Equity Crowdfunding dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam dunia ekonomi modern, equity crowdfunding merupakan sebuah cara buat melakukan penggalian modal usaha melalui program urun dana lewat pasar sekunder atau pasar modal. Istilah klasiknya ialah gotong royong/patungan mendirikan usaha. Akan tetapi pesertanya terdiri dari orang-orang yg tak kita kenal dan tempat tinggalnya jauh. Pihak penjaminnya ialah aparat penegak hukum positif negara. Mereka terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).

 

Menurut teori ekonomi klasik, yg dinamakan patungan usaha itu ya dilakukan oleh beberapa orang yg kita kenal. Mau mengajak orang yg tak dikenal, dan lokasinya berjauhan, tentu sangat riskan. Yang mau keluar dana itu pasti mau mikir-mikir. Bagaimana uang hendak diserahkan, sementara pihak penerimanya tak dikenal? Jadi, masalah yg hadir ialah masalah kepercayaan (amanah). Nah, dalam equity crowdfunding, masalah kepercayaan ini didekati dgn jaminan hukum dari otoritas yg berwenang.

 

Baca juga: Securities Crowdfunding dan Peluang Santripreneur Dapatkan Modal Usaha

 

Equity Crowdfunding dalam Konteks Fiqih Klasik

Ditinjau dari sisi fiqih klasik, ketika ada 2 orang atau lebih melakukan kesepakatan buat saling bekerja sama mendirikan sebuah usaha, melakukan urun modal secara bersama-sama dgn jenis modal yg sama, buat mendapatkan keuntungan yg mau dinikmati bersama, dgn usaha yg dijalankan bersama, untung rugi ditanggung bersama, maka tak kita ragukan lagi bahwa akad semacam ini kita kenal sebagai akad kemitraan (syirkah). Kadang kita menyebutnya sebagai koperasi.

 

Karena modalnya ada dalam bentuk modal tunai, maka syirkahnya dinamakan dgn syirkah ‘inan. Dlawabith (batasan syara’) dari syirkah ‘inan ialah akad ini dapat dirusak kapan saja oleh kedua pelaku yg terjalin dalam kemitraan.

 

Karena sifat usahanya harus dijalankan secara bersama-sama, maka di dalam akad syirkah ‘inan ini, meniscayakan adanya hubungan antarpersonal anggota syirkah buat saling mengenal satu sama lain. Paling tak, kehadiran kedua belah pihak atau lebih dari anggota yg terjalin dalam akad kemitraan ialah suatu hal yg menjadi suatu keniscayaan disebabkan harus adanya kerja dan usaha bersama-sama.

 

Jika ada salah satu pihak yg hanya setor modal saja, tanpa melakukan kerja bersama, maka akad syirkah ‘inan ini menjadi gugur (fasidah) sehingga tak dapat disebut sebagai syirkah ‘inan lagi. Lalu disebut akad apa? Bisa jadi ialah akad qiradl, atau mudharabah, atau murabahah. Namun, dalam konteks ketiga akad terakhir, meniscayakan adanya modal 100% berasal dari rabbu al-mal (pemodal). Jika hal itu dilakukan pada dunia pertanian, maka termasuk jenis akad musaqah, atau muzara’ah atau mukhabarah.

 

Baca: Mengenal 3 Jenis Akad Bagi Hasil Pengelolaan Tanah

 

Ketika Jarak dan Waktu Diperhitungkan buat Penyerahan Modal

Untuk mendirikan usaha, seseorang butuh modal. Modal ini terkadang sulit didapatkan dari orang terdekat atau orang yg dikenal. Ada banyak faktor yg menjadi alasan sulitnya penggalian dana itu. Namun di era modern ini, jarak dan waktu dapat dijembatani oleh media. Meski demikian, sifat menjembatani ini merupakan sesuatu yg bersifat relatif. Artinya, uangnya dapat hadir, namun orangnya yg tak dapat hadir. Dan ini menjadi kendala ketika hal itu berkaitan dgn pendirian usaha dgn basis akad syirkah.

 

Karena orangnya tak dapat hadir, dan yg dapat hadir hanya uangnya saja, sehingga tak mungkin melakukan kerja bersama buat mendapatkan keuntungan bersama, maka ketika dua pihak tersebut memutuskan buat menjalin kerja sama mendirikan sebuah usaha, dibutuhkan sebuah akad yg dapat mengadopsinya.

