Kekuatan Makna La ilaha illallah dari Tinjauan Gaya Bahasa

Para ulama tauhid sepakat bahwa makna Lâ ilâha illallâh ialah Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh (tiada tuhan yg disembah dgn hak kecuali Allah), bukan Lâ ma‘bûda illallâh, (tiada tuhan yg disembah selain Allah). Andai makna Lâ ilâha illallâh ialah Lâ ma‘bûda illallâh, (tiada tuhan yg disembah selain Allah), niscaya kenyataannya berbohong. Sebab, masih mengasumsikan ada tuhan-tuhan selain Allah di luaran sana yg disembah. Padahal, tuhan-tuhan itu semuanya batil kecuali Allah. Karena itu, perlu dipastikan bahwa makna Lâ ilâha illallâh ialah tiada tuhan yg hak kecuali Allah. Tiada tuhan yg berhak disembah dgn sebenar-benarnya kecuali Dia (Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).

 

Secara retorika, kalimat Lâ ilâha illallâh disabilan dalam gaya bahasa qashr nafyi dan itsbat. Artinya, gaya bahasa yg membatasi makna dgn cara menegasikan yg lain dan menetapkan salah satunya. Dinegasikan dgn kalimat Lâ ilâha dan ditetapkan oleh kalimat illallâh. Itulah kalimat tauhid buat mengesakan Allah. Jika yg dipakai hanya itsbat (penetapan) maka maknanya tak mencegah keterlibatan tuhan lain. Begitu pula bila yg dipakai ialah nafyi saja, maka yg terjadi ternafikan seluruhnya. Sehingga bila kita mengucapkan Lâ ilâha (tiada tuhan), maka ternafikanlah seluruh tuhan termasuk Allah. Demikian pula bila kita mengucapkan allâhu ilâhun (Allah itu tuhan), maka kita belum bertauhid. Karena kalimat ini lemah dan tak menegasikan keikutsertaan tuhan-tuhan yg lain ( Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).

 

Oleh sebab itu, ketika kalimat penetapan ini dipakai, Al-Qur’an sendiri menguatkannya dgn sifat. Contohnya kalimat, “Wa ilâhukum ilâhun wâhid” (Dan Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa), (QS al-Baqarah [2]: 163). Sifatnya ialah “yg maha esa”. Bahkan, kalimat itsbat itu tak dibiarkan Al-Qur’an begitu saja. Lanjutan ayat tersebut ialah kalimat tauhid, “Lâ ilâha illâ huwar rahmânurrahîm (Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayg), (QS al-Baqarah [2]: 163).

 

Selain bermakna Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh (Tiada tuhan yg berhak disembah selain Allah), Lâ ilâha illallâh juga bermakna Lâ maujûda bihaqqin illallâh (Tiada maujud yg hak selain Allah) dan Lâ masyhûda bihaqqin illallâh (Tiada yg disaksikan dgn hak selain Allah).

 

Makna Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh ini juga ditegaskan Allah dalam surah al-Fatihah. Iyyaka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah). Lagi-lagi gaya bahasa yg dipergunakan ialah gaya bahasa qashr . Bedanyanya, bila Lâ ilâha illallâh dgn qashr nafyi dan itsbat, sedangkan iyyaka na‘budu dgn qashr taqdim ma haqquhu al-ta’khir (mendahulukan bagian kalimat yg biasa diakhirkan). Tanpa qashr, kalimat itu berbunyi, Na‘buduka (Kami menyembah Engkau). Namun, dalam gaya bahasa qashr, kalimat itu menjadi Iyyaka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah.” Karena itu, siapa pun yg telah menyelami makna ini, tak mau ada yg dapat menghalangi dirinya beribadah, tak ada yg terpikir saat dirinya beribadah kecuali Allah.

 

Kemudian Lâ maujûda bihaqqin illallâh maksudnya tiada yg maujud—bermakna wujud—dgn hak kecuali Allah. Segala wujud yg terlihat bukan wujud yg hakiki. Wujudnya bumi misalnya. Ia diwujudkan oleh Allah. Selain itu, wujud bumi juga terbatas dan fana. Begitu pula wujud-wujud yg lain. Semuanya wujud sebab ada yg mewujudkan. Tetaplah wujud yg hakiki dimiliki oleh Allah, Dzat yg maha wujud, azali, qadim, dan kekal.

 

Kemudian Lâ masyhûda bihaqqin maksudnya tak ada yg disaksikan dgn hak kecuali Allah. Apa pun yg dilihat dan disaksikannya semata sebab wujud dan kebesaran-Nya. Tidak ada yg disaksikan semata rencana, kehendak, kekuasaan, dan hikmah-Nya. Tidak ada yg buruk di sisi-Nya. Sehingga manakala ada seseorang yg melihat perkara buruk oleh mata kepalanya, maka dgn pandangan mata hatinya (bashirah) terlihat baik dan sejalan dgn hikmah yg hendak diberikan-Nya. Bahkan, seorang yg telah menyelami makna ini, tak dapat melihat sesuatu di depannya kecuali Allah. Itu pula yg terjadi pada al-Hallaj yg pernah mengatakan, “Ana al-haqq.”

 

Baca: Kalimat Tauhid Saja Tak Cukup, Lima Aspek Ini Wajib Dipenuhi

 

Para ulama tasawuf menyebut makna Lâ ma’bûda ini sebagai makna syariat, makna Lâ maujûda sebagai makna tarekat, dan Lâ masyhûda sebagai makna hakikat (lihat: Syekh Abu al-Hasan Nuruddin, al-Radd ‘ala al-Qa’ilin bi Wahdatil Wujud, [Damaskus: Darul Ma’mun], 1995, Cet. Pertama, hal. 20).

 

Turunan dari tiga makna di atas ialah Lâ maqshûda bihaqqin illallâh (tiada yg dituju dgn hak selain Allah), Lâ maqdûra bihaqqin illallâh (tiada yg dikuasakan dgn hak selain Allah), Lâ mas’ûla bihaqqin illallâh (tiada yg diminta dgn hak selain Allah), La mahbûba bihaqqin illallâh (tiada yg dicintai dgn hak selain Allah), dan seterusnya.

 

Untuk mendukung makna-makna di atas, para ulama sekurang-kurangnya mempersyaratkan delapan hal, yaitu: (1) memiliki pengetahuan buat menafikan kebodohan, (2) memiliki keyakinan buat menafikan keraguan, (3) memiliki penerimaan buat menafikan penolakan, (4) memiliki kepatuhan buat menafikan ketaktaatan, (5) memiliki keikhlasan buat menafikan kesyirikan, (6) memiliki kejujuran buat menafikan kemunafikan, (7) memiliki kecintaan buat menafikan kebencian, (8) memiliki kekufuran terhadap segala sesuatu selain Allah (lihat: Syekh ‘Abdurrahman ibn Muhammad, Hasyiyah Tsalatah al-Ushul, Terbitan Daruz Zahim, Cet. Kedua, 2002, hal. 84).

 

Demikian kekuatan makna Lâ ilâha illallâh dalam retorika qashr. Semoga uraian singkat ini kian menambah keyakinan dan ketauhidan kita. Wallahu a’lam. (​​​​​​​M. Tatam Wijaya)

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.