Aksi teror dan korupsi dgn segala bentuknya dan motifnya mendadak jadi kejahatan paling terkutuk setaknya pada lima belas tahun terakhir di Indonesia. Bahkan orang-orang yg terlibat atau menikmati dua jenis kejahatan ini ikut juga melaknat perilaku teror dan perilaku koruptif yg dilakukan orang lain.
Aksi teror dan tindak kejahatan korupsi sebabnya menjadi musuh masyarakat. Tidak heran saat aksi teror atau tindak kejahatan korupsi tercium oleh media, masyarakat mengumpat pelakunya dgn sebutan “Dajjalâ€.
Dampak kejahatan setingkat Dajjal ini dapat dilihat dan diraba langsung oleh pancaindra. Banyak sekali kerugian yg diderita oleh masyarakat akibat aksi teror dan tindakan korupsi.
Karena aksi teror, seorang istri menjadi janda, seorang suami menjadi duda, anak-anak menjadi yatim, orang-orang sehat menjadi cacat, aset-aset dan fasilitas umum menjadi rusak, orang-orang menjadi resah.
Sementara korupsi menurunkan derajat kemuliaan seseorang. Yang paling kentara, korupsi meruntuhkan keikhlasan. Mereka yg diamanahkan melayani masyarakat, justru merasa paling berjasa dan mengharapkan imbalan di luar gaji pokok. Layanan buat masyarakat umum atau mewujudkan kepentingan umum bergeser menjadi layanan buat kepentingan “pemborongâ€.
Atas dasar ini kejahatan teror dan perilaku busuk korupsi digolongkan sebagai dosa besar yg dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Khazanah ulama menyebutnya sebagai “kaba’ir†dosa besar yg mengundang laknat Allah beserta makhluk-Nya hingga ikan-ikan di dasar laut.
Terlebih lagi kejahatan teror. Kejahatan ini dapat juga masuk ke dalam kategori bid’ah dan zindik. Pasalnya pelaku teror kerap mengharamkan apa yg dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yg diharamkan Allah seperti membunuh manusia dalam kondisi aman atau membunuh diri dgn meledakan bom di keramaian. Demikian juga aparat birokrasi yg menjadi centeng atas kepentingan-kepentingan perusahaan tertentu dgn mengintimidasi masyarakat demi kelancaran aktivitas perusahaan yg bersangkutan.
Tetapi segagah apa pun, teroris dan koruptor juga tetap mengalami kematian sebagaimana makhluk hidup pada umumnya. Lalu bagaimana kalau mereka wafat? Apakah umat Islam tetap diwajibkan buat memandikan, mengafankan, menyembahygkan, dan memakam jenazahnya? Ibnu Rusydi dalam Bidayatul Mujtahid menerangkan sebagai berikut.
Mayoritas ulama sepakat membolehkan umat Islam buat menyembahkan jenazah setiap orang yg mengucapkan “Lâ ilâha illallâh†baik jenazah itu pelaku dosa besar maupun ahli bid‘ah. Hanya saja Imam Malik memakruhkan orang-orang terpandang atau terkemuka buat ikut menyembahygkan jenazah ahli bid’ah. Tetapi Imam Malik tak berpendapat perihal pemerintah menyembahygkan jenazah mereka yg terkena hukuman mati (hudud). Bahkan sebagian ulama tak memperbolehkan masyarakat menyembahygkan jenazah pelaku dosa besar, pelaku zina, dan pelaku bid‘ah. Pilihan makruh oleh Imam Malik lebih pada kecaman dan sanksi (sosial) buat mereka.
Dari keterangan di atas, Ibnu Rusydi mengisyaratkan bahwa ulama, para kiai, para ustadz, modin, amil, dan juga orang terpandang di sebuah masyarakat tak perlu hadir menyembahkan jenazah teroris, koruptor, dan mereka yg menyalahgunakan jabatan.
Cukup masyarakat awam yg menghadiri upacara sembahyg dan pemakaman jenazah mereka. Ini merupakan bentuk sanksi sosial dan kecaman keras atas kejahatan-kejahatan besar seperti teror, korupsi, sweeping yg sangat merusak kehidupan masyarakat secara umum. Wallâhu a’lam. (Alhafiz K)