Kebijakan Impor Daging & Problem Halal-Haramnya

Berdasarkan hasil laporan sejumlah pelaku peternakan di lapangan, biaya produksi unggas di Indonesia terbilang mahal. Akibatnya, penjualan produk hasil peternakan juga mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Itu pun masih dibaygi informasi kerugian dari peternak perunggasan.

 

Masyarakat sendiri selaku konsumen, juga telah ada yg mengeluhkan harga produk ayam di pasaran terbilang mahal. Sudah pasti, mahalnya produk tersebut berbanding lurus dgn ongkos produksinya.

 

Pemerintah, lewat Kementerian Peternakan (Kementan), pernah menyampaikan bahwa mau ada produk daging impor dari Brazil ke Indonesia. Namun, belakangan hal itu direvisi lagi, mengingat permasalahan di WTO (World Trade Organization). Para peternak perunggasan juga telah lama menyerukan penolakan tersebut. Namun, kita hari ini tak membahas mengenai permasalahan jadi atau tidaknya impor daging dari Brazil, kita hanya mau mengulas mengenai sisi kehalalan produk daging impor.

 

Problem Kebijakan Impor Produk Daging

Negara mana yg tak melakukan hubungan bilateral ekspor-impor? Tak ada negara di dunia ini yg tak melakukannya. Bagaimanapun juga, setiap negara pasti memiliki kebijakan strategis buat melakukan ekspor impor. Tidak hanya berupa bahan industri, mau tetapi juga bahan-bahan makanan pun tak luput dari kebijakan ekspor-impor. Jadi, impor-ekspor ialah sebuah keniscayaan, dalam rumah tangga suatu negara.

 

Delik permasalahannya ialah ketika negara itu dihuni oleh mayoritas Muslim. Sementara, produk yg hendak diimpor ialah berupa produk daging hewan yg status halalnya harus melewati proses penyembelihan. Dilematisnya ialah siapa yg menyembelih hewan tersebut? Bagaimana produk daging itu diolah? Apakah telah memenuhi standar produk syariah? Pertanyaan pamungkas, siapa yg harus melakukan inspeksi ke lokasi pabrik dan memberi tahu sejak awal informasi produk?

 

Permasalahan ini telah pasti cukup menarik bagi kita semua khususnya masyarakat Muslim Indonesia. Ada beberapa penyebab, yaitu:

  1. Indonesia merupakan negara berpenghuni mayoritas Muslim
  2. Status impor produk ini tak ada sangkut pautnya dgn tingkat kedaruratan. Bahkan, misalnya buat produk daging unggas dan peternakan besar lainnya, stok produk peternakan dalam negeri kita masih terbilang mencukupi.
  3. Kehalalan suatu produk bagi masyarakat Muslim ialah tak hanya berhenti pada jenis binatang yg dikonsumsi, melainkan juga cara penyembelihannya
  4. Negara asal pengimpor daging unggas (sebut misanya: Brasil) ialah dihuni oleh kurang lebih 89% umat katolik dan protestan. 10,5%-nya terdiri dari penganut kepercayaan Spiritisme dan Budhisme. Dan hanya 0,01% terdiri dari penduduk Muslim.

 

Jika memandang fenomena semacam ini, pertanyaan lanjutannya ialah: halalkah produk daging ayam impor dari Brasil tersebut dikonsumsi oleh masyarakat kita? Ada sebuah catatan menarik yg barangkali kita juga dapat turut menyertakannya, yaitu impor produk daging hasil peternakan seperti Brasil ini, tak hanya dinikmati di Indonesia, melainkan juga negara-negara di wilayah Asia Tengah, bahkan Saudi Arabia dan notabene negeri Muslim lainnya.

 

Untuk menjawab masalah ini semua, maka dalam hal ini penting bagi kita menyuguhkan beberapa batas-batas kehalalan suatu produk daging impor dari sisi fikihnya.

