Ihwal Kewajiban Zakat Anak Kecil & Penyandang Disabilitas Mental

Bila kita menyoal, benarkah titah Allah ﷻ dalam Al-Qur’an dan sabda-sabda Nabi ﷺ, selalu bertalian dgn laku dan aktivitas semua orang mukalaf? Jawabannya, dapat iya dan dapat tak. Tergantung dari sudut mana kita meniliknya. Terbuat jawaban ‘iya’, berarti bertolak dari sudut pandang bahwa setiap yg muncul dari orang mukalaf—perbuatan maupun perkataan—ialah objek atau sasaran kajian hukum fiqih. Sedangkan jawaban ‘tak’, berangkat dari konsep bahwa hukum tak selalu terkait dgn orang mukalaf, tetapi dapat juga dgn yg lain, bahkan selain manusia. Adalah hukum zakat, di antara contohnya. Terutama terkait harta kekayaan anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun).

 

Pertanyaannya, kalau ternyata mereka berdua memiliki gelimang harta, apakah ada kewajiban zakat? Bukankah mereka bebas dari beban hukum apa pun? Saya rasa, ini ialah pertanyaan yg tepat buat membuka peta-peta kajian dalam tulisan ini. Dan, mari kita mulai dari membahas siapa orang mukalaf itu.

 

Mukalaf (al-Mahkumu ‘Alaih)

Dalam setiap buku-buku Ushul Fiqh karya para ulama kita dari yg klasik hingga kontemporer, pembahasan ini masuk dalam bab seputar hukum-hukum syariat. Biasanya, diberi judul al-ahkam as-syar’iyyah, atau terkadang berjudul al-hukmu as-syar’i, yg di antara subbabnya ialah mengenai orang mukalaf (al-mahkumu ‘alaih).

 

Orang mukalaf atau orang yg telah terbebani hukum, secara umum ialah orang yg balig lagi berakal sehat. Sejak dahulu, para ulama menyifatinya demikian. Lebih rinci lagi, terdapat lima syarat buat disebut mukalaf. Pertama, balig (al-bulug). Kedua, berakal sehat (al-‘aqlu wa fahmul khithab). Ketiga, mampu menjalankan beban hukum yg diberikan (al-qudrah ‘ala al-imtitsal). Keempat, menjalankannya atas kehendak sendiri, tanpa unsur paksaan (al-ikhtiar). Kelima, mengetahui bahwa dirinya berada dalam beban hukum (al-‘ilmu bi at-taklif), dan pengetahuan ini hanya diperoleh dari para rasul yg diutus kepada kita semua.

 

Lengkapnya, dapat membuka kitab-kitab Ushul Fiqh yg ada. Misalnya, kitab Ushul al-Fiqh Alladzi la Yasa’u al-Faqiha Jahluhu (hal. 70-72) karya seorang doktor bidang Ushul Fiqh kelahiran Makkah al-Mukarramah, syekh ‘Iyadh bin Nami as-Sulami. Sampai saat ini menjadi dosen tetap di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Riyadh, Arab Saudi.

 

Melihat lima syarat mukalaf di atas, telah jelas bahwa anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun) tak masuk dalam kategori mukalaf. Karena itu, mereka tak terbebani hukum apa pun. Kendati, menurut imam Ahmad bin Hambal, anak yg belum balig dan telah berusia sepuluh tahun, telah terbebani hukum melakukan shalat. Mengingat, Hadist yg berbunyi, Wadhribuhum ‘alaiha li ’asyrin, “Pukullah mereka yg telah berusia sepuluh tahun sebab meninggalkan shalat”. Hematnya, buat apa perintah memukul tersebut bila mereka lepas dari beban hukum.

 

Lalu, bagaimana dgn hukum zakat? Apakah tak wajib sebagaimana kasus-kasus hukum lainnya? Mari kita bahas pelan-pelan.

 

Hukum Zakat Anak Kecil dan Penyandang Disabilitas Mental

Imam Saifuddin Abu al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi (631 H) dalam karyanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (juz 1, hal. 130)-salah sebuah kitab yg mewakili mazhab Mutakallimin di tengah derasnya perlawanan dari para pakar Ushul Fiqh mazhab Ahnaf, selain kitab al-Mustashfa karya Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (505 H)-menulis sebuah pertanyaan asumtif ihwal zakat anak kecil dan penyandang disabilitas mental. Ia mengatakan:

 

فإن قيل: إذا كان الصبي والمجنون غير مكلف فكيف وجبت عليهما الزكاة والنفقات والضمانات

 

Artinya, “Jika ada pertanyaan, ‘Kalau memang anak kecil dan penyandang disabilitas mental itu tak mukalaf, bagaimana mungkin mereka tetap wajib berzakat, menafkahi, dan menanggung ganti rugi?”

 

Lalu imam Saifuddin al-Amidi menjawab pertanyaan yg ia asumsikan sendiri tersebut. Ia menjelaskan alasan logis di balik persoalan hukum ini. Ia menulis:

 

قلنا: هذه الواجبات ليست متعلقة بفعل الصبي والمجنون بل بماله أو بذمته. فإنه أهل للذمة بإنسانيته المتهيء بها لقبول فهم الخطاب عند البلوغ، بخلاف البهيمة والمتولي لأدائها الولي عنهما أو هما بعد الإفاقة والبلوغ وليس هذا من باب التكليف في شيء.

