Ketika Abu Hanifah Menjawab Persoalan Haid dgn Buah Apel

Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha (150 H) ialah tokoh yg terkenal dgn kecerdasan dan kebijaksanaannya. Persoalan demi persoalan selalu mampu ia selesaikan dgn penuh kebijaksanaan. Tak sedikit tokoh agama yg gagal meneladani Imam Abu Hanifah dalam hal ini. Sebagai seorang alim, fakih, lagi ushuli, menjawab persoalan hukum dan isu-isu sosial, ialah hidangan hariannya. Mengingat, kapabilitas buat merujuk Al-Qur’an dan hadist yg hanya dimiliki segelintir orang, berbanding terbalik dgn problem hukum di tengah umat yg tiada usainya.

Kali ini, sang pendiri mazhab Hanafi itu dihadapkan dgn persoalan haid yg menimpa seorang gadis desanya. Sebagaimana tabiat perempuan desa, berbicara soal privasi kewanitaannya ialah hal yg sangat tabu. Apalagi kepada orang yg ketokohannya dikultuskan dan dihormati. Terlebih, saat itu Abu Hanifah tengah berada di sekeliling murid-muridnya, mengisi daras rutinan.

Namun, perempuan itu tak kehadapatn akal. Ia mencari media yg dapat memahamkan Abu Hanifah sekaligus tak menyulitkan dirinya. Dia mau segera mendapatkan jawaban dari masalahnya itu. Bila dgn menulis surat, mungkin mau semakin sulit dan ribet baginya. Akhirnya, dgn rasa kemautahuannya yg tinggi, ia berhasil menemukan jalan keluar yg solutif sekali. Perempuan cerdas itu membawa sebuah apel yg sebagianya berwarna merah dan sebagian lagi berwarna kuning.

Rupa-rupanya, perempuan baru dewasa itu sedang digelisahkan oleh warna darah haidnya yg sebelumnya berwarna merah, dan saat itu berubah menjadi warna kuning. Ia bingung menentukan apakah itu darah haid atau istihadah. 

Singkat cerita, dia pun menyuruh salah seorang peserta pengajian supaya memberikan apel itu kepada Imam Abu Hanifah, sembari menanti jawaban, ia menunggu di depan pintu rumah sang imam. Ketika laki-laki itu menyerahkan apel tersebut, Abu Hanifah pun bertanya:

من أرسلك بها؟

Artinya, “Siapa yg menyuruhmu memberikan apel ini (buatku)?”

Muridnya itu menjawab:

إمرأة واقفة بالباب تنتظر الجواب

Artinya, “Seorang perempuan yg sekarang tengah berdiri di depan pintu menanti jawaban.”

Mendengar jawaban muridnya, Abu Hanifah langsung dapat menangkap isyarat apel yg ada di hadapannya. Ia paham betul maksud penanya yg hendak menyoal status darahnya yg telah berubah warna itu. Seketika juga Abu Hanifah membelah apel tersebut dan memberikan kembali kepada muridnya seraya berkata:

إذهب بها وسلمها لها

Artinya, “Pergilah bawa apel ini, dan berikan kembali kepada perempuan itu (sebagai jawabannya).”

Setelah perempuan yg sedari tadi menunggu ini menerima kembali apelnya yg telah terbelah, ia pun dapat langsung menangkap jawaban dari isyarat Abu Hanifah. Melihat bagian dalam apel yg berwarna putih, dgn penuh keyakinan ia putuskan bahwa dirinya telah suci. Akhirnya, perempuan itu pun pulang dgn raut wajah riang nan puas membawa jawaban sang imam.

 

Baca juga: Kisah Imam Abu Hanifah dan Orang Khawarij

Dari kisah di atas, sekurang-kurangnya ada tiga hikmah besar yg terselip di dalamnya. Pertama, tingginya semangat belajar perempuan di masa lalu. Menyimak kisah perempuan yg dgn segala upaya berjuang demi mendapat jawaban dari persoalannya, ialah bentuk semangat belajar yg sangat tinggi. Ia tak rela membiarkan kebingungannya menjadi sebuah kebodohan. Ia mau mengubahnya menjadi sebuah pengetahuan. Selain itu, dia juga berhasil menjalankan perintah Allah SWT dalam penggalan surah an-Nahl ayat 43 dan surah al-Anbiya’ ayat 7, yg berbunyi:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Artinya, “Maka tanyakanlah kepada orang yg berilmu, bila kamu tak mengetahui.”

Bersinggungan dgn ini, imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, dalam Shahih al-Bukhari (juz 1, hal. 37), menulis satu bab yg berjudul, Babun Hal Yuj’alu Linnisa‘i Yaumun ‘ala Hidatin fi Al-‘Ilmi, ‘Bab tentang akankah ada waktu belajar khusus bagi perempuan (bersama Rasulullah SAW)’. Artinya, rekaman jejak semangat belajar perempuan telah muncul sejak masa nabi, dan berlanjut hingga masa Abu Hanifah sebagai tabi’ at-tabiin (santrinya para tabiin).

 

Kedua, kecerdasan Abu Hanifah yg jauh di atas awan. Membaca kisah ini, rasanya sulit sekali bahkan mustahil menemukan tokoh secerdas imam Nu’man bin Tsabit di masa kita dewasa ini. Sepertinya, selain kecerdasan, juga membutuhkan kesucian hati dan jiwa buat memperoleh karunia (fadhal) seperti Abu Hanifah. Namun, para ulama lebih akrab mengenal kisah ini sebagai bukti kecerdasan Abu Hanifah (min dzaka’i Abi Hanifah).

Ketiga, Abu Hanifah ialah sosok yg bijaksana. Kisah ini mengajarkan kita mau pentingnya kebijaksanaan dan sikap intelektual (mauqif ‘ilmiy) dalam menjawab setiap persoalan di tengah masyarakat. Walau Abu Hanifah telah memahami masalah perempuan tersebut, tak lantas ia menjawab dan menjelaskannya lantang di depan forum. Karena ia tahu bahwa perempuan tersebut mau tersipu malu bila privasi kewanitaannya diketahui publik. Bila mengingat-ingat, peristiwa semacam ini juga pernah dialami oleh Abu Abdirrahman Hatim bin Alwan al-‘Asham (237 H) yg menutup aib seorang perempuan yg tak sengaja buang angin di hadapannya. Wallahu a’lam.

Kisah di atas, dapat ditemukan dalam kitab Syarh al-Yaqut an-Nafis (hal. 117) karya habib Ahmad bin Muhammad bin Umar asy-Syathiri. 

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumnus sekaligus pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.