Ketika Sayyidina Umar bin Khattab Heran dgn Doa Seseorang

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan riwayat ketika Sayyidina Umar bin Khattab mendengar seseorang berdoa. Berikut riwayatnya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ جُدْعَانَ قَالَ: سَمِعَ عُمَرُ رَجُلًا يَقُولُ: اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الْأَقَلِّينَ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ وَمَا الْأَقَلُّونَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ: (وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ)، (وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ)، وَذَكَرَ آيَاتٍ أُخَرَ، فَقَالَ عُمَرُ: كُلُّ أَحَدٍ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ

Abdullah bercerita, Muhammad bin Ghailan bercerita, Sufyan bercerita, dari Ibnu Jud’an, ia berkata:

Umar mendengar seseorang berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hamba termasuk golongan yg sedikit.” Lalu Umar bertanya: “Wahai hamba Allah, apa (yg kau) maksud (dgn) golongan yg sedikit itu?”

Orang itu menjawab: “Aku mendengar Allah berfirman: “Dan tak beriman bersama dgn Nuh kecuali sedikit” (QS. Hûd: 49), “Dan sangat sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yg bersyukur” (QS. Saba’: 13).” Ia pun menyebutkan ayat-ayat lainnya (yg sesuai dgn yg dimaksud).

Kemudian Umar berkata: “Setiap orang lebih paham (agama) dibandingkan Umar.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 142)

****

Doa ialah ibadah. Peluang meminta semua hamba yg diberikan Tuhan kepada mereka, siapapun dan dimanapun tempatnya. Pada titik tertentu, manusia butuh meminta; manusia butuh bersandar; manusia butuh mengadu. Karena manusia ialah makhluk yg serba butuh. Kebutuhannya lebih beragam dari makhluk lainnya. Dari makanan, manusia dapat memakan apa saja, dari mulai sayur-mayur sampai daging-dagingan. Cara penyajian dan selera lidahnya pun beragam. Setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Berbeda dgn binatang yg hanya memakan sayur-mayur atau daging-dagingan. Sebab itu, manusia diberikan hak berdoa. 

Jika kita renungi dalam-dalam, kemauan manusia tak dapat dibatasi dgn kebutuhan mereka. Manusia seringkali melampaui kebutuhannya. Mereka mengmaukan sesuatu sebab kerakusannya, bukan sekedar pemenuhan kebutuhannya. Barangkali, hanya manusia lah makhluk Allah yg paling sering berusaha mendapatkan hal-hal yg tak dibutuhkannya (berlebih-lebihan). Karena itu, Allah menghendaki manusia berdoa dgn bijak dan beradab. Allah berfirman (QS. Al-A’raf: 55):

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Tuhan kalian dgn berendah diri dan suara yg lembut. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang yg melampaui batas.”

Dalam ayat di atas, Allah menekankan dua adab penting dalam berdoa; berendah diri dan suara yg lembut. Artinya, ketika manusia berdoa, ia harus siap menerima apapun hasilnya. Karena pengabulan dari Allah tak melulu sesuai dgn yg diminta, tapi—terkadang—sesuai dgn kebaikan hidupnya. Dengan berendah diri, kita menyiapkan hati kita bahwa manusia hanya dapat berencana dan Tuhan lah yg menentukan.

Menurut sebagian mufassir, kata, “al-mu’tadîn—orang yg melampaui batas”, diartikan sebagai orang yg meninggalkan doa (târikud du’â), atau orang yg tak berdoa sama sekali. Padahal, fungsi doa tak hanya sebagai sarana memohon, tapi juga bentuk ikrar seorang hamba kepada Tuhannya, bahwa dia bukan apa-apa tanpa-Nya; sangat lemah tanpa anugerah-Nya; dan hanya kepadaNya lah dia dapat meminta. Seorang penyair mengatakan:

الله يغضب إن تركتَ سؤاله # وبني آدم حين يُسأل يغضب

“Allah mau marah bila kau tak meminta kepadaNya,

sedangkan anak Adam mau marah ketika ia dimintai.”

(Imam Abu Bakr al-Thurthusyi, al-Du’â al-Ma’tsûr wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002, h. 13)

Memang benar, Allah membuka ruang selebar-lebarnya buat doa hamba-hamba-Nya. Menyambut dan mengabulkan doa-doa mereka. Andaipun ada yg merasa tak dikabulkan doanya, bukan berarti Allah tak mengabulkannya. Ini hanya soal pengakuan dan pengenalan kita terhadap hidup kita sendiri. Kita harus akui, bahwa manusia lebih mampu mengingat penolakan ketimbang penerimaan yg tak langsung. Padahal, bila kita renungi dalam-dalam, dapat jadi kenikmatan atau kebahagiaan yg kita rasakan kemarin ialah hasil dari doa kita dua tahun lalu, tapi kita lalai dan hanya mengingat Tuhan tak mengabulkannya ketika itu.

