Ketika masih kanak-kanak kita pasti diajarkan oleh orang tua kita tentang nama-nama binatang dan benda di sekitar kita. Demikian juga ketika sepasang orang tua yg memiliki anak baru lahir memilihkan nama yg baik buat anak mereka. Nama-nama tersebut diberikan dgn maksud buat memudahkan komunikasi di antara kita dan membedakan satu objek dgn objek yg lainnya. Di dalam Al-Qur’an juga telah didokumentasikan peristiwa pada masa awal sejarah kehidupan manusia bagaimana Allah subhanahu wata’ala mengajarkan nama-nama benda kepada Nabi Adam ‘alaihissalam.
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ ÙƒÙلَّهَا Ø«ÙÙ…ÙŽÙ‘ عَرَضَهÙمْ عَلَى الْمَلائÙÙƒÙŽØ©Ù Ùَقَالَ أَنْبÙئÙونÙÙŠ بÙأَسْمَاء٠هَؤÙلاء٠إÙنْ ÙƒÙنْتÙمْ صَادÙÙ‚Ùينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu bila kamu memang benar orang-orang yg benar” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)Â
Allah SWT mengajarkan nama-nama kepada Nabi Adam sebagai bekal menjalani kehidupan di dunia serta buat mengenali dan sekaligus membedakan benda-benda yg ada di dunia. Jadi penamaan terhadap sebuah objek atau benda merupakan sebuah bentuk pelabelan. Pada masa awal kehidupan alam semesta pemberian label diberikan oleh sang Maha Pencipta.Â
Seiring meningkatnya jumlah manusia di muka bumi dan terbentuklah masyarakat, maka pemberian nama atau label terhadap benda atau objek dilakukan atas kesepakatan bersama di kalangan kelompok masyarakat.
Demikian juga dgn penggunaan istilah penyandang disabilitas. Dalam perbincangan internasional, penggunaan istilah penyandang disabilitas juga mengalami pergeseran waktu demi waktu. Pada masa sebelum abad ke-19, masyarakat menggunakan istilah affliction (penderitaan). Istilah ini digunakan oleh masyarakat sebagai gambaran atau asumsi mereka terhadap penyandang disabilitas. Istilah tersebut telah menimbulkan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas. Disabilitas selalu diidentikan dgn penderitaan, korban, dan berbagai hal yg tak menyenangkan.
Pada tahun 1976, World Health Organization (WHO) menyempurnakan panduan International Classification of Diseases di mana disabilitas dimasukan ke dalamnya sebagai konsekuensi dari penyakit. Dari panduan tersebut kemudian WHO merumuskan tiga istilah yg berbeda terkait disabilitas yg dipublikasikan pada tahun 1981 sebagai International Classification of Impairment, Disabilities, and Handicaps (ICIDH). Ketiga istilah tersebut antara lain;
Â
- Impairment, yaitu hilangnya atau kondisi tak normal pada aspek psikologi, fisik, atau struktur dan fungsi anatomi tubuh.
- Disability, yaitu keterbatasan atau kekurangan kemampuan buat melakukan aktivitas sebagaimana orang pada umumnya.
- Handicap, yaitu ketakberuntungan pada individu akibat dari kelemahan atau disabilitas yg membatasi dan mencegah individu dalam melakukan peran sosial dan budaya di masyarakat.
Â
Ketiga terminologi di atas mengarahkan pada penguatan kesan dan persepsi masyarakat yg tak menyenangkan terhadap penyandang disabilitas. Kesan tersebut semakin menguatkan stigma negatif yg dilekatkan oleh masyarakat kepada penyandang disabilitas. Atas kritik dari para aktivis gerakan disabilitas, maka WHO menerbitkan versi revisi ICIDH menjadi ICIDH-2. Pada ICIDH-2 definisi disabilitas telah diperbaiki dgn mengadopsi ‘biopsychosocial’ model. Artinya, dalam definisi tersebut telah menyertakan faktor sosial sebagai aspek penentu buat dapat seseorang disebut sebagai disabilitas, selain faktor fisik dan psikologis.