 

Jika mengikutii konsep fiqih turats, maka hanya ada 3 kemungkinan akadnya, yaitu murabahah, qiradl, dan mudharabah. Jika usaha itu tak berbasis jual beli, maka yg tersisa hanya dua akad, yaitu akad qiradl dan akad mudharabah.

 

Namun, kedua akad ini meniscayakan 100% modal ialah dari rabbu al-mal (pemodal). Alhasil, akad urun modal itu tak dapat dikelompokkan ke dalam akad keduanya juga. Lantas, apa solusi yg musti dilakukan? Apakah dimasukkan ke dalam akad qardl (utang-piutang) saja?

 

Dalam hokum Islam, akad penyerahan uang kepada pihak lain dgn harapan kembali sebagaimana besarannya uang itu sendiri dgn pergantian fisik pada barang yg diserahterimakan, ialah akad qardl (utang-piutang) di satu sisi dan termasuk akad bai’ muajjal (jual beli tempo) di sisi yg lain. Dari keduanya, tak boleh ada kelebihan dalam pengembalian. Jika terjadi adanya kelebihan maka pelakunya dapat terseret dalam pusaran arus riba qardli atau riba al-yad yg diharamkan.

 

Baca: Tiga Jenis Praktik Riba dalam Jual Beli

 

Masalahnya, Pihak Pemodal Butuh Untung

Sekali lagi, situasi ini berlaku ketika ada dua pihak atau lebih yg sepakat buat patungan mendirikan sebuah usaha. Pihak yg hendak dimodali dapat jadi telah setengah jalan usahanya, atau memang sama sekali baru namun dirinya juga punya modal (misalnya 40% dari modal yg dibutuhkan).

 

Sementara itu, sisa modal yg lain diperoleh dari pemodal lain dgn total 60%; atau 30% dari pemodal kedua, dan 30% dari pemodal ketiga; dan bila digabungkan mau menjadi total 100% modal usaha. Pihak pemodal kedua dan ketiga, ada di lokasi yg jauh dari pelaku usaha sehingga tak mungkin ikut andil bekerja bersama. Modal itu benar-benar digunakan buat mendirikan usaha, dgn untung rugi ditanggung bersama. Nah, akad semacam ini termasuk akad apa?

 

Equity Crowdfunding dalam Konteks Fiqih Kontemporer

Para fuqaha kontemporer menamai akad sebagaimana telah diuraikan di atas, sebagai akad syirkah musahamah (kemitraan berbagi saham). Namun, masyarakat modern menyebutnya sebagai equity crowdfunding. Menurut konteks hukum positiif negara, kegiatan ini diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37/POJK.04/2018.

 

Ketika membahas akad ini, para fuqaha kontemporer, misalnya sepertii Syekh Wahbah Al-Zuhaili dan Syekh Abdul Wahab Khalaf mengambil dasar tarjihat (indikator dalil) pada hishah (nisbah modal) yg dimiliki oleh masing-masing pemodal (rabbu al-mal).

 

Faktor murajjih lainnya ialah bahwa modal itu memang benar-benar digunakan buat membangun usaha sehingga bukan buat semata dikonsumsi (modal konsumtif). Di sisi lain yg digunakan buat mendukung ialah masalah dlarurat jarak antara masing-masing pemodal. Selebihnya, ada pendekatan terhadap dalil nash bahwa antara mukmin satu dgn mukmin yg lain ialah ibarat 1 tubuh yg menguatkan antara satu sama lain. Jadi, urun dana buat modal usaha yg diwadahi oleh satu personal/badan penyelenggara, ialah diqiyaskan layaknya satu badan/satu jiwa berbekal dalil nash ini.

 

Berbagai illat di atas, yg sebenarnya diambil berdasarkan tarjihat terhadap beberapa dalil hikmah ini, ialah digunakan sebagai faktor penguat bahwa kerja sama permodalan di atas dihukumi sebagai boleh dgn alasan dlarurah li al-hajah. Hajat itu ialah hajat membangun kemaslahatan bersama.

 

Keberadaan tarjihat ini juga tak menisbikan bahwa penyerahan modal kepada pihak lain yg tak dikenal, dan tak memenuhi kaidah qiradl dan mudharabah, pada dasarnya ialah termasuk akad utang. Keberadaan pihak penjamin secara hukum itulah yg menjadikan akad ini menjadi tak sepenuhnya dipandang sebagai utang, melainkan menjadi berbasis permodalan. Alasannya, sebab ada ruang usaha yg jelas.

