Kisah Ulama Jahiliyah dalam Berfatwa

Ini kisah tentang seorang musyrik (penyembah berhala) pada masa Jahilyah (sebelum Islam). Seorang musyrik itu bernama Amir bin Zharib Al-Adawani, seorang tokoh di tengah masyarakat Jahiliyah. Dia selalu dijadikan tempat bertanya bila terjadi perselisihan di tengah masyarakat.

Pada suatu hari, salah satu kabilah Arab datang kepada Amir. Mereka punya masalah yg membutuhkan jawaban (fatwa) dari Amir.

 

Mereka bercerita kepada Amir, “Kami punya seorang budak yg memiliki dua alat kelamin.  Kami mau mewariskan budak ini, tapi kami tak tahu, apakah dia laki-laki atau perempuan?”

Amir bingung, tak dapat menjawab. Selama empat puluh hari dia diam, tak memberikan jawaban dan tak tahu harus berbuat apa kepada tamunya yg masih bertahan di rumahnya. Kebetulan Amir memiliki budak perempuan bernama Sakhilah yg bekerja menggembala hewan ternak milik Amir.

Di hari keempat puluh, Sakhilah mengabarkan kepada Amir bahwa tamu-tamunya telah menghabiskan banyak hewan ternaknya sebagai santapan mereka. Tinggal beberapa ekor saja yg tersisa.

 

Amir menyuruh Sakhilah pergi buat menggembala ternak saja. Tapi, Sakhilah mendesak Amir, “Ada apa?” Amir lantas menceritakan pertanyaan di atas kepada Shakilah, dan dia merasa tak mampu menjawab (memberikan fatwa).

Tak diduga, Sakhilah memberikan solusi yg jitu, “Tuan, kenapa Anda bingung? Ikuti saja budak mereka itu (yg memiliki dua alat kelamin) ketika dia buang air kecil. Jika budak itu buang air kecil dari alat kelamin laki-laki, maka dia laki-laki. Jika dia buang air kecil dari alat kelamin perempuan, maka dia perempuan.”

“Luar biasa. Kamu benar-benar cerdas. Kamu sungguh telah membantu saya menjawab pertanyaan itu. Sapere aude!” ujar Amir kepada Shakilah.

Amir lantas memberikan jawaban tersebut kepada kabilah yg datang dan menginap selama empat puluh hari di rumahnya. Mereka pun puas dgn jawaban tersebut.

Imam Al-Auzai mengomentari kisah tersebut, “Laki-laki musyrik itu (Amir bin Zharib Al-Adawani) tak mengharap surga, tak takut neraka dan tak menyembah Allah. Tapi, buat menjawab satu pertanyaan (memberikan fatwa), dia butuh menahan diri selama empat puluh hari.

“Orang yg mengharap surga, takut neraka dan menyembah Allah, seharusnya lebih berhati-hati lagi dalam memberikan fatwa buat satu pertanyaan yg berhubungan dgn urusan agama Allah.”

Kisah ini dinukil dari Kitab Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. Wallahu a’lam.

 

KH Muhammad Taufik Damas, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.