Ketentuan Zakat Harta Utang Piutang dalam Islam

Karena didorong oleh berbagai upaya pemenuhan kebutuhan, manusia melakukan muamalah dan saling interaksi antara satu sama lain. Tak terkecuali dalam urusan usaha produktif, semisal kebutuhan mau permodalan. Dari hasil interaksi antara pemilik harta dan pihak yg butuh modal ini salah satunya muncul relasi utang-piutang (istidanah). Konsekuensinya, muncul pula istilah utang modal.

 

Sesuai dgn karakteristiknya, modal merupakan harta yg diniatkan buat dikembangkan (nama’) dalam kerangka produksi. Adanya unsur pengembangan (nama’) ini menjadikan modal memiliki korelasi kuat dgn zakat disebabkan maksud produktivitasnya itu. Pertanyaannya ialah apakah  modal yg diperoleh dari hasil utang itu merupakan harta yg wajib dizakati? Jika wajib dizakati, siapa yg berhak mengeluarkan zakatnya? Apakah pihak yg memberi utang ataukah pihak yg berutang?

 

Ada empat kemungkinan jawaban dalam hal ini. Pertama, pihak yg wajib zakat ialah pihak yg utang (dâ-in). Kedua, pihak yg wajib mengeluarkan zakat ialah pihak yg mengutangi (mudîn). Ketiga, kedua pihak baik dâ-in dan mudîn, sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Keempat, keduanya tak wajib zakat.

 

Dasar utama dari keempat jawaban ini ialah berangkat dari perintah Allah swt dalam QS al-Nahl [16] ayat 90: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan, menyantuni kerabat dekat, amar ma’ruh, dan nahi mungkar.” Yang wajib buat kita jadikan landasan acuan berhukum dalam konteks ini ialah bahwa kita hendaknya berlaku adil. Sudah pasti, maksud dari adil ini ialah tak berlakunya sifat aniaya (dhulm) dilihat dari berbagai aspeknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada sahabat Mu’adz ibn Jabal radliyallahu ‘anhu:

 

فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

 

“Takutlah kamu terhadap orang-orang yg dimuliakan dgn harta-harta mereka! Takutlah kamu dari doanya orang yg teraniaya, sebab antara mereka dan Allah, tiada sesuatu hijab pun” (HR. Imam al-Bukhari)

 

Faedah yg dapat kita ambil dari hadits ini ialah, bahwa zakat itu ada aturan yg telah disepakati. Oleh sebabnya, perlu menimbang secara arif suatu masalah dgn standar yg telah ditentukan oleh syariat. Tujuannya ialah supaya tak salah dalam menetapkan siapa sebenarnya muzakki yg harus dipungut zakat.

 

Baca juga: Zakat Perusahaan: Ketentuan dan Cara Menghitungnya

 

Pihak yg Berutang selaku yg Wajib Zakat

Kondisi ini terjadi manakala pihak yg berutang ialah bermaksud menjadikan utang yg diambilnya sebagai modal usaha atau menambah modal yg telah ada. Suatu misal, ia punya 50% modal, sementara 50% lainnya ia dapatkan dari meminjam dalam bentuk uang cash. Modal sebensar 50% yg diambil dari utang berupa uang cash ini merupakan bagian dari yg harus diakumulasikan ke dalam bagian ‘urudl al-tijarah (modal usaha), bilamana telah bersalin rupa dari uang menjadi barang. Mengapa?

 

Ketika modal masih dalam bentuk uang cash maka status kepemilikan uang yg ada di tangan pedagang, masuk kategori lemah. Padahal, disyaratkan bahwa wajibnya zakat ialah berlaku bilamana harta muzakki telah menjadi milik sempurna baginya. Dan ini memungkinkan terjadi, setelah adanya pergantian wujud uang menjadi barang. Karena utang berupa uang harus kembali menjadi uang. Pembelanjaan uang menjadi barang, menjadikan barang itu telah menjadi hak milik sempurna pihak yg utang. Oleh sebabnya telah terhitung sebagai urudl (harta dagang).

