Ini Alasan Ulama Hadits Lakukan Rihlah

Ajaran Nabi dapat sampai kepada kita melalui hadits yg diriwayatkan dan dicatat oleh ulama, baik dalam karya kitab mereka maupun dari majelis ke majelis. Hadits yg diriwayatkan lewat sanad itu, melalui proses verifikasi dan penelitian yg detail demi menguji kualitas hadits tersebut, sehingga dapat menjadi sumber hukum agama.

Sedemikian perhatiannya para ulama mau hadits, perjuangan mereka demi bidang ilmu ini tak sekadar berguru dari ulama di daerah sekitar mereka saja. Kita kerap mendengar kisah ulama hadits rela berekspedisi menuju daerah yg jauh demi mempelajari dan meriwayatkan hadits.

Rihlah para ulama ini biasa diabadikan dalam kitab-kitab rijalul hadits atau biografi perawi hadits. Selain itu, salah satu karya yg secara khusus membahasa perjalanan para perawi hadits ialah Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits karya Imam Al Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi.

Salah satu orang yg meneliti kitab tersebut ialah Nuruddin ‘Itr, pakar hadits dari Universitas Damaskus. Nuruddin ‘Itr, dalam pengantarnya sebagai muhaqqiq di Kitab Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyah, memberikan catatan perihal mengapa hadits di masa lampau dicari dan dipelajari sampai ke negeri-negeri yg jauh. Mulai dari kalangan sahabat, tabi’in, sampai generasi setelahnya rela bertandang ke suatu negeri, demi mendapatkan–atau sekadar memantapkan–sedikit riwayat hadits.

Semangat ini, rupanya tak semata sebab motif ideologis. Hadits memang sumber hukum Islam yg utama setelah Al-Quran, dan keutamaan orang yg mempelajarinya banyak disebutkan dalam hadits. Namun, rupanya di balik kunjungan-kunjungan yg jauh itu, ada tujuan-tujuan yg diungkap oleh Nuruddin ‘Itr. Berikut di antaranya:

1. Mendapatkan Hadits (tahshilul hadits). 

Tujuan ini biasa menjadi motif utama, sebab tak semua hadits dapat didapatkan di satu daerah saja. Kondisi ini terutama saat kitab-kitab hadits belum banyak disusun, sehingga buat mendapatkan dan mengumpulkan hadits mesti menempuh perjalanan jauh antarnegeri.

Pasca-Nabi wafat, Islam menyebar melalui sahabat Nabi yg diutus menjadi pejabat atau gubernur di luar daerah Madinah. Persebaran ini, membuat hadits yg tak semua sahabat mendengarkannya dari Nabi, mesti dipastikan ke mereka yg telah berdiaspora itu. Persebaran ini diketahui melalui adanya sahabat yg bermukim di Kufah, Basrah, Mesir, dan beragam tempat lainnya, diikuti dgn hadits-hadits yg banyak diriwayatkan dari sana.

2. Memantapkan Hadits yg Dimiliki (tatsabbut minal hadits). 

Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari disebutkan rela jauh-jauh dari Madinah menuju Mesir, buat memastikan hadits yg konon hanya diriwayatkan sahabat Uqbah bin Amir yg kala itu menjadi pejabat di Mesir.

Begitu pula dilakukan Syu’bah bin Al-Hajjaj, guna memastikan suatu hadits tentang keutamaan wudhu. Sebelumnya, ia mendengar dari Abu Ishaq As-Sabi’i tentang hadits itu, namun hemat Syu’bah, ia merasa ada tadlis atau perawi yg disembunyikan dalam sanad. Setelah berguru ke berbagai negeri, ia mendapat simpulan bahwa dalam sanad hadits tersebut ada perawi yg kurang baik kualitasnya, namun disembunyikan dalam periwayatan.

