Khutbah Jumat: Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj

Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ أَنْعَمَ عِبَادَهُ كَثِيْرَةً لَا تُحْصَى وَلَا تُسْتَقْصَى. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِدَنَا وَمَوْلَانَا محمدًا ﷺ قَائِدُ الْأَنْبِيَاءِ وَالْوَرَى. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا محمدٍ أَشْرَفِ عِبَادِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلِى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أما بعد

 

فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

 

قال الله تعالى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم، سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 

Ma’asyiral hadirin, jamaah Jumat hafidhakumullah,

Pada kesempatan yg mulia ini, di tempat yg mulia ini, kami berwasiat kepada pribadi kami sendiri dan juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dgn selalu berusaha melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Semoga usaha takwa kita dapat menjadikan sebab kita kelak pada waktu dipanggil Allah subhanahu wa ta’ala, kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatimah, amin ya Rabbal ‘alamin.

 

Hadirin hafidhakumullah,

Ketahuilah bahwa Allah ialah sang pencipta (khaliq) alam raya. Kita semua diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Antara Allah dan kita, mempunyai dimensi yg berbeda. Dimensi di sini tak berarti ruang dan tempat, namun dimensi dalam arti esensi. Analogi buat mendekatkan logika kita, misalnya kita sebagai manusia dgn jin, masing-masing mempunyai dimensi yg berbeda. Tapi jin di sini masih membutuhkan tempat, ruang dan waktu. Allah tak butuh itu semua. Allah tak membutuhkan apa pun.

 

Allah berada pada dimensi ilahi, kita berada pada dimensi insani. Kita diberikan penutup (hijab) antara Allah dan kita. Bukan sebab Allah jauh dgn kita yg menjadikan kita tak dapat melihat Allah. Allah sangat dekat dgn kita bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Kita tak dapat menyaksikan Allah sebab kita mempunya hijab sehingga kita tak dapat mengakses dimensi Allah. Walaupun demikian, Allah tetap dapat secara penuh mengawasi kita semua.

 

Allah menciptakan semua hamba baik dari kalangan jin maupun manusia dgn tujuan buat menyembah kepada-Nya. Dalam menyampaikan kehendak-Nya, Allah mengutus para Nabi yg di antaranya ialah Nabi Muhammad ﷺ buat menyampaikan risalah ilahiyah. Hikmahnya, manusia yg berada pada dimensi yg penuh hijab dan tak sama dgn dimensi Tuhan, dapat menjadi tahu atas apa yg dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara utusan-Nya.

 

Contohnya ialah bagaimana Allah memerintahkan umat Muhammad buat menjalankan ibadah shalat lima waktu. Kita sebagai manusia tak mau dapat memahami atas apa yg dikehendaki oleh Allah tersebut tanpa melalui rasul (utusan Allah) yg menyampaikan informasi-informasi penting. Barulah kemudian kita menjadi tahu bahwa misalnya Allah menghendaki kita sebagai umat manusia diperintah secara wajib buat menjalankan shalat lima waktu.

 

Kewajiban shalat lima waktu ini dimulai setelah Nabi Muhammad ﷺ di-isra’kan (diperjalankan oleh Allah di waktu malam) dari Masjidil Haram, kota Makkah menuju Masjidil Aqsha, Palestina, kemudian di-mi’raj-kan (dinaikkan) dari Masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha. Perjalanan malam Nabi Muhammad ini merupakan perjalanan yg menakjubkan. Betapa tak? Jika kita sehari-sehari mengungkapkan syukur menggunakan kalimat alhamdulillah, mendapatkan musibah dgn innalillah, di dalam sebuah hal yg menakjubkan, kita disyariatkan buat membaca subhanallah. Di dalam Al-Qur’an, pada kisah isra’ mi’raj ini Allah berfirman menggunakan kata subhana sebagaimana yg tertera pada ayat pertama surat al-Isra’:

 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 

Artinya: “Maha Suci Allah, yg telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yg telah Kami berkahi sekelilingnya supaya Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia ialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-Isra’: 1).