 

إذا حلّت عليك الزكاة فانظر ما كان عندك من نقد أو عرض للبيع فقوّمه قيمة النقد‏، وما كان من دين في ملاءة فاحسبه‏،‏ ثم اطرح منه ما كان عليك من الدين، ثم زَكّ ما بقي

 

“Saat harta zakat telah mencapai haul, maka telitilah segala harta zakawi yg kamu miliki, seperti nuqud (dinar dan dirham), harta dagang, maka jadikanlah ia dalam bentuk harga riil dgn standar nuqud, kemudian harta yg diperoleh dari utang dan dijadikan modal, maka hisablah ia sebagai modal, dan sisihkan harta (urudl) lainnya yg merupakan hasil utang urudl, kemudian tunaikan zakatnya!” (Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam, al-Amwal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986 M, halaman 431)

 

Pihak yg Mengutangi sebagai yg Wajib Zakat

Hal ini terjadi, manakala utang dâ-in ialah berupa barang. Utang berupa barang menjadikan status kepemilikan barang bagi dâ-in ialah “milik lemah”, kecuali bila telah terjadi transaksi baru yg menyertainya. Contoh dari transaksi baru ini ialah barang itu laku kepada pembeli lain.

 

Saat barang utang itu laku, maka secara otomatis barang yg dijual oleh dâ-in menjadi “milik kuat” dan dihitung sebagai bagian dari ‘urudl tijarah (harta dagang) sejak barang utangan ada di kekuasaan dâ-in dan boleh dijual.

 

Yang perlu dicatat ialah bahwa dâ-in mendapatkan barang itu lewat transaksi “utang”, dan bukan sekadar menjadi wakil dari pemilik asal barang.

 

تجب زكاة الدين على الذي عليه الدين (أي المدين) وتسقط عن ربه المالك له (أي الدائن)

 

Artinya, “Zakat utang wajib berlaku atas pihak yg mengutangi sehingga gugur kewajibannya atas orang yg menguasai utang (orang yg berutang).” (Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam, al-Amwal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986 M, halaman 435)

 

Keduanya Sama-Sama Wajib Zakat

Kondisi ini terjadi manakala terjadi mathlu (menunda-nunda) pembayaran oleh pihak yg berutang terhadap utang modal yg dilakukannya. Pihak yg mengutangi, tetap menghitung modal yg dipinjamkannya kepada dâ-in sebagai bagian dari harta miliknya sebelum dilunasi oleh pihak dâ-in. Sementara itu, bagi dâ-in, harta yg telah laku dan berubah menjadi uang, secara sah telah menjadi miliknya dan dihisab sebagai nuqud tersimpan baginya. Walhasil, kedua mudîn dan dâ-in sama-sama mengeluarkan zakat.

 

Baca juga: Apakah Peternak Madu Wajib Mengeluarkan Zakat?

 

Keduanya Sama-Sama Tidak Wajib Zakat

Kondisi ini terjadi manakala pihak yg mengutangi bukan pedagang. Ia mengutangi dalam rangka menolong saudaranya yg tengah kesusahan. Harta utang yg telah dikucurkan kepada pihak dâ-in, dalam kondisi ini telah menjadi milik kuat bagi dâ-in. Dengan demikian, pihak mudîn telah tak memiliki kuasa sama sekali terhadap harta yg dipinjamkan sebab terjadi perpindahan milik.

 

Harta dihitung menjadi milik mudîn kembali manakala telah dikembalikan oleh dâ-in. Dan bila harta itu telah lewat satu tahun (Hijriah), terhitung semenjak masih ada dalam kekuasaan mudîn hingga berpindah dalam kuasanya dâ-in, kemudian kembali lagi kepada mudîn, maka saat kembalinya harta itu kepada mudîn, di situ mudîn baru berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.