tiga Teori & Konsekuensi Badan Hukum sebagai Subjek Hukum

Dalam hukum positif, badan hukum diakui sebagai sebagai subjek hukum, selain manusia. Sebagaimana penjelasan ini disampaikan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro dan dikutip oleh P.N.H. Simanjuntak di dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (2009: 28-29). Menurutnya, badan hukum ialah suatu badan yg di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yg mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

 

Penjelasan yg kurang lebih sama juga disampaikan oleh Profesor Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Menurutnya, badan hukum ialah kumpulan dari orang-orang yg bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yg ditersendirikan buat tujuan tertentu (yayasan).

 

Ada beberapa teori yg dijadikan landasan mengapa badan hukum itu dapat diberlakukan sebagai subjek hukum dalam ranah hukum positif. Dari semua teori itu, ada konsekuensi logis yg tak dapat dihindari. Apa saja konsekuensinya? Simak ulasan berikut ini!

 

 

1. Teori Fiksi (Fictie Theorie)

Teori ini menyatakan bahwa subjek hukum yg sebenarnya ialah manusia. Sementara badan hukum ialah bukan manusia sehingga ada beberapa karakteristik manusia yg tak dimiliki oleh badan hukum. Badan hukum dijadikan subjek hukum sebab alasan penyerupaan atau pengandaian semata. Inilah inti dasar dari teori fiksi tersebut. Para sarjana muslim menyebutnya sebagai syakhshiyah i’tibariyah.

 

Adapun kelemahan dari teori fiksi (syakhshiyah i’tibariyah) ini ialah:

  1. Teori ini tak mampu menjawab mengenai siapa yg wajib memenuhi gugatan hukum apabila ada pihak penggugat mengajukan gugatan atas badan hukum tersebut, baik secara pidana maupun perdata.
  2. Teori ini juga tak mampu menjawab mengenai siapa yg wajib mengajukan gugatan atas pihak yg dinilai merugikan badan hukum.

 

2. Teori Organ

Menurut Otto von Gierke, badan hukum merupakan sebuah entitas sejati yg dapat melakukan pergaulan (muamalah) dalam tataran hukum guna mewujudkan kehendaknya melalui instrumen organ yg dimilikinya (pengurus).

 

Berbekal teori ini, apabila terjadi kasus merugikan pihak lain, maka organ (divisi bidang) yg melakukan tindak kerugian itulah yg dipandang bertanggungjawab melakukan ganti rugi. Oleh sebabnya, ia berhak dibubarkan dan pihak yg berada di divisinya siap buat dipecat atau dimutasikan.

 

Sebaliknya, apabila terjadi kasus yg merugikan divisi/organ tersebut, maka organ/divisi ini berhak buat melakukan penuntutan sehingga berlaku sebagai subjek hukum.

 

Alhasil, menurut teori ini, sebuah badan hukum dipandang sebagai wilayah/kekuasaan. Adapun pihak yg bertugas mengurusi wilayah/kekuasaan merupakan pihak yg bertindak sebagai penanggung jawab yg sebenarnya (subjek hukum) dari divisi yg diembannya, sehingga tak sebagaimana teori fiksi (syakhshiyah i’tibariyah) di atas.

 

3. Teori Kekayaan Tujuan

Menurut teori satu ini, berdirinya badan hukum tak dipandang sebagai akibat akumulasi hak pemegangnya. Badan hukum dipandang sebagai ada, sebab adanya tujuan bersama yg hendak dicapai. Tujuan bersama ini selanjutnya disebut sebagai hak. Oleh sebabnya, yg bertindak selaku subjek hukum di sini bukan atas nama perseorangan, melainkan kehendak bersama.

 

Jadi, berdasarkan teori ini, apabila terjadi kasus merugikan pihak lain, maka yg bertanggung jawab dalam menanggung kerugian ialah badan hukum itu sendiri yg cenderung bersifat temporal. Apabila badan hukum itu membubarkan diri setelah tercapai maksud dan tujuannya maka tak ada yg dapat dituntut buat mempertanggungjjawabkan kerugian tersebut.

 

Di Indonesia, badan hukum ini umumnya mewujud dalam bentuk aliansi-aliansi atau sebuah serikat tak bertuan. Mereka berkumpul sebab didorong oleh kepentingan bersama. Setelah suara kepentingan itu disampaikan, mereka kemudian membubarkan diri. Kasus-kasus penggalangan masa buat melakukan demonstrasi, ialah contoh termudah. Serikat semacam ini terbukti menyulitkan aparat penegak hukum buat melakukan penuntutan kasus kerugian yg ditimbulkan. Misalnya, kasus demonstrasi massa yg menyebabkan kerusakan fasilitas umum beberapa waktu yg lalu. Aparat penegak hukum hanya dapat mencari dalang di balik kerusuhan (provokator) tanpa dapat menuntut seluruh individu yg terlibat dalam aliansi tersebut guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.

 

Di Indonesia, sulitnya melakukan penuntutan ini sebenarnya juga berangkat dari dasar batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yg mengakui hak berserikat dan berkumpul masyarakat tersebut. Akibatnya, dalam setiap aksi demonstrasi, mau selalu muncul aliansi-aliansi yg mengatasnamakan persatuan hak dan kepentingan. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.