 

Pada kalimat سُبْحَانَ الَّذِي, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, kalimat subhâna di sini menunjukkan saking agungnya Allah ta’ala. Hanya Allah saja yg mampu menjalankan Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Palestina dan Palestina sampai langit ke-7 hanya dalam waktu tak sampai satu malam. Bahkan dalam satu riwayat mengisahkan, setelah Nabi Muhammad melakukan isra’ mi’raj, tempat tidurnya masih hangat dan tempayan bekas Nabi melakukan wudhu tadi belum sampai kering. Ini ialah keajaiban yg luar biasa. Hanya Allah yg dapat melakukan yg mana bumi dan seisinya di bawah kendali-Nya. Keajaiban yg mencengangkan tersebut sangat sesuai bila memakai kata subhana. Tentang suhana, Ibnu Katsir mengatakan:

 

يُمَجِّدُ تَعَالَى نَفْسَهُ، وَيُعَظِّمُ شَأْنَهُ، لِقُدْرَتِهِ عَلَى مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ أَحَدٌ سِوَاهُ، فَلَا إِلَهَ غَيْرُهُ

 

Artinya: “Allah ta’ala mengagungkan Dzat-Nya sendiri, mengagungkan keadaan-Nya, sebab kekuasaan-Nya atas sesuatu yg tak mampu dilakukan siapa pun selain Dia. Tiada Tuhan selain Dia.” (Abul Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Dar Thayyibah: 1999], juz 5, hlm. 5).

 

Ats-Tsa’labi menyatakan bahwa kalimat subhana berarti kalimat ta’ajjub

 

وَيَكُوْنُ سُبْحَانَ بِمَعْنَى التَّعَجُّب

 

Artinya: “Subhana di ayat ini mempunyai arti sebuah keajaiban yg menakjubkan.” (Tafsir Ats-Tsa’labi, juz 6, hlm. 54).

 

Banyak juga ulama yg menjelaskan, subhana pada ayat ini mempunyai makna penyucian dari segala kekurangan. Apabila dalam menjajaki kemampuan Allah dalam memperjalankan Nabi Muhammad pada malam hari dgn acuan akal yg terbatas sehingga Allah dianggap tak mampu, maka Allah disucikan dari anggapan yg seperti demikian ini.

 

Hadirin…

Dalam isra’ mi’raj, apakah hanya ruh Nabi ataukah ruh dan jasadnya sekaligus? Ulama berbeda pendapat.

 

Menurut mayoritas ulama, Nabi di-isra’-kan meliputi ruh dan jasad sekaligus. Hal ini berdasarkan apabila yg di-isra’-kan hanya ruh saja, berarti Nabi Muhammad sama dgn mimpi. Jika isra’ hanya sebuah mimpi saja, maka hal tersebut tak merupakan kejadian luar biasa yg sampai Allah memakai istilah subhana pada ayat di atas. Yang membuat fenomenal pada kegiatan isra’ mi’raj Nabi itu keajaiban perjalanan dgn ruang yg besar, namun waktunya sedemikian singkat. Ini yg luar biasa itu.

 

Hadirin hafidhakumullah,

Pada kalimat selanjutnya, أَسْرَى بِعَبْدِهِ Allah tak menyandarkan kalimat subhâna dgn lafadz Allah, tapi dgn asra, kebesaran Allah yg menjalankan di waktu malam kepada hamba-Nya. Di sini Allah juga tak menyebut Nabi Muhammad dgn menyebut namanya, tapi malah menyifati Nabi Muhammad yg diperjalankan di waktu malam memakai istilah عَبْدِهِ “hamba-Nya”.

 

Kenapa Allah lebih memilih memberi label Nabi Muhammad hanya dgn predikat “hamba” padahal ini merupakan kejadian yg fenomenal? Sebagian mufassir seperti Imam Al-Qusyairi mengatakan, hanya “hamba” yg memahami posisinya sebagai hamba yg dapat memahami kebesaran Tuhannya. Sehingga apabila Tuhan melakukan apa pun, walaupun tak masuk akal di otak hambanya, ia dapat memahami bahwa bagi Tuhan yg posisinya tak sama dgn hamba, mampu melakukan hal yg seolah mustahil di mata hambanya tersebut.

