Imam Syafi’i Menolak Pemberian sebab Merasa Tak Bertakwa

Dalam kitab Tadzkirah al-‘Auliyâ’, Imam Fariduddin ‘Attar mencatat sebuah riwayat yg menceritakan Imam Syafi’i menolak pemberian harta dari seseorang. Berikut riwayatnya:

 

نقل أنّ شخصا من أرباب الأموال بعث مالا كثيرا إلي مكّة, وأمر بصرفها إلي الفقراء, وجاؤوا إلي الشافعي رضي الله عنه ببعضٍ منه, قال: كيف قال صاحبه؟ قيل: إنه قال: إلي الفقراء المتّقين. قال الشافعي رضي الله عنه: أنا فقير غير متّقٍ. ولم يقبل.

 

Diceritakan bahwa seseorang yg memiliki harta melimpah mengirimkan banyak harta bendanya ke Makkah. Ia memerintahkan buat mendistribusikannya kepada orang-orang fakir. Kemudian mereka (orang-orang yg diamanahi) datang kepada al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu membawa sebagian dari harta tersebut.

 

Imam al-Syafi’i bertanya: “Bagaimana pesan pemilik hartanya?”

 

Pertanyaan itu dijawab: “Sesungguhnya ia berkata: ‘(Berikan harta ini) pada orang-orang fakir yg bertakwa.”

 

Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku memang orang fakir, (tapi) bukan orang yg bertakwa.”

 

Dan ia pun menolak (pemberian itu). (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 271).

 

****

 

Sebagai hamba, manusia sering lupa kehambaannya. Sebagai makhluk, manusia sering lupa kemakhlukkannya. Begitulah manusia sering merasa. Maka tak aneh bila banyak manusia yg merasa “suci”, “baik”, “bersih” dan “bertakwa” terhadap dirinya sendiri, tanpa melihat ke dalam dirinya lebih jauh. 

 

Baca juga: Cara Cerdas Imam Syafi’i Terbebas Eksekusi Fitnah Hoaks

 

Jika kita bertanya pada diri kita sendiri, ‘apakah kita benar-benar orang baik,’ ‘apakah tak ada kedengkian di diri kita,’ ‘apakah kita tak menyembunyikan aib,’ ‘apakah kita tak pernah melakukan kesalahan,’ tentu kita semua tahu jawabannya. Tidak seorang pun dari kita yg lepas dari semua itu. Allah berfirman (QS. An-Najm: 32):

 

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

 

“Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yg paling mengetahui tentang orang yg bertakwa.”

 

Dalam Tafsîr al-Qurthubî, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan ayat di atas dgn mengatakan:

 

(فلا تزكوا أنفسكم) أي لا تمدحوها ولا تثنوا عليها، فإنه أبعد من الرياء وأقرب إلى الخشوع. (هو أعلم بمن اتقى) أي أخلص العمل واتقى عقوبة الله

 

“(Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci), yaitu jangan menyombongkan diri kalian sendiri dan jangan memuji-muji diri kalian sendiri. Karena itu dapat menjauhkan dari riya’, dan mendekatkan (diri) kepada kekhusyu’an. (Dialah yg paling mengetahui tentang orang yg bertakwa), yaitu (orang) yg ikhlas beramal dan takut mau siksaan Allah” (Imam Abu Abdillah al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013, juz 9, h. 72).

 

Artinya, ketakwaan seseorang tak dapat diukur oleh manusia. Tidak ada yg punya wewenang buat itu, hanya Allah lah yg berwenang. Karena itu, Allah mengingatkan manusia buat jangan memandang suci dirinya sendiri, sebab mereka tak punya pengetahuan mau hal itu. Sebanyak apapun manusia beribadah; sebanyak apapun manusia mengamalkan agamanya, Allah mengingatkan jangan pernah memandang dirinya suci. Karena itu dapat mendekatkannya kepada riya, ujub dan takabbur, seperti yg terjadi kepada Iblis.

 

Baca juga: Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub

 

Sebab itu, ketika orang yg mengantarkan harta pemberian mendatangi Imam al-Syafi’i, ia bertanya terlebih dahulu ‘apa pesan pemiliknya’. Mereka menjawab: “Untuk dibagikan kepada orang-orang fakir yg bertakwa.” Maka Imam al-Syafi’i menolak dgn mengatakan: “Aku memang fakir, tapi aku bukan orang yg bertakwa.”

 

Jawaban Imam al-Syafi’i ini mengandung dua pelajaran penting. Pertama, pentingnya menjaga amanah. Imam al-Syafi’i harus memastikan terlebih dahulu syarat yg ditentukan sang pemberi harta. Sebab, syarat itu harus dipenuhi, baik oleh orang yg mengemban amanah, maupun yg menerimanya. Di sini Imam al-Syafi’i tak mau orang yg mengemban amanah itu berdosa sebab tak sesuai dgn syarat yg diberikan oleh sang pemberi amanah.

 

Kedua, pentingnya menjaga hati dari merasa suci. Penolakan Imam al-Syafi’i disebabkan ia merasa tak termasuk dalam kategori atau syarat yg ditentukan sang pemberi harta. Ia merasa dirinya masih jauh dari ketakwaan. Ia memang fakir, tapi ia bukan orang yg bertakwa. Dari penolakannya ini, ia menyelamatkan dua pihak sekaligus, menyelamatkan pembawa amanah dari kesalahan mendistribusikan harta, dan menyelamatkan dirinya sendiri dari harta yg bukan haknya.

 

Pertanyaannya, siapa kita yg sering memandang diri lebih baik dari orang lain?

 

Wallahu a’lam bish-shawwab..

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebuman.

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.