَقَدْ اعْتَاصَ هَذَا عَلَى الْقَدَرِيَّةِ حَتَّى تَعَسَّفُوا فِي تَأْوِيلِهِ وَتَحَزَّبُوا فِرَقًا وَطَلَبُوا الْخَلَاصَ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ:
‎أَحَدِهَا: أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مَنَامًا لَا أَمْرًا.
‎الثَّانِي: أَنَّهُ كَانَ أَمْرًا لَكِنْ قُصِدَ بِهِ تَكْلِيفُهُ الْعَزْمَ عَلَى الْفِعْلِ لِامْتِحَانِ سِرِّهِ فِي صَبْرِهِ عَلَى الْعَزْمِ، فَالذَّبْحُ لَمْ يَكُنْ مَأْمُورًا بِهِ.
‎الثَّالِثِ: أَنَّهُ لَمْ يُنْسَخْ الْأَمْرُ لَكِنْ قَلَبَ اللَّهُ تَعَالَى عُنُقَهُ نُحَاسًا أَوْ حَدِيدًا فَلَمْ يَنْقَطِعْ، فَانْقَطَعَ التَّكْلِيفُ لِتَعَذُّرِهِ.
‎الرَّابِعِ: الْمُنَازَعَةُ فِي الْمَأْمُورِ وَأَنَّ الْمَأْمُورَ بِهِ كَانَ هُوَ الْإِضْجَاعُ وَالتَّلُّ لِلْجَبِينِ وَإِمْرَارَ السِّكِّينِ دُونَ حَقِيقَةِ الذَّبْحِ.
‎الْخَامِسِ: جُحُودُ النَّسْخِ وَأَنَّهُ ذَبَحَ امْتِثَالًا فَالْتَأَمَ وَانْدَمَلَ. وَالذَّاهِبُونَ إلَى هَذَا التَّأْوِيلِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ إسْمَاعِيلَ لَيْسَ بِمَذْبُوحٍ. وَاخْتَلَفُوا فِي كَوْنِ إبْرَاهِيمَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – ذَابِحًا، فَقَالَ قَوْمٌ: هُوَ ذَابِحٌ لِلْقَطْعِ وَالْوَلَدُ غَيْرُ مَذْبُوحٍ لِحُصُولِ الِالْتِئَامِ وَقَالَ قَوْمٌ: ذَابِحٌ لَا مَذْبُوحَ لَهُ مُحَالٌ وَكُلُّ ذَلِكَ تَعَسُّفٌ وَتَكَلُّفٌ.
‎أَمَّا الْأَوَّلُ وَهُوَ كَوْنُهُ مَنَامًا، فَمَنَامُ الْأَنْبِيَاءِ جُزْءٌ مِنْ النُّبُوَّةِ وَكَانُوا يَعْرِفُونَ أَمْرَ اللَّهِ تَعَالَى بِهِ، فَلَقَدْ كَانَتْ نُبُوَّةُ جَمَاعَةٍ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ – عَلَيْهِمْ السَّلَامُ – بِمُجَرَّدِ الْمَنَامِ.
‎وَيَدُلُّ عَلَى فَهْمِهِ الْأَمْرَ قَوْلُ وَلَدِهِ: افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ، وَلَوْ لَمْ يُؤْمَرْ لَكَانَ كَاذِبًا، وَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ قَصْدُ الذَّبْحِ وَالتَّلِّ لِلْجَبِينِ بِمَنَامٍ لَا أَصْلَ لَهُ، وَإِنَّهُ سَمَّاهُ الْبَلَاءَ الْمُبِينَ
‎وَأَيُّ بَلَاءٍ فِي الْمَنَامِ وَأَيُّ مَعْنًى لِلْفِدَاءِ.
‎وَأَمَّا الثَّانِي وَهُوَ أَنَّهُ كَانَ مَأْمُورًا بِالْعَزْمِ اخْتِبَارًا، فَهُوَ مُحَالٌ، لِأَنَّ عَلَّامَ الْغُيُوبِ لَا يَحْتَاجُ إلَى الِاخْتِبَارِ وَلِأَنَّ الِاخْتِبَارَ إنَّمَا يَحْصُلُ بِالْإِيجَابِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إيجَابٌ لَمْ يَحْصُلْ اخْتِبَارٌ.