Karena itu, kita harus melatih diri buat lebih mengenali, bahwa hidup tak berputar dalam kesingkatan, seperti dikabulkannya doa secara langsung. Kita harus melihat Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam yg berdoa meminta kekalahan Fir’aun. Lalu Allah menjawabnya (QS. Yunus: 89):

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Allah berfirman: Sesungguhnya telah dikabulkan doa kalian berdua. Karena itu, tetaplah kalian berdua di jalan yg lurus dan jangan sekali-kali mengikuti jalan orang-orang yg tak mengetahui.”

Dalam sebuah riwayat, Imam Ibnu Juraij (w. 150 H) mengatakan, “makatsa fir’aun ba’da hadzihid da’wah arba’îna sannah (Fir’aun bertahan setelah doa ini selama empat puluh tahun). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000, h. 942). Doa nabi yg telah digaransi pengabulannya saja memakan waktu perealisasian sampai empat puluh tahun. Itupun disertai dgn penekanan istiqamah (tetap di jalan yg lurus) dan jangan mengikuti jalan orang-orang yg tak mengetahui. Artinya, garansi “dikabulkan” tak membuat mereka diam. Mereka tetap terlibat dalam proses perealisasian doa tersebut. 

Selama ini kita memperlakukan doa sekedar sarana mengeluh. Menengadahkan tangan hanya di saat membutuhkan. Tentu hal itu baik dilakukan sebab Allah sendiri memerintahkannya. Namun, Allah menghendaki kita buat meluaskan wilayah doa kita, seperti yg dilakukan seseorang dalam kisah di atas. Ia berdoa memohon dimasukkan ke dalam golongan yg sedikit. Ternyata, golongan yg sedikit itu ialah orang-orang beriman (umat Nabi Nuh), orang-orang yg bersyukur, dan lain sebagainya. Mendengar penjelasan itu, Sayyidina Umar mengatakan, “setiap orang lebih paham agama dibandingkan Umar”.

Salah satu contoh perluasan wilayah doa ialah memohon ampunan Allah, sebab Dia sangat mau mengampuni hamba-hambaNya. Inilah bedanya meminta kepada sesama makhluk (manusia) dan meminta kepada Allah. Permintaan kepada manusia selalu diukur dgn bermacam hal, sebutlah kekerabatan, kesukaan terhadap yg meminta, hitung-hitungan timbal balik, kalkulasi pamrih dan lain sebagainya. 

Tapi Allah, Dia berkehendak mengampuni seluruh manusia, dan ampunan-Nya terbuka buat siapa saja yg memintanya. Tidak ada hitung-hitungan timbal balik; tak ada pertimbangan kesukaan; tak da kalkulasi keuntungan, dan seterusnya. Selama kita memohon ampunan, Dia mau memberikannya. Allah berfirman (QS. Ibrahim: 10): “yad’ûkum liyaghfira lakum min dzunûbikum” (Dia menyeru kalian buat mengampuni kalian dari dosa-dosa kalian). Ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki manusia buat memohon ampunanNya, tak sekedar meminta (berdoa) buat memenuhi kebutuhannya. (Imam Abu Bakr al-Thurthusyi, al-Du’â al-Ma’tsûr wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, 2002, h. 13).

Karena itu, kita jangan berdoa hanya meminta pemenuhan kebutuhan dan kemauan saja. Kita harus berdoa buat yg lainnya, seperti memohon ampunan, meminta kemampuan buat terus bersyukur, memohon dikuatkan dalam jalan kebaikan, dan lain sebagainya. Doa-doa semacam itu mau membuka banyak anugerah Allah lainnya. Misalnya doa memohon dikuatkan dalam kebaikan, dapat jadi kita mau diberikan kekayaan, sebab zakat, kedermawanan dan kemurahan hati ialah kebaikan, sehingga dapat saja semua itu mengikuti kita dari belakang, bukan kita yg mengejarnya di depan. Begitu pun dgn jenis doa lainnya.

Akhir kata, nasihat Sayyidina Abu Darda’ tentang berdoa perlu kita renungkan bersama:

عَنْ أَبِيْ قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، رَحِمَهُ اللهُ قَالَ: أُدْعُ اللهَ يَوْمَ سَرَّائِكَ لَعَلَّهُ يَسْتَجِيْبُ لَكَ يَوْمَ ضَرَّائِكَ

“Dari Abu Qilabah, dari Abu Darda’ rahimahullah, ia berkata: Berdoalah kepada Allah di waktu senangmu, semoga saja Dia mau mengambulkan (doa)mu di kala susahmu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 168)

Wallahu a’lam bish shawwab

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.