 

Artinya, “Jawabannya, kewajiban-kewajiban di atas, tak terkait dgn perbuatan anak kecil dan penyandang disabilitas mental, melainkan dgn harta kekayaan dan tanggung jawabnya. Sebab, melihat terhadap sisi kemanusiaan anak kecil tersebut yg berpotensi besar dapat memahami titah agama (khithab) kala besar nanti. Berbeda dgn binatang yg tak punya potensi sama sekali. Sementara yg terjun menjalankan kewajiban ini ialah wali masing-masing atas nama mereka, atau langsung mereka berdua, tetapi setelah si majnun sembuh dari gangguan mentalnya, dan si bocah telah beranjak balig. Dan, persoalan di atas, sama sekali tak masuk dalam kajian taklif.”

 

Singkatnya, berdasarkan keterangan ini, kewajiban zakat dalam kaitannya dgn anak kecil dan penyandang disabilitas mental (al-majnun) memang ada dan dibenarkan oleh sekalian ulama. Namun, tak menempel dalam diri mereka sebagai shabiy dan majnun, melainkan terkait erat dgn harta kekayaan mereka. Jadi, sebab harta mereka lebih dari satu nisab, maka timbullah kewajiban zakat di dalamnya. Perlu ditegaskan, zakat dalam persoalan ini bukanlah zakat fitrah, tetapi khusus pada zakat mal.

 

Setelah mengetahui ihwal hukum dan keterkaitan zakat pada harta anak kecil dan penyandang disabilitas mental, penting kiranya kita memahami dalil-dalil yg mewajibkan hal itu. Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam as- Syafi’i (juz 2, hal. 18-20) karya tiga ulama kontemporer kenamaan, syekh Musthafa al-Khin, syekh Musthafa al-Bugha, dan syekh Ali as-Sarbaji, terdapat enam dalil berikut dgn logika wajhul istidlalnya. Mari merincinya satu persatu;

 

Pertama, firman Allah ﷻ dalam surah at-Taubah (103) dan surah al-Ma’arij (24-25) yg berbunyi:

 

خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها

 

Artinya, “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka.”

 

والذين في أموالهم حق معلوم للسائل والمحروم

 

Artinya, “Dan orang-orang yg dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yg meminta maupun tak meminta.”

 

Makna ayat di atas, yaitu bahwa Allah ï·» memberi kekayaan pada sebagian hamba-Nya dan tak pada sebagian yg lain. Tujuannya, supaya yg hartawan turut membagi harta itu kepada yg miskin. Karena sejatinya, ada hak yg dititipkan Allah dalam kekayaan mereka. Juga, pada ayat tersebut tak dijumpai keterangan bahwa Allah membeda-bedakan sekalian orang-orang kaya itu, antara yg sehat mental dan disabilitas, atau yg masih kecil dan telah balig.

 

Kedua, Pernyataan Abu Bakr as-Shiddiq yg diriwayatkan al-Bukhari berikut:

 

 هذه فريضة الصدقة التي فرضها رسول الله صلى الله عليه وسلم على المسلمين

 

Artinya, “Ini ialah sedekah wajib (zakat) yg diwajibkan Rasulullah ﷺ kepada setiap umat muslim.”

 

Term al-muslimin di sini tergolong lafal âm atau lafal yg bermakna umum, mencakup kepada setiap kaum Muslimin. Baik yg telah balig atau belum, berakal sehat maupun tak, semuanya tercakup sebagai makna lafal itu. Dalam sebuah kaidah Ushul Fiqh dikatakan:

 

الأصل بقاء العام على عمومه ما لم يرد دليل عن الشارع بتخصيصه

 

Artinya, “Pada dasarnya, lafal âm tetap diberlakukan sesuai cakupan maknanya, kecuali ada teks syariat yg membatasi cakupan makna lafal tersebut.”

 

Ketiga, statemen sayyidina Umar ra yg diriwayatkan imam Malik bin Anas dalam kitab al-Muattha’-nya. Ia berkata:

 

إتجروا في أموال اليتامى، لا تأكلها الصدقة

 

Artinya, “Niagakanlah harta benda anak-anak yatim itu, maka tak mau ‘dihabiskan’ oleh zakat.”

 

Logika dari penyataan sayyidina Umar ini, bila harta anak yatim tersebut didiamkan terus-menerus, alias tak diniagakan, maka pada saatnya nanti mau terkena kewajiban berzakat. Otomatis, sebanyak apa pun harta yg dimiliki, setiap tahun tetap diambil zakatnya yg mau menyebabkan harta tersebut terus berkurang. Sementara, pengeluaran si anak yatim terus mau bertambah seiring usia dan kebutuhannya. Tentu, sangat tak baik buat masa depannya. Syukur kalau nominalnya banyak, yg sial bila kebetulan sedikit, hanya melebihi satu nisab saja, misalnya. Lalu mau habis diambil zakat.

 

Keempat, dianalogikan kepada kewajiban zakat fitrah. Jadi, berdasarkan konsensus para ulama, zakat fitrah tetap wajib bagi anak kecil dan penyandang disabilitas mental. Kalau sifat shigar (hal yg melekat pada diri anak kecil) dan gangguan jiwa tak menjadi penghalang kewajiban zakat fitrah, lalu apa alasan kedua sifat itu dapat menghalangi kewajiban zakat mal.

 

Kelima, merujuk kepada tujuan utama (high politic) legalisasi hukum zakat, yaitu memenuhi kebutuhan para fakir-miskin sekaligus menyucikan harta mereka dari yg haram dan syubhat. Lalu, apa yg dapat memilah-milah mereka, sehingga ada yg wajib dan yg tak.

 

Keenam, zakat bukanlah ibadah badani murni yg membutuhkan syarat-syarat taklif secara ketat. Melainkan, ia ialah ibadah yg didominasi oleh unsur harta, finansial, keseimbangan perekonomian masyarakat dan lain-lain. Sehingga, tak ada alasan buat tak memperlakukan para hartawan itu secara sama. Tanpa pandang latar belakang usia, mental dan lainnya.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawâb.

 

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.