 

Batasan Halal-Haram Produk Daging Impor

Ada beberapa ketentuan yg telah tertuang di dalam kutub al-turats mengenai sejumlah batasan produk daging impor. Beberapa batasan tersebut ialah sebagai berikut:

 

Pertama, Kunci Kehalalan Produk

Di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj, juz 3 halaman 326, disampaikan mengenai kemafhuman halal haramnya sebuah produk daging, sebagai berikut:

وتحرم مذبوحة ملقاة، وقطعة لحم بإناء إلا بمحل يغلب فيه من تحل ذكاته، وإلا إن أخبر من تحل ذبيحته، ولو كافرا بأنه ذبحها

 

“Haram hukumnya: temuan berupa buangan daging hewan yg disembelih, atau potongan daging hewan yg disembelih dan ditaruh dalam suatu wadah, kecuali di tempat tersebut hidup seseorang yg halal sembelihannya. Paling tidak, bila ada informasi bahwa daging tersebut disembelih oleh orang yg halal sembelihannya, meskipun pemberi informasi itu seorang kafir.”
 

Berdasarkan ibarat ini, bahwa kunci kehalalan produk sebuah daging itu, dapat ditentukan apabila:

  1. Di wilayah daging itu berasal, hidup pihak-pihak yg halal sembelihannya
  2. Kepastian adanya pihak yg halal sembelihannya ini, cukup hanya berdasarkan informasi. Artinya, bukan tayaqqunan (secara yaqin) melainkan cukup secara dhannan (dugaan).

Kedua, Sumber Informasi yg dapat digunakan buat menyatakan Kehalalan Produk

Syekh Abdurrahman Ba’alawy menyampaikan di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin, halaman 37 mengenai sumber informasi yg dapat dijadikan rujukan kehalalan produk, yaitu:
 

فائدة : لا يقبل خبر الفاسق إلا فيما يرجع لجواب نحو دعوى عليه ، أو فيما ائتمنه الشرع عليه ، كإخبار الفاسقة بانقضاء عدتها ، أو إخباره بأن هذه الشاة مذكاة فيحكم بجواز أكلها ، وكذا بطهارة لحمها تبعاً ، وإن كان لا يقبل خبره في تطهير الثوب وتنجيسه وإن أخبر عن فعل نفسه ، اهـ لكن اعتمد ابن حجر والشيخ زكريا ، قبول قوله طهرت الثوب لا طهر

 

“Faedah: Khabar orang fasiq tak dapat dijadikan rujukan kecuali dalam beberapa hal, yaitu: buat menjawab dakwaan, atau menjawab informasi yg dibutuhkan terkait dgn perkara syara yg dipercayakan kepadanya, misalnya informasi perempuan fasiq mengenai selesainya masa iddahnya, atau informasi mengenai seekor kambing, bahwa kambing tersebut telah disembelih secara syar’i sehingga boleh dikonsumsi. Hal yg sama berarti juga berlaku atas sucinya daging kambing tersebut, sebab mengikut pada asal. Namun, informasi dari pihak fasiq ini tak dapat diterima bila isinya ialah 1) berkaitan dgn sucinya pakaian atau sebaliknya najisnya pakaian. Atau 2) dia menginformasikan mengenai perbuatan yg telah ia lakukan. Ada catatan bahwa Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalany dan Syekh Zakaria al-Anshary menyatakan dapat diterimanya ucapanya orang fasiq dalam hal sucinya pakaian, sebaliknya tak diterima perihal penyuciannya pakaian.

 

Kandungan yg dapat kita ambil dari ibarat ini bila dikaitkan dgn konteks daging impor ialah:

  1. Butuh adanya pihak yg memberi informasi mengenai cara penyembelihan, pelaku penyembelihan hewan yg halal dikonsumsi oleh Muslim tersebut.
  2. Kebenaran informasi yg disampaikan tak harus bersifat tayaqqunan (benar-benar meyakinkan), melainkan dhannan (dugaan kuat). Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi

Ketiga, Jenis Informasi Kehalalan Hewan yg diimpor

Di dalam kitab Hasyiyah I’anatu al-Thalibin, juz 1 halaman 125, Syekh Abdurrahman Bakri bin Syatha’ menjelaskan:

 

ولو شك أنه لبن مأكول أو لحم مأكول أو غيره، أو وجد شاة مذبوحة ولم يدر أن ذابخها مسلم أو مجوسي، أو نباتا وشك أنه سم قاتل أم لا، حرم التناول، ولو أخبر فاسق أو كتابي بأنه ذكاها قبل

 

“Jika terjadi keraguan mengenai informasi asal susu atau daging hewan yg ma’kul al-lahmi (dapat dikonsumsi) atau tidak, misalnya ada seekor kambing yg telah disembelih, namun tak diketahui siapa penyembelihnya, apakah Muslim atau majusy (penyembelah api), atau ada sebuah tumbuhan, namun tak diketahui apakah tumbuhan itu beracun yg dapat membunuh atau tidak, maka haram hukumnya menkonsumsi itu semua. Akan tetapi, bilamana terdapat seorang fasiq yg memberikan informasi (misalnya) bahwa hewan itu telah ia sembelih maka informasi itu dapat diterima.”
 

Kandungan yg dapat dipetik dari ibarat ini ialah bahwa kehalalan suatu produk daging impor ialah bergantung pada:

  1. Butuh keberadaan pihak yg mau menjadi informan mengenai cara penyembelihan dan pelaku penyembelihan hewan yg halal dikonsumsi oleh Muslim.
  2. Kebenaran informasi yg disampaikan tak harus bersifat tayaqqunan, melainkan dhannan. Hal ini berangkat dari mafhum dalil mengenai sisi kefasiqan pihak pemberi informasi

Keempat, Kriteria Penyembelih Produk Hewan yg Diimpor

Berdasarkan penjelasan dari kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, juz 13, halaman 298, disampaikan mengenai kriteria informasi tentang penyembelih sebagai berikut:

 

لو وجدت شاة مذبوحة فقال ذمي : ذبحتها حلت، على أن قولهم لو وجد قطعة لحم في إناء أو خرقة ببلد لا مجوس فيه أو والمسلمون فيه أغلب فطاهرة لأنه يغلب على الظن أنها ذبيحة مسلم يقتضي تصديق المسلم إليه مطلقا لتأييد دعواه بغلبة الظن المذكورة

 

“Andaikata ditemukan adanya kambing yg disembelih, lalu seorang kafir dzimmy mengaku bahwa ia telah menyembelihnya, maka halal kambing sembelihan itu. Hal ini berdasarkan pendapat para ulama bahwa bila suatu ketika ditemukan adanya sekerat daging dalam suatu wadah, atau dibungkus dalam suatu kemasan, dan terdapat di suatu negeri yg penduduknya bukan kaum majusi (ubadatu al-ashnam), atau di negeri itu ada warga Muslim yg menduduki mayoritas, maka daging tersebut dihukumi suci sebab alasan kuatnya dugaan (ghalabat al-dhan) bahwa itu ialah sembelihannya orang Muslim. Sasaran dari qaul ini sebenarnya ialah penyandaran kebenaran atas orang Muslim secara mutlaq, demi menjaga dakwahnya supaya terus berjalan. Oleh sebabnya, ditetapkan batasan ghalabat al-dhan sebagaimana yg telah dituturkan.”
 

Mahfum dari ibarat ini ialah:

  1. Bahwa dalil asal sembelihan yg sah secara syara ialah sembelihannya orang Muslim
  2. Sembelihannya kafir kitaby hukumnya ialah halal, berdasarkan istishab. Tujuan dari istishab ini ialah buat menjaga supaya dakwah Muslim tetap berjalan di negara daging impor itu berasal.
  3. Yang mengundang permasalahan kita ialah kehalalan itu masih ada hubungannya bila kondisi Muslim masih digambarkan sebagai yg mayoritas. Namun, setidaknya ada penegasan bahwa sembelihannya kafir dzimmy (kitaby) ialah halal.

Kelima, Jenis Hewan yg dijadikan Produk Impor

Penting buat kita ketahui bahwa dalil ashal kehalalan suatu produk ialah bergantung pada jenis asal hewan yg diproduksi. Jika berasal dari jenis hewan halal, maka secara umum, produk tersebut ialah halal. Bila berasal dari hewan haram, maka haram.