Pemantapan hadits ini menjadi sarana para pelajar maupun ulama hadits buat membandingkan riwayat hadits dari guru mereka, baik sanad maupun matan. Ragam riwayat tersebut, membuat mereka dapat menelaah kualitas hadits yg ada sebagaimana kisah Syu’bah bin Al-Hajjaj.

3. Mencari Tingkatan Sanad yg Lebih Tinggi.

Dalam hadits dikenal istilah sanad yg ‘ali dan nazil. Sanad ‘ali ialah sanad yg jumlah perawinya lebih sedikit supaya sampai kepada Nabi. Siapa yg tahu ternyata seorang guru di suatu negeri, sanadnya lebih dekat kepada Nabi dibanding perawi di daerah lain. Imam Ahmad bin Hanbal, menyebutkan bahwa mencari sanad yg lebih dekat pada Nabi ialah hal mulia yg dilakukan generasi ulama terdahulu.

Mengapa mesti perlu sanad ‘ali? Dengan sanad ‘ali yg lebih dekat dgn Nabi, setiap perawi lebih mudah dicek syarat keshahihannya, dan memudahkan telaah hadits. Dengan memiliki hadits dgn sanad yg ‘ali, seorang pelajar hadits dapat dgn baik memastikan kualitas hadits yg dimilikinya. Selain itu, sanad yg lebih dekat pada Nabi dipandang lebih “mulia dan berkah”.

4. Mendapat Informasi tentang Kepribadian Perawi. 

Berpergian ke berbagai negeri demi belajar hadits membuat para pelajar maupun ulama dapat mengecek langsung kepribadian guru mereka yg menyampaikan hadits. Bahkan, beberapa ulama yg telah pakar melakukan rihlah buat “menguji” kemampuan para perawi yg ada dalam hadits mereka.

Yahya bin Ma’in contohnya, mendatangi seorang ulama bernama Abu Nuaim Al-Fadhl bin Dakkin, buat menguji keilmuannya. Setelah bersua dgn Syekh Abu Nu’aim, Yahya bin Ma’in bersimpulan bahwa sosok yg ia hadapi itu memang mumpuni ilmunya.

5. Menjadi Sarana Ulama buat Diskusi dan Menelaah Hadits-Hadits yg Sudah Dimiliki. 

Meskipun telah menjadi sosok yg mumpuni, tetap saja dalam persoalan hadits para ulama kerap memerlukan telaah lebih lanjut dan update seputar hadits, termasuk tentang ilmu ‘illat hadits. Konon ilmu ‘illat hadits ini, sebagaimana dijelaskan para ulama, ialah ilmu yg mensyaratkan penguasaan hadits dan ilmunya pada level tinggi.

Persoalan ‘illat menjadi wilayah diskusi para pakar hadits, yg sangat mungkin berjumpa dalam ekspedisi mereka mencari ilmu. Dikisahkan Sufyan bin Uyaynah yg telah top sebagai ulama hadits di Makkah, bertandang ke Iraq buat menjumpai pakar hadits Ali bin Al-Madini.

Begitu pula Imam At Tirmidzi, guna menelaah dan mendiskusikan hadits-hadits yg diriwayatkan Imam Al-Bukhari, perjalanan jauh ke Bukhara ditempuh dan menghasilkan Kitab Al-‘Ilalul Kabir, yg merupakan kritik hadits dalam sekian kitab yg disusun Imam Al-Bukhari. Bahkan, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Kitab Sunan At-Tirmidzi yg kita kenal sekarang ini, tak lepas dari diskusinya dgn Imam Al-Bukhari.

Sekian tujuan di atas ialah motif keilmuan para pelajar ulama hadits terkait dgn keilmuan mereka. Tentu tak terbatas itu saja. Beberapa tujuan di atas menegaskan bahwa mempelajari hadits memerlukan ketelitian dan semangat tersendiri khususnya pada masa itu. Jika mencari dan mencek hadits saja dibelani mengarungi negeri dan lautan, bagaimana semangat dan tujuan yg saat ini perlu kita miliki dalam belajar? Wallahu a’lam.

Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.