 

Sebagian ulama menyatakan, peniadaan status Nabi Muhammad sebagai Nabi yg prestise di sini supaya Nabi Muhammad tak mempunyai sifat ujub. Sebagian ulama lain lagi mengungkapkan, hal ini buat mengagungkan Allah semata dan sebagai bentuk tawadhu’ Nabi Muhammad.

 

Hadirin hafidhakumullah,

Perjalanan Nabi pada isra’ mi’raj bukan atas inisiatif dan kemauan beliau, tapi murni atas kehendak Allah “yg menjalankannya”. Oleh sebab itu, masuk akal atau tak, bagi seorang hamba harus mengedepankan posisinya sebagai hamba dan mengagungkan ketuhanan Allah yg mampu melakukan apa saja dan hamba tersebut menomorduakan akalnya yg serba terbatas.

 

Kalau kita menengok sejarah, memang orang Arab waktu itu tak semuanya dgn mudah memahami isra’ mi’raj Nabi Muhammad dgn landasan logika saja. Mungkin, apabila dilogikakan hari ini, di saat dunia telah banyak kecanggihan teknologi, kita mau dapat mendekatkan pikiran ke arah sana. Dahulu, saat isra’ mi’raj ini berlangsung, masyarakat terlampau jauh buat menganalogikannya. Bagaimana jarak antara Makkah sampai Palestina yg panjangnya sekitar 1.500 km itu hanya ditempuh dalam waktu sangat singkat?

 

Di dunia modern ini, jarak yg sedemikian jauh, bila ditempuh dgn naik unta atau kuda dapat berminggu-minggu, kita dapat meringkasnya dgn pesawat yg mungkin hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam saja. Lebih dekat lagi, bagaimana kalau kita membaygkan teori jalannya cahaya. Pada hari ini, kita di Indonesia bila mau ke Amerika menggunakan pesawat dapat menghabiskan seharian baru sampai di sana. Namun bagaimana dgn kecepatan teknologi telepon atau Whatsapp? Pada detik ini kita mengirim pesan baik gambar, tulisan atau suara, detik itu pula sampai ke sana. Dengan logika apa pun, mungkin hal seperti ini tak mau masuk pada logika orang di zaman Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, dalam urusan agama walaupun agama itu banyak yg rasional, tapi kita tetap harus memposisikan otak kita di belakan penghambaan kita kepada Allah.

 

Perjalanan malam Nabi Muhammad yg fenomenal itu menghasilkan sebuah perintah shalat lima waktu dgn kisah yg cukup panjang. Yang perlu kita garisbawahi di sini, shalat ialah sebuah perintah yg melalui momen sakral, fenomenal. Oleh sebab itu kita harus malu bila sampai meninggalkan shalat.

 

Kita selalu mengingat dan merayakan sesuatu dalam rangka mengingat momen-momen penting dan fenomenal dalam hidup kita. Kita lahir, sebuah hal fenomenal dalam hidup kita, kita rayakan itu. Momen menikah yg fenomenal, kita kenang itu. Lalu Nabi Muhammad pernah mengalami suatu kejadian fenomenal dari Allah. Dalam kejadian fenomenal tersebut, Allah mewajibkan kita semua buat menjalankan shalat lima waktu.

 

Dengan demikian, shalat lima waktu bukanlah hal yga sepele seperti kita beli makanan ringan, kita sarapan pagi, tak. Tapi sebuah pekerjaan yg ditugaskan oleh Tuhan melalui perjalanan fenomenal buat menerima tugas tersebut. Pada hari ini, saat kita menjalankan shalat, kita sedang menjalankan perintah Tuhan yg sangat besar nilainya. Itu berarti bahwa shalat bukan hal yg dapat kita kesampingkan.

 

Mari kita jaga shalat kita. Harapan kita, kelak, saat kita meninggalkan dunia ini, dalam keadaan menetapi iman Islam, tak meninggalkan shalat. Kita meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah, amin ya Rabbal alamin.

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)

 

وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ 

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

 

أَمَّا بَعْدُ، فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينْ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

 

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.