 

Imam Nawawi rahimahullah, dgn mengutip pandanga Imam al-Mutawally rahimahullah, menyampaikan dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, halaman 210, sebagai berikut:

 

(فرع) هذا الذى ذكرناه كله فيما علم أن أصله الطهارة وشك في عروض نجاسته أما ما جهل أصله فقد ذكر المتولي فيه مسائل يقبل منه بعضها وينكر بعض فقال لو كان معه إناء لبن ولم يدر أنه لبن حيوان مأكول أو غيره أو رأى حيوانا مذبوحا ولم يدر أذبحه مسلم أم مجوسي أو رأى قطعة لحم وشك هل هي من مأكول أو غيره أو وجد نباتا ولم يدر هل هو سم قاتل ام لا فلا يباح له التناول في كل هذه الصور لانه يشك في الاباحة والاصل عدمها هذا كلام المتولي

 

“Permasalahan Cabang: Semua yg telah kita tuturkan ini, pada dasarnya berangkat dari pengetahuan bahwa ashal (daging hewan yg disembelih, dapat dipastikan) ialah berasal dari hewan suci. Keraguan terjadi terhadap penilaian sisi kenajisan, khususnya apabila daging itu tak diketahui asal hewannya. Imam al-Mutawalli menyampaikan, pada kasus tak diketahuinya asal daging semacam ini terdapat beberapa masalah. Di satu sisi, ada indikasi dapat diterima kehalalannya, namun di sisi lain tak dapat diterima. Selanjutnya, al-Mutawalli menyampaikan: “andaikata ada sebuah wadah berisi susu sebelanga, namun tak diketahui asa muasal susu itu, apakah dari binatang ma’kul al-lahmi atau tidak, atau ada seekor hewan yg telah disembelih, dan tak diketahui siapa penyembelihnya, apakah Muslim atau majusi, atau dilihat adanya sekerat daging yg diragukan apakah ia berasal dari hewan yg halal dikonsumsi atau tidak, atau ada tumbuhan yg diragukan apakah beracun atau tidak, maka dalam kondisi keraguan semaacam ini, tak dibenarkan mengkonsumsi itu semua dgn alasan syak (keraguan) terhadap status kebolehannya. Sebagaimana kaidah: al-ashlu adamuha (Dalil asal mengkonsumsi sesuatu ialah ketidakbolehannya (sebab adanya keraguan)). Ini ialah pernyataan Syekh al-Mutawalli.”

 

Berdasarkan penjelasan dari ibarat ini, maka kita dapat memutuskan hukum dari produk daging impor dari wilayah mayoritas non Muslim, sebagaimana Brazil itu sebagai berikut:

  1. Daging impor dari Brasil atau negara lainnya yg mayoritas non-Muslim itu, harus terdiri dari hewan yg secara dhahir merupakan ma’kul al-lahmi (halal dikonsumsi dagingnya oleh Muslim).
  2. Jika kriteria pertama ini telah terpenuhi, maka selanjutnya berlaku hukum asal mengkonsumsi daging hewan ma’kul al-lahmi tersebut ialah boleh.
  3. Kehalalan produk dapat diperkuat dgn data bahwa di wilayah negara asal daging itu diproduksi (misalnya: Brasil), terdapat ketegasan, bahwa a) mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik dan Protestan, yg secara umum dikelompokkan dalam kafir kitaby, dan b) Ada penduduk Muslim yg tinggal di sana, meskipun tak menempati mayoritas.

Penutup

Satu hal yg penting buat diberikan catatan ialah bahwa semua hal di atas masih memiliki kerangka yg erat hubungannya dgn keberadaan suplai informasi. Untuk itu, perlu adanya lembaga yg dapat memberikan informasi dan berkompeten dalam produk halal itu, dibanding kita mendapatkan informasi dari kalangan yg fasiq (misalnya). Alhasil, pendirian lembaga itu sebagai menempati posisi krusial bagi Muslim Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.