‎وَقَوْلُهُمْ الْعَزْمُ هُوَ الْوَاجِبُ مُحَالٌ؛ لِأَنَّ الْعَزْمَ عَلَى مَا لَيْسَ بِوَاجِبٍ لَا يَجِبُ بَلْ هُوَ تَابِعٌ لِلْمَعْزُومِ، وَلَا يَجِبُ الْعَزْمُ مَا لَمْ يَعْتَقِدْ وُجُوبَ الْمَعْزُومِ عَلَيْهِ. وَلَوْ لَمْ يَكُنْ الْمَعْزُومُ عَلَيْهِ وَاجِبًا لَكَانَ إبْرَاهِيمُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَحَقَّ بِمَعْرِفَتِهِ مِنْ الْقَدَرِيَّةِ، كَيْفَ وَقَدْ قَالَ إنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَقَالَ لَهُ وَلَدُهُ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ يَعْنِي الذَّبْحَ؟ وقَوْله تَعَالَى {وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ} [الصافات: ١٠٣] اسْتِسْلَامٌ لِفِعْلِ الذَّبْحِ لَا لِلْعَزْمِ.
‎وَأَمَّا الثَّالِثُ: وَهُوَ أَنَّ الْإِضْجَاعَ بِمُجَرَّدِهِ هُوَ الْمَأْمُورُ بِهِ؛ فَهُوَ مُحَالٌ إذْ لَا يُسَمَّى ذَلِكَ ذَبْحًا وَلَا هُوَ بَلَاءً وَلَا يَحْتَاجُ إلَى الْفِدَاءِ بَعْدَ الِامْتِثَالِ.
‎وَأَمَّا الرَّابِعُ، وَهُوَ إنْكَارُ النَّسْخِ وَأَنَّهُ امْتِثَالٌ لَكِنْ انْقَلَبَ عُنُقُهُ حَدِيدًا فَفَاتَ التَّمَكُّنُ فَانْقَطَعَ التَّكْلِيفُ، فَهَذَا لَا يَصِحُّ عَلَى أُصُولِهِمْ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِالْمَشْرُوطِ لَا يَثْبُتُ عِنْدَهُمْ، بَلْ إذَا عَلِمَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ يُقْلَبُ عُنُقُهُ حَدِيدًا فَلَا يَكُونُ آمِرًا بِمَا يَعْلَمُ امْتِنَاعَهُ فَلَا يَحْتَاجُ إلَى الْفِدَاءِ فَلَا يَكُونُ بَلَاءً فِي حَقِّهِ.
‎وَأَمَّا الْخَامِسُ، وَهُوَ أَنَّهُ فَعَلَ وَالْتَأَمَ، فَهُوَ مُحَالٌ؛ لِأَنَّ الْفِدَاءَ كَيْفَ يُحْتَاجُ إلَيْهِ بَعْدَ الِالْتِئَامِ؟ وَلَوْ صَحَّ ذَلِكَ لَاشْتَهَرَ وَكَانَ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِهِ الظَّاهِرَةِ وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ قَطُّ وَإِنَّمَا هُوَ اخْتِرَاعٌ مِنْ الْقَدَرِيَّةِ. فَإِنْ قِيلَ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ: {قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا} [الصافات: ١٠٥] . قُلْنَا: مَعْنَاهُ أَنَّكَ عَمِلْتَ فِي مُقَدِّمَاتِهِ عَمَلَ مُصَدِّقٍ بِالرُّؤْيَا، وَالتَّصْدِيقُ غَيْرُ التَّحْقِيقِ وَالْعَمَلِ
.

 

Sumber: nadirhosen.net





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.