Â
Pada Jumat pertama Ramadhan kali ini, kata yg paling tepat terlontar dari lisan kita ialah “alhamdulillahâ€. Patut kita syukuri bahwa kita masih berjumpa dgn bulan paling agung dan berlipatnya keutamaan-keutamaan di dalamnya. Betapa banyak orang-orang yg tahun lalu bersuka cita merayakan lebaran, tapi sekarang telah terbujur di liang kuburan. Kita pun tak pernah tahu, kapan kita semua bakal menyusul mereka: setelah Ramadhan tahun ini ataukah di dalam Ramadhan ini? Yang dapat kita lakukan ialah memaksimalkan ikhtiar ibadah kita dalam setiap hari, setiap jam, setiap detik, pada bulan suci ini.
Hadirin hafidhakumullâh,
Dalam setiap literatur keagamaan kita hampir selalu dijumpai bahwa definisi puasa ialah al-imsâk, yg berarti menahan. Dalam ilmu fiqih, al-imsâk dimaknai sebagai menahan makan dan minum dan hal-hal yg membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Di dunia tasawuf, al-imsâk memiliki arti lebih dalam lagi, yakni menahan dari setiap hal yg membuat seorang hamba lalai dari Allah. Puasa ialah momentum penjernihan jiwa, penyucian batin, dan taqarrub kepada Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Â
“Setiap amal kebaikan yg dilakukan manusia mau dilipatgandakan dgn sepuluh kebaikan yg semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yg artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut ialah buat-Ku. Aku sendiri yg mau membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan sebab-Ku. Bagi orang yg berpuasa mau mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dgn Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yg berpuasa lebih harum di sisi Allah ketimbang bau minyak kasturi.†(HR Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, kata kunci dalam puasa ialah menahan atau mengendalikan. Puasa ialah madrasah bagi tiap individu buat tak hanya menahan diri dari makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perilaku yg mubazir, kemauan-kemauan yg tak penting, serta akhlak-akhlak tercela semacam tamak, angkuh, pamer, bohong, bangga diri, berfoya-foya, atau meremehkan orang lain.
Ibadah puasa Ramadhan merupakan wahana pendidikan rohani supaya kita piawai menahan diri dari godaan dan kuasa nafsu jasmaniah dalam berbagai bentuknya. Dengan begitu, para mukmin yg berpuasa diharapkan dapat meraih derajat lebih tinggi sebagai orang yg bertakwa (muttaqin). Pertanyaannya ialah sejauh mana kualitas kita dalam ikhtiar “menahan†(al-imsâk) itu?
Jamaah shalat Jum’at hafidhakumullâh,
Kenyataan yg sering kita jumpai, hadirnya bulan puasa Ramadhan selalu berbanding lurus dgn tingkat konsumsi di berbagai sektor. Di bulan Ramadhan, persediaan makanan cenderung bertambah ketimbang hari biasanya, barang-barang dagangan pun kian laris, dan pusat-pusat perbelanjaan kita ramai diserbu orang. Tiba-tiba saja harga kebutuhan pokok di pasar ikut naik. Kondisi ini bahkan telah berlangsung sejak sebelum memasuki awal bulan Ramadhan.
Selain sektor makanan dan minuman, peningkatan konsumsi juga terjadi pada “kebutuhan†sandang seperti baju koko, busana muslimah, sarung, mukena, peci dan seterusnya. Tradisi lebaran yg seolah menwajibkan warga Indonesia buat tampil serba baru membuat kebutuhan belanja mereka berlipat ganda. Belum lagi, mudik yg mensyaratkan para pelakunya buat memiliki kekayaan lebih, baik buat kebutuhan transportasi maupun saat di kampung halaman.
Tak ada masalah apabila apa yg diikhtiarkan memang benar-benar merupakan kebutuhan. Yang sangat tak dianjurkan ialah saat kita serius membelanjakan sesuatu yg sebatas “kemauanâ€. Di sinilah kita belajar membedakan antara kebutuhan dan kemauan. Pengeluaran yg hanya didasarkan pada nafsu, gengsi, atau pamer, tak layak disebut kebutuhan. Nah, puasa menjadi sarana penempaan seorang hamba supaya istiqamah bertahan (al-imsâk) di jalur kesederhanaan sebagaimana diteladankan Rasulullah. Puasa melatih manusia buat memenuhi kebutuhan-kebutuhan, bukan semata kemauan-kemauan.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’râf (31) kita juga diingatkan,
Â
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yg indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yg berlebih-lebihan.
Pesan “jangan berlebih-lebihan†pad ayat ini menjadi standar atau syarat setelah Allah mempersilakan anak cucu Adam buat berbusana dan memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Demikian, semoga Ramadhan kali ini kita sanggup lebih dari sebatas puasa jasmani, tapi juga puasa rohani, dalam pengertian sungguh-sungguh mengendalikan musuh terbesar manusia, yakni nafsu, buat memperoleh kebahagiaan hakiki kelak bersama Allah.
Khutbah II
Â
مَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا اَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكÙمْ بÙاَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى اÙنَّ اللهَ وَمَلآ ئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ اَبÙÙ‰ بَكْرÙوَعÙمَروَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ اَعÙزَّ اْلاÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ الْمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيْنَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ اَعْدَاءَ الدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ اÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتَن٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَاوَاÙنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! اÙنَّ اللهَ يَأْمÙرÙ بÙاْلعَدْل٠وَاْلاÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙ‰ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوااللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠اَكْبَر
(Alif Budi Luhur)
Â