Konsepsi Darurat dalam Sistem Ekonomi Perbankan Syariah

Terkadang sebab faktor kebutuhan darurat, seseorang melakukan hal-hal yg sejatinya dilarang oleh nash syara’. Islam pun menjamin kebolehan mau hal tersebut, selagi dalam batas-batas kewajaran dan sebatas upaya mempertahankan hidup. Bangkai yg semula haram, diperbolehkan bagi orang yg tak menemukan makanan apa pun selain itu. Sudah umum berlaku kaidah di kalangan para pengaji fiqih, bahwa bahaya harus dihilangkan. Sementara itu buat menghilangkan unsur bahaya, berlaku kaidah:

الضرورة تبيح المحظورات

“Kondisi darurat memaksa diperbolehkannya hal yg dilarang”

Bagaimana bila hal itu diterapkan pada kondisi darurat, namun dgn objek yg memiliki sifat hukum makruh atau setaknya khilâful aula (menyelisihi pendapat yg utama)? 

Jawabnya, tentu dalam hal ini lebih diperbolehkan dibanding buat kasus yg pertama di atas. Karena ada kaidah: 

ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها

“Apa saja yg diperbolehkan sebab darurat, ditentukan menurut kadar bahayanya.”

Syekh Muhammad Mushthafa Al-Zuhaily, seorang ulama kontemporer abad ini, yg bermukim di Damaskus, dalam kitabnya al-Qawâ‘idul Fiqhiyyah wa Tathbîqatiha fil Madzâhibil Arba’ati: 1/281 menjelaskan bahwa:

هذه القاعدة قيد لقاعدة” الضرورات تبيح المحظورات “للتنبيه على أن ما تدعو إليه الضرورة من المحظور إنما يرخص منهالقدر الذي تندفع به الضرورة فحسب، فإذا اضطر الإنسان لمحظور فليسله أن يتوسع في المحظور، بل يقتصر منه على قدر ما تندفع به الضرورة فقط، فالاضطرار إنما يبيح المحظورات بمقدار ما يدفع الخطر

Artinya: “Kaidah ini bermanfaat buat membatasi penerapan kaidah ‘al-dlarûrâtu tubîhu al-mahdhûrât”, berfaedah memberikan tanbih (peringatan) bahwasannya hal-hal yg dilarang syara’ namun sebab adanya darurat, ialah hanya dirukhshah menurut kadar dapatnya menolak kedaruratan tersebut. Ketika seseorang terpaksa melakukan perkara yg dilarang syara’, maka baginya tak boleh membuat-buat keluasan di dalam perkara tersebut, melainkan dicukupkan sekedar mampu menolak bahaya saja. Pembolehan ini hanya cukup buat menolak kekhawatiran.”

Tidak membuat-buat keluasan dalam perkara yg dilarang syara’ ini maksudnya ialah tak berlebih-lebihan dalam menggunakan hal yg dilarang tersebut, ialah dgn batasan hilangnya rasa “kekhawatiran” sehingga “hidupnya” terselamatkan. Bila rasa kekhawatiran ini telah hilang, maka hilang pula ‘illah (alasan) hukum rukhshah (keringanan)-nya. 

Intinya ialah bahwa konsep darurat ini berlaku buat mempertahankan “eksistensi” atau “hak hidup”. Selama ini, wacana yg sering kita temukan ialah bahwa hak hidup itu adanya pada manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa mempertahankan hak hidup manusia dalam situasi dlarurat itu ialah boleh bahkan wajib. Misalnya suatu misal ada orang yg melaksanakan sholat, di tengah sholatnya ia melihat ada anak kecil lari menuju ke tempat yg berbahaya. Apa yg harus dilakukan oleh orang tersebut? Padahal membatalkan sholat hukumnya ialah haram. Ternyata, kitab turats menyebutkan bahwa menyelamatkan nyawa anak kecil tersebut hukumnya ialah wajib, sehingga orang tersebut juga wajib membatalkan sholatnya. Ini merupakan konsistensi fiqih buat kasus darurat, dan bukan merupakan sebuah alasan yg dicari-cari buat melaksanakan perkara yg dilarang. 

Seiring pembahasan hak hidup, maka bolehkah bila konsep pertahanan “hak hidup” ini kita bawa dan diterapkan buat sebuah lembaga atau perseroan? Maka dalam hal ini, kita tak boleh serta merta menjawabnya “tak boleh”. Mengapa, sebab dgn jawaban tersebut, kita sebenarnya justru terjebak di dalam ketakkonsistenan konsep “dlarurat”. 

Dalam terminologi qiyas, kita dibenarkan buat menganalogikan sebuah kejadian dgn kejadian lainnya selagi rukun qiyasnya terpenuhi. Imamuna Al-Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Al-Syairazy dalam kitab Thabaqatu al-Fuqaha’: 71, beliau menjelaskan:

وَ مَنْ تَنَازَعَ ِممَّنْ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ ص رَدَّ اْلاَمْرَ اِلىَ قَضَاءِ اللهِ ثُمَّ قَضَاءِ رَسُوْلــِهِ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْمَا يَتَنَازَعُوْنَ فِيْهِ قَضَاءٌ نَصًّا فِيْهِمَا وَلاَ فِى وَاحِدٍ مِنْهُمَا رَدُّوْهُ قِيَاسًا عَلَى اَحَدِهِمَا

“Barang siapa berselisih pendapat setelah wafatnya Rasulillah SAW, maka [hendaknya] mengembalikan perkara [yg diperselisihkan] tersebut kepada ketentuan Allah SWT, kemudian ketentuan Rasul-Nya. Jika ia tak menemukan ketetapan hukum sebagaimana yg diperselisihkannya tesebut di dalam keduanya, atau salah satu dari keduanya, maka [hendaknya] mereka mengembalikan hukum tersebut dgn qiyas berdasar salah satu dari keduanya.”

Beliau Imam Syafi’i menyarankan supaya kita menggunakan qiyas buat kasus-kasus baru yg timbul yg memungkinkan terjadinya perselisihan di kalangan fuqaha’ zamannya. Lantas di mana unsur kesamaan antara pertahanan “hak hidup” manusia dgn “hak hidup sebuah lembaga”? Dalam konsep ini, kita perlu memilah terlebih dahulu soal lembaga yg wajib kedudukannya dipertahankan. Karena hidup manusia hukumnya wajib dijaga, maka alasan utama wajibnya pertahanan eksistensi lembaga ialah bila lembaga tersebut juga berstatus“wajib keberadaannya” serta menguasai hajat hidup orang banyak. 

Kita tentu tak dapat meng-qiyas-kan kedudukan penjagaan hak hidup manusia dgn penjagaan eksistensi lembaga-lembaga yg sifatnya temporer, yg tak menjamin khalayak, atau lembaga yg ada atau ketiadaannya sama sekali tak dibutuhkan bahkan tