Assalamu ‘alaikum wr. wb. Redaksi Bahtsul Masail NU Online, beberapa dasawarsa terakhir khatib dan imam shalat Jumat serta shalat Id diberi amplop berisi uang. Tetapi belakangan masjid juga menyediakan amplop atau sejenis insentif bagi muazin dan imam harian shalat shalat wajib lima waktu. Pertanyaan saya, bagaimana Islam memandang praktik seperti ini? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdul Fattah/Sleman).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yg budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya buat kita semua. Gejala ini terbilang fenomena baru di mana tak terjadi di zaman Rasulullah SAW. Gejala ini muncul di zaman kerajaan Islam sepeninggal Rasulullah.
Pada masa kerajaan Islam, negara mengalokasikan anggaran buat guru Al-Quran, guru pelajaran agama Islam, para imam, khatib Jumat, muazin di masjid-masjid, dan aktivitas keagamaan lainnya.
Dari situ ulama mutaqaddimin memutuskan bahwa mereka itu semua makruh hukumnya menerima insentif atau bisyarah dari masyarakat sebab mereka telah menerimanya dari negara. Ulama mutaqaddimin memandang insentif atau bisyarah dari masyarakat buat petugas keagamaan sebagai sejenis gratifikasi yg kita kenal sekarang.
Tetapi ketika kondisi berubah, para ulama mengubah pandangan mereka terhadap insentif atau bisyarah dari masyarakat buat petugas keagamaan seperti imam shalat wajib harian, khatib sembahyg Jumat atau sembahyg Id, muazin, guru Al-Quran, guru agama, atau jenis aktivitas keagamaan lainnya.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam itu tak lagi mengalokasikan anggaran buat imam dan khatib Jumat, ulama muta’akhirin–salah satunya Ibnu Rusyd–membolehkan mereka menerima amplop atau insentif dari masyarakat seperti diangkat oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
Artinya, “Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang buat menerima insentif atas pengajaran Al-Quran, tugas keimaman shalat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dgn hukum yg telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzhab lainnya. Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya anggaran negara (baitul mal) buat guru agama dan mereka yg aktif pada syiar-syiar kegamaan dgn asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan mau terbengkalai,†(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).
Rasulullah SAW sendiri mengizinkan sahabatnya buat menerima insentif dari masyarakat atas praktik ruqyah melalui ayat-ayat Al-Quran. Hadits ini dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari berikut ini:
Artinya, “Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah melewati masyarakat yg bermukim di dekat sumber air di mana salah satu penduduknya tersengat binatang berdapat. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata, ‘Adakah di antara kalian yg dapat berjampi sebab ada korban tersengat di air ini?’ Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dgn membaca Surat Al-Fatihah dgn upah kambing. Korban tersengat itu sembuh. Ia lalu membawa upah kambing yg dijanbilan, tetapi para sahabat Rasulullah enggan menerimanya. Mereka berkata sampai tiba di Kota Madinah, ‘Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah.’ Tiba di MAdinah, mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Quran?’ rasulullah SAW menjawab, ‘Sesungguhnya pekerjaan berupah yg paling layak kau ambil ialah kitab Allah,’†(HR Bukhari).
Dari sini kita dapat memahami bahwa guru Al-Quran, khatib, imam, ahli hikmah yg meruqyah boleh menerima amplop, bisyarah, atau insentif dari masyarakat. Tetapi pada suatu masa di mana negara mengalokasikan dana buat syiar keagamaan, mereka makruh menerima amplop dari masyarakat sebab dapat dibilang bahwa mereka itu ialah sejenis PNS sehingga tak boleh dan tidah perlu menerima insentif dari masyarakat. Sementara ketika kondisi berubah seperti masa Rasulullah, maka mereka boleh menerima pemberian dari masyarakat.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami dgn baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)