Selama tahun 1970 hingga 1980 para aktivis gerakan disabilitas mulai menyuarakan kritik terhadap model medis dalam melihat penyandang disabilitas yg selama ini berkembang. Mereka memandang bahwa model medis telah menempatkan penyandang disabilitas hanya sebagai objek perilaku karitatif masyarakat. Para aktivis tersebut berpandangan bahwa masyarakat menjadi penyebab yg mengakibatkan seseorang yg memiliki hambatan fisik tersebut menjadi disabilitas. Pandangan dan sikap masyarakat yg negatif terhadap disabilitas mengakibatkan individu yg memiliki hambatan fisik atau intelektual menjadi terhalang melakukan interaksi sosial dgn masyarakat secara wajar, sehingga mereka mengalami apa yg disebut disabilitas.Â
Pandangan ini yg disebut oleh para aktivis gerakan disabilitas di Inggris yg menamakan diri The Union of The Physically Impairment Against Segregation (UPIAS) sebagai social model. Dengan pendekatan social model ini diharapkan penyelesaian permasalahan yg dihadapi oleh penyandang disabilitas lebih diarahkan pada perbaikan kondisi sosial masyarakat seperti perbaikan cara pandang masyarakat terhadap disabilitas dan layanan dasar yg ramah terhadap penyandang disabilitas.Â
Pendekatan social model selanjutnya berkembang ke berbagai negara termasuk ke Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2006, PBB mengadopsi Konvensi Internasional tentang Hak Penyandang Disabilitas, UN Convention on The Rights of Person with Disabilities (UNCRPD), dan efektif diberlakukan pada tahun 2008. Konvensi tersebut mengakui dan menyepakati penggunaan istilah disability sebagai istilah yg resmi digunakan dalam komunikasi dan dokumen internasional. Pada pembukaan (preamble) UNCRPD tersebut disabilitas didefinisikan sebagai berikut;
(e) Recognizing that disability is an evolving concept and that disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others
“(e) Mengakui bahwa disabilitas merupakan suatu konsep yg terus berkembang dan disabilitas merupakan hasil dari interaksi antara orang-orang dgn keterbatasan kemampuan dan sikap dan lingkungan yg menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dgn yg lainnya.â€
Dengan demikian, disabilitas didefinisikan sebagai sebuah konsep yg terus berkembang dan berubah sebab disabilitas merupakan interaksi antara individu dgn keterbatasan kemampuan, sikap masyarakat dan lingkungan yg menghambat partisipasi individu tersebut dalam masyarakat.
Â
Â
Sementara Pemerintah Republik Indonesia baru melakukan ratifikasi UNCRPD tersebut pada tahun 2011 atas desakan dari para aktivis gerakan disabilitas di Indonesia. Ratifikasi tersebut dituangkan dalam UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan sekaligus menjadi landasan resmi penggunaan kata Penyandang Disabilitas di dalam dokumen dan pembicaraan resmi.
Dinamika Istilah di Indonesia
Masyarakat Indonesia pada masa sebelum tahun 1990 menyebut penyandang disabilitas sebagai penderita cacat. Sebutan ini didasarkan pada asumsi umum bahwa menjadi penyandang disabilitas merupakan sebuah kondisi yg identik dgn penderitaan. Seiring dgn perkembangan waktu, beberapa aktivis gerakan disabilitas mulai menyuarakan kritik mereka terhadap istilah “penderita cacatâ€. Mereka menyatakan bahwa meskipun mereka mengalami keterbatasan fisik, bukan berarti hidup mereka dipenuhi dgn penderitaan. Para individu yg disebut sebagai “penderita cacat†ini dalam faktanya juga merasakan kehidupan yg bahagia, gembira, dan tertawa sebagaimana individu lain yg tak mengalami keterbatasan fisik, sehingga kata “penderita†yg disematkan tak mewakili kondisi sesungguhnya yg dialami oleh mereka yg disebut “penderita cacatâ€.
Masyarakat Indonesia pada masa sebelum tahun 1990 menyebut penyandang disabilitas sebagai penderita cacat. Sebutan ini didasarkan pada asumsi umum bahwa menjadi penyandang disabilitas merupakan sebuah kondisi yg identik dgn penderitaan. Seiring dgn perkembangan waktu, beberapa aktivis gerakan disabilitas mulai menyuarakan kritik mereka terhadap istilah “penderita cacatâ€. Mereka menyatakan bahwa meskipun mereka mengalami keterbatasan fisik, bukan berarti hidup mereka dipenuhi dgn penderitaan. Para individu yg disebut sebagai “penderita cacat†ini dalam faktanya juga merasakan kehidupan yg bahagia, gembira, dan tertawa sebagaimana individu lain yg tak mengalami keterbatasan fisik, sehingga kata “penderita†yg disematkan tak mewakili kondisi sesungguhnya yg dialami oleh mereka yg disebut “penderita cacatâ€.
Setelah mendapatkan kritik tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mulai memperbaiki istilah tersebut dgn mengubah kata “penderita†menjadi “penyandangâ€. Kata “penyandang†selain sebagai penghalusan istilah juga dipandang lebih sopan buat menyebut mereka yg dianggap “cacatâ€. Pada tahun 1997 Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-undang tersebut menandai penggunaan secara resmi istilah “penyandang cacatâ€. Meski demikian, kata “penyandang cacat†masih dipandang belum adil oleh para aktivis gerakan disabilitas. Kata “cacat†yg disandingkan dgn kata “penyandang†dipandang dapat memperkuat stigma negatif yg dilekatkan masyarakat pada individu yg memiliki keterbatasan fisik.