 

Faktor yg memberatkan hanya disebabkan, pihak pemodal seringkali berada di luar wilayah pengusaha sehingga tak mungkin duduk dan melakukan usaha bersama. Alhasil, menetapkan syarat kepada para pemodal (investor) ini buat kerja bersama-sama menjalankan satu usaha merupakan faktor yg sulit terjadi. Jadi, membutuhkan upaya kemudahannya (al-masyaqqah tajlib al-taisir). Urun modalnya tetap diperhatikan, ruang usahanya juga tetap dipertimbangkan, sementara keikutsertaan diperingan, atau keharusan modal 100% buat qiradl dan mudharabah menjadi diperingan.

 

Legalitas Akad Equity Crowdfunding dalam Hukum Islam

Dalam konteks akad syariah, persentase bagi hasil saham, ditentukan berdasarkan nilai untung-rugi yg terjadi dalam perjalanan usaha. Persentase ditentukan berdasarkan nisbah modal yg disertakan. Misalnya, nilai valuasi aset ialah senilai 1 miliar rupiah dan dibagi 100 ribu lembar saham. Harga per saham secara tak langsung bernilai 10 ribu rupiah. Jika ada seseorang yg mengakomodir 10 ribu lembar saham, itu artinya dia mengakuisisi aset perusahaan senilai 100 juta rupiah, sehingga modal yg disertakan menempati nisbah 10% dari total aset yg divaluasi.

 

Melalui nisbah ini, pihak yg mengakuisisi saham, berhak mendapatkan bagi hasil sebesar 10% dari keuntungan usaha (deviden), atau menanggung kerugian sebesar 10% kerugian. Demikian halnya dgn ongkos usaha atau gaji, maka seolah pihak ini menanggung 10% dari total ongkos usaha atau gaji.

 

Syirkah semacam inilah yg dimaksud sebagai syirkah musahamah. Syekh Wahbah Al-Zuhaili menegaskan mengenai aplikasi syirkah ini sebagai berikut:

 

لا مانع شرعاً من إنشاء شركة مساهمة ذات مسؤولية محدودة برأس مالها، لأن ذلك معلوم للمتعاملين مع الشركة وبحصول العلم ينتفي الغرور عمن يتعامل مع الشركة.

 

“Tidak ada larangan membikin syirkah musahamah berdasar pertanggungjawaban nisbah modal yg disertakan, sebab hal demikian itu merupakan yg telah maklum di kalangan orang yg terlibat dalam muamalah. Dan berkat ilmu pengetahuan, unsur penipuan (praktik ghurur) di dalam akad ini dapat dihilangkan atas semua pihak yg tergabung bersama dalam akad kemitraan.” (al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, juz 7, h. 194).

 

Bagaimana bila saham-saham itu dijual di pasar sekunder atau pasar modal lewat pedagang perantara efek atau manajer investasi? Syekh Wahbah Al-Zuhaili kembali menegaskan:

 

للجهات الرسمية المختصة أن تنظم تداول بعض الأسهم بأن لا يتم إلا بواسطة سماسرة مخصوصين ومرخصين بذلك العمل، لأن هذا من التصرفات الرسمية المحققة لمصالح مشروعة.

 

“Untuk beberapa saluran resmi (media) yg menawarkan saham kepada masyarakat, mereka boleh menyelenggarakan trading saham itu sebab peredarannya tak mungkin sempurna tanpa melalui adanya pedagang perantara (samsarah) (manajer investasi), atau pihak-pihak yg diberi keringanan buat menjalankannya. Praktik ini dibolehkan dgn alasan penyelenggaraan trading melalui saluran resmi tersebut merupakan yg nyata dapat menghadirkan kemaslahatan yg masyru’.” (al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu, juz 7, h. 194).

 

Itulah sekilas beberapa pokok pemikiran dan dasar bagi diterapkannya equity crowdfunding, yg menurut bahasa para fuqaha kontemporer diistilahkan dgn akad syirkah musahamah. Akad ini tak termaktub dalam fiqih turats (fiqih tradisional). Namun, akad ini merupakan modifikasi dan hasil pendekatan hukum terhadap konsepsi akad syirkah, qiradl, dan mudharabah. Maslahat yg didapat dari akad syirkah musahamah ini, menurut fuqaha kontemporer, boleh sebab dlarurat li al-hajah (kebutuhan). Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim, dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.