Imam Abu Hanifah & Kredibilitasnya dalam Ilmu Hadits

Kita melihat Imam asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam deretan pakar dan tokoh besar ilmu hadits. Bahkan, sanad hadits yg bersumber dari Imam Ahmad bin Hanbal dari Imam asy-Syafi’i dari Imam Malik bin Anas ialah sanad hadits berderajat paling tinggi yg dikenal juga dgn silsilah dzahabiyyah (rantai emas riwayat hadits). Kitab Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas, kitab Musnad asy-Syafi’i karya Imam asy-Syafi’i, kitab Musnad Ahmad karya imam Ahmad bin Hanbal ialah bagian dari kitab induk dalam ilmu hadits.

 

Lantas, bagaimana dgn Imam Abu Hanifah? Banyak kalangan Wahabi yg mengkritik Imam Abu Hanifah sebagai seorang ulama yg tak menguasai ilmu hadits. Sehingga mereka berdalih lebih baik kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits ketimbang bermazhab kepada Imam Abu Hanifah. Menurut mereka, standar kepantasan menjadi seorang mujtahid mutlak sangat rancu sebab Imam Abu Hanifah dianggap lemah dalam ilmu hadits.

 

Oleh sebab itu, mari kita jelajahi sepak terjang Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits.

 

Imam Abu Hanifah mengambil sanad hadits kepada banyak ulama di zamannya. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i yg menjadikan Imam Malik sebagai rujukan utama dalam sanad hadits. Begitu juga, Imam Abu Hanifah yg menjadikan Imam Atha’ bin Rabbah sebagai guru utama dalam mengambil sanad hadits.

 

Kisah pertemuan Imam Abu Hanifah dgn Imam Atha’ bin Rabbah pun tergolong unik,

 

“Diriwayatkan dari Sa’id bin Salim al-Bashri, aku mendengar Imam Abu Hanifah bercerita “Dahulu aku bertemu Imam Atha’ di kota Makkah, maka aku pun bertanya kepadanya mengenai suatu permasalahan ilmu. Kemudian, Imam Atha’ bertanya “Darimanakah kamu berasal?” Aku menjawab “Dari kota Kuffah”. Imam Atha’ mengatakan “Kamu berasal dari kota yg banyak perpecahan golongan umat Islam di dalamnya, lantas dari golongan mana kamu berasal?” Aku menjawab “Aku berasal dari golongan umat Islam yg tak mau pernah mencaci para shahabat, beriman dgn qadha’ dan qadar Allah, serta tak mengkafirkan seseorang pun dgn sebab dosa yg ia perbuat?” Imam Atha’ pun tersenyum puas, “Kamu berada dalam kebenaran, jangan pernah berpindah dari golonganmu”. Semenjak itu Imam Abu Hanifah menjadi murid dari Imam Atha’ bin Rabbah” (al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2001, vol. 13, hal. 331).

 

Selain itu, Imam Abu Hanifah juga mengambil sanad hadits kepada Abu Ishaq as-Sabi’i, Muharib bin Ditsar, Hammad bin Abu Salamah, al-Haitsam bin Hubaib, Qais bin Muslim, Muhammad bin al-Munkadir, Hisyam bin ‘Urwah, Simak bin Harb dan Nafi’ Maula Ibnu ‘Umar.

 

Sedangkan, di antara murid Imam Abu Hanifah yg meriwayatkan hadits darinya ialah Husyaim bin Basyir, Yazid bin Harun, Abu Yusuf al-Qadhi, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, ‘Amr bin Muhammad al-‘Anqadzi dan Haudzah bin Khalifah. (Syekh Muhammad bin Rasyid an-Nu’mani, Makanah al-Imam Abu Hanifah fi al-Hadits, Kairo: Dar as-Salam, 2017, hal. 64).

 

Kepakaran dan keluasan Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits diakui oleh para ulama dari berbagai zaman. Meskipun hadits yg diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah taklah banyak sebab beliau sangat berhati-hati dalam mengambil sanad hadits.