Para aktivis berpandangan bahwa kata “cacat†hanya tepat disematkan pada benda mati, bukan pada manusia. Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “cacat†semuanya berkonotasi negatif, di mana kata “cacat†diartikan sebagai (1) kekurangan yg menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna; (2) lecet (kerusakan, noda) yg menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); (3) cela; aib dan (4) tak (kurang) sempurna. Jika dicermati semua arti tentang kata “cacat†pada KBBI tersebut menjadi tak tepat bila disematkan pada manuasia yg pada kenyataannya ialah mahluk yg multidimensi dan unik. Setiap manusia memiliki karakteristik dan keunikan yg berbeda antara satu individu dgn individu lainnya. Dengan fakta tersebut maka tak ada tolak ukur yg standar buat menentukan apakah individu normal atau tak, sebab setiap individu memiliki keunikan serta kelemahan dan kekurangan masing-masing. Dengan demikian tak ada seorang individu pun yg layak disebut cacat.
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1998 beberapa aktivis gerakan disabilitas menyelenggarakan sebuah lokakarya di Wisma Sargede Yogyakarta. Salah satu agenda lokakarya tersebut ialah merumuskan istilah baru buat mengganti kata penyandang cacat. Dalam lokakarya yg dihadiri oleh para aktivis gerakan disabilitas, akademisi, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tersebut menyepakati penggunaan istilah baru, difabel, yg merupakan akronim dari different able people (orang yg memiliki perbedaan kemampuan). Kata difabel dipandang lebih netral dan manusiawi buat mereka yg dianggap memiliki keterbatasan fisik maupun psikis. Pemilihan kata difabel didasarkan pada pemahaman bahwa semua individu memiliki potensi yg sama tanpa membedakan latar belakang jenis kelamin, warna kulit, suku, dan bahkan kondisi keterbatasan fisik mereka. Hanya pada setiap individu memiliki kemampuan dan cara yg berbeda dalam mengembangkan potensi tersebut. Oleh sebab itu semua individu harus diberi hak dan kesempatan yg sama dalam mengembangkan potensinya sehingga mereka dapat berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu dan munculnya kesadaran kritis para penyandang disabilitas, gerakan disabilitas di Indonesia berkembang begitu pesat. Pada rentang waktu tahun 2009 – 2011 para aktivis gerakan disabilitas di Indonesia mulai mendesak Pemerintah Republik Indonesia buat meratifikasi UNCRPD. Pada Bulan Maret 2010 Kementerian Sosial menyelenggarakan Semiloka Terminologi “Penyandang Cacat†Dalam Rangka Mendorong Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Penyandang Cacat. Dari semiloka tersebut muncul beberapa usulan istilah pengganti kata Penyandang Cacat, di antaranya ketunaan, diferensia, orang dgn tantangan istimewa, berkemampuan khusus, dan difabel. Pada akhirnya disepakati buat menggunakan istilah ‘Penyandang Disabilitasâ€. Pemilihan kata disabilitas tersebut diambil dari istilah yg resmi dipakai dalam perbincangan dan dokumen internasional disability dan selanjutnya dikuatkan dgn diterbitkannya UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Rativikasi Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas. Dalam konvensi tersebut, disabilitas didefinisikan sebagai sebuah hasil dari interaksi antara orang-orang dgn keterbatasan kemampuan dan sikap dan lingkungan yg menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dgn yg lainnya. Dengan demikian istilah Penyandang Disabilitas menjadi official term (istilah resmi) yg digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam dokumen resmi negara.
Baik istilah “penyandang disabilitas†maupun “difabel†banyak digunakan dalam percakapan dan tulisan yg berkembang di masyarakat. Mereka yg menggunakan istilah “penyandang disabilitas†berpandangan bahwa hal tersebut sesuai dgn terminologi resmi yg telah ditetapkan oleh pemerintah, sementara bagi mereka yg menggunakan kata difabel istilah tersebut terasa lebih adil dan manusiawi dalam menyebut penyandang disabilitas.
Kata penyandang disabilitas dan difabel keduanya layak digunakan buat menggantikan kata penyandang cacat. Sesungguhnya yg paling penting dan dibutuhkan ialah perubahan cara pandang dan sikap masyarakat yg lebih positif terhadap penyandang disabilitas.
Â
Baca juga:Â Difabel Muslim Indonesia, Sejauh Mana Terpenuhi Hak-haknya?
Â
Â
Â
===
Artikel ini dinukil dari buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” yg disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw. Unduh buku (PDF) ini di kanal Download NU Online.
Uncategorized
Artikel ini dinukil dari buku “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” yg disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw. Unduh buku (PDF) ini di kanal Download NU Online.