Kisah Nabi Muhammad Menindak Tegas Pelaku Zina

Kita tak dapat menafikan bahwa Rasulullah saw ialah sosok pemimpin yg lemah lembut terhadap umatnya. Namun di sisi lain ia juga merupakan pribadi yg tegas dan objektif dalam mengambil keputusan. Banyak catatan sejarah yg berbicara soal ini, salah satunya ialah ketika Rasulullah merajam pelaku zina yg bernama Ma’iz bin Malik, dgn tanpa mengurangi belas kasih dalam dirinya.

Sebelum mengisahkan seperti apa detail kisah Rasulullah bersikap tegas menindak Ma’iz bin Malik, terlebih dahulu penulis singgung bahwa zina merupakan dosa yg sangat besar. Banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun hadits yg secara tegas mengharamkan perbuatan zina. Salah satunya ialah firman Allah swt berikut,

 

وَلُوطًا آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ تَعْمَلُ الْخَبَائِثَ ۗ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَاسِقِينَ

Artinya: “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yg telah menimpa penduduk) kota yg mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka ialah kaum yg jahat lagi fasik.” (QS. Al-Anbiya [21]: 74)

Penggunaan kata al-khaba’its buat menyebut perbuatan zina merupakan bukti yg jelas bahwa zina ialah perbuatan keji. Secara bahasa, kata al-khaba’its sendiri berarti kotoran atau najis. Hukuman bagi pelaku zina dalam Islam pun sangat berat. Jika pelakunya telah memiliki istri (muhshan), hukumannya dirajam sampai meninggal. Sementara bila pelakunya belum menikah (ghairu muhshan), hukumannya dicambuk sebanyak 100 kali.

Berkaitan ayat di atas, Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, alasan mengapa perbuatan zina (termasuk praktik sodomi) pada ayat di atas menggunakan kata al-khaba’its ialah sebab perbuatan tersebut dinilai sebagai dosa yg paling besar di bawah level dosa syirik atau menyekutukan Allah (dosa syirik merupakan dosa yg tak terampuni).

Ibnul Qayyim melanjutkan, alasan zina mendapat predikat dosa paling besar di bawah perbuatan syirik ialah sebab zina dapat merusak hati dan melemahkan keimanan seorang Muslim. Jika najis zahir (yg tampak) dapat mengotori tubuh, maka perbuatan zina sebagai najis ma’nawai dapat merusak hati. (Muhammad Hamdun Abdullah, Al-Manjahul Akhlaqi fil Qur’anil Karim, h. 249-250)

Kisah Ma’iz bin Malik

Sebagai seorang Nabi yg amanah, beliau mau menegakkan hukum seadil-adilnya. Kendati hal itu terjadi pada orang yg beliau sendiri mengasihinya. Seperti kisah Ma’iz bin Malik yg berbuat zina. Rasulullah sebenarnya tak begitu tega merajam sahabat yg satu ini, belum lagi sebab keberanian dan kejujurannya dgn menyerahkan diri ke Rasulullah atas dosa yg telah dilakukannya. Tapi bagaimana pun, hukum harus ditegakkan.

Diriwayatkan dari Buraidah, M’aiz bin Malik datang menemui Rasulullah saw dan berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Apa-apan kamu ini! Pulang dan mintalah ampun serta bertaubat kepada Allah!” Ma’iz pun pergi, belum lama kemudian dia kembali dan berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab sebagaimana jawaban yg pertama. 

Hal itu terjadi berulang-ulang, sampai pada keempat kalinya Rasulullah bertanya, “Dari apa kamu harus aku sucikan?” Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.”

Rasulullah pun bertanya kepada sahabat lain yg ada di situ, “Apakah Ma’iz ini mengindap penyakit gila?” Lalu dijawab bahwa Ma’iz tak gila. Beliau bertanya lagi, “Apakah Ma’iz meminum khamr?” Salah seorang kemudian berdiri buat mencium bau mulutnya, namun tak ada bau khamr. Beliau kemudian bertanya kepada Ma’iz, “Betulkah telah berbuat zina?” Ma’iz menjawab, “Ya, benar.”

Kemudian, Rasulullah menyuruh para sahabat buat ditegakkan hukum rajam terhadap Ma’iz hingga akhirnya ia meninggal. Pasca kewafatannya, orang-orang terpecah dalam dua pendapat mengenai kesan terhadap Ma’iz. Sebagian orang mengatakan bahwa Ma’iz telah celaka akibat dosa yg telah diperbuatnya. 

Sementara sebagian yg lain memiliki kesan positif bahwa Ma’iz merupakan orang yg beruntung sebab telah bertaubat dgn taubat yg sangat baik, yaitu dgn mendatangi Rasulullah, mengakui kesalahannya dan ikhlas buat menjalani hukuman rajam.

Sampai selang tiga hari pasca kematian Ma’iz, kedua kubu itu masih dalam pendapatnya masing-masing. Hingga akhirnya Rasulullah meminta mereka buat memohon ampunan kepada Ma’iz. Lalu beliau bersabda, “Sungguh Ma’iz telah bertaubat dgn sempurna, dan seandainya taubatnya dapat dibagi buat satu kaum, pasti taubatnya mau mencukupi seluruh kaum tersebut.”

Hikmah kisah

Dari kisah Ma’iz di atas, kita dapat mengambil banyak pelajaran atas ketegasan Rasulullah terhadap pelaku zina. Pertama, meskipun hati beliau begitu lembut, apalagi kepada seorang Muslim yg mau secara terang-terangan mengakui kesalahannya seperti yg dilakukan Ma’iz, tetapi Rasulullah tetap berkomitmen buat memberlakukan hukum seadil-adilnya. 

Kedua, dalam menjatuhi hukuman, tetaplah mengedepankan sikap kasih sayg. Sebelum Rasulullah menegakkan hukum rajam pada Ma’iz, terlebih dulu beliau bertanya kepada para sahabat buat memastikan bahwa Ma’iz benar atas pengakuannya. Ini membuktikan bahwa Rasulullah tetap mengedepankan belas kasihan, sekalipun terhadap seorang pelaku zina.

Ketiga, sebesar apapun kesalahan orang lain, tetap harus kita maafkan bila si pelaku telah meminta maaf. Jangan sampai sebab dendam, membuat kita enggan memaafkan. Sikap Nabi dalam memaafkan Ma’iz yg telah melakukan dosa besar memiliki pesan moral bahwa sebesar apapun kesalahan seseorang, tetap harus kita maafkan. Bahkan Nabi sendiri menegaskan bahwa taubat Ma’iz merupakan pertaubatan yg sangat baik.

Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.