 

Syekh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi mengatakan, “Imam Abu Hanifah ialah ulama yg paling mumpuni dalam ilmu hadits di zamannya. Riwayat haditst Imam Abu Hanifah sangat sedikit sebab beliau sangat teliti dalam mengambil riwayat hadits” (Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi, Ushul Fiqh, Kairo: Dar Kitab al-‘Arabi Kairo, 1972, vol. 1, hal. 350)

 

Syekh Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani mengatakan, “Imam Abu Hanifah ialah pakar dalam ilmu hadits. Prinsip Imam Abu Hanifah ialah lebih memprioritaskan dalil hadits sebagai pedoman berijtihad meskipun dalil hadits tersebut berderajat ahad (sedikit yg meriwayatkan) di atas dalil qiyas. Hal ini beliau lakukan dgn syarat hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh para perawi yg dapat dipertanggung jawabkan riwayatnya. Dan Hadits yg dinilai shahih oleh Imam Abu Hanifah tak dikritik oleh siapapun dari ulama ahli hadits” (Syekh Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Bada’i ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, kairo: Maktabah Mishr, 1910, vol. 5 hal. 188).

 

Baca juga:

 

Selain itu, banyak ulama yg menolak segenap kritikan pedas terhadap kepakaran Imam Abu Hanifah dalam ilmu Hadits.

 

Syekh Muhammad bin Yusuf as-Shalih asy-Syafi’i mengatakan, “Ketahuilah bahwa Imam Abu Hanifah ialah pembesar ulama ahli hadits. Al-Hafidz adz-Dzahabi menggolongkan Imam Abu Hanifah sebagai salah satu ulama besar ahli hadits. Seandainya bukan sebab kepakaran Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits, bagaimana mungkin beliau mampu menggali dasar ilmu fiqih? Sedangkan Imam Abu Hanifah ialah ulama pertama yg menggali hukum dari dalil al-Qur’an dan hadits” (Syekh Muhammad bin Yusuf as-Shalih asy-Syafi’I, ‘Uqud al-Juman fi Manaqib Abu Hanifah an-Nu’man, Damaskus: Maktabah Ihya’ al-Ma’arif, 1974, hal. 319).

 

Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni mengatakan “Imam Abu Hanifah ialah salah satu ulama tabi’in yg berderajat mujtahid. Beliau ialah ulama pertama yg membuka pintu ijtihad. Tidak ada seorang ulama pun yg meragukan keluasan ilmu dan keagungan sosok Imam Abu Hanifah. Beliau ialah ulama yg sangat memahami al-Qur’an dan hadits sebab syariat diambilkan dari keduanya (al-Qur’an dan hadits)” (Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Risalah al-Ajluniyyah, Kairo: Maktabah Mishr, 1914, vol. 4, hal. 188).

 

Syekh al-Hafidz adz-Dzahabi mengatakan dalam pembukaan kitab Mizan al-I’tidal “Aku tak mau menulis dalam kitabku ini (Mizan al-I’tidal) kritikan terhadap para tokoh besar yg banyak dianut umat Islam sebab agung dan luhurnya derajat mereka di hati umat Islam seperti Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, dan imam al-Bukhari. Seandainya aku harus mengomentari mereka maka aku mau menjelaskan secara objektif” (al-Hafid adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2017. hal. 44).

 

Walhasil, sedikitnya riwayat hadits yg bersumber dari Imam Abu Hanifah bukanlah sebuah alasan buat mengkritik beliau sebagai ulama mujtahid mutlak. Pada dasarnya sangat banyak ulama zaman dahulu yg hanya sedikit meriwayatkan hadits sebab faktor ketelitian dan kehati-hatian mereka. Misal contoh, shahabat Abu Bakar ash-Shiddiq yg notabenenya ialah shahabat terdekat nabi dan yg paling pertama masuk Islam juga sangat sedikit meriwayatkan hadits. Bahkan, jumlah hadits yg diriwayatkan shahabat Abu Bakar jauh lebih sedikit dari shahabat Abu Hurairah yg jauh lebih akhir masuk Islamnya.

 

Begitu juga, ketika Imam Abu Hanifah mencabut pendapatnya sebab ada dalil hadits Nabi yg disampaikan kepadanya juga bukan alasan buat merendahkan derajat ijtihad beliau. Karena hal ini juga banyak dialami oleh ulama-ulama zaman dahulu. Jauhnya jarak antar kota zaman dahulu serta keterbatasan media informasi juga menjadi faktor banyaknya ulama yg mencabut fatwanya ketika menemukan dalil hadits dari daerah lain. Misal contoh Imam asy-Syafi’i yg mencabut sebagian fatwanya dalam qoul qadim sebab adanya dalil hadits yg baru beliau dapatkan. Shahabat Umar bin Khattab yg dijuluki sebagai shahabat nabi yg fatwanya paling dijadikan rujukan pun juga pernah mencabut pendapatnya sebab disodorkan dalil hadits dari para shahabat yg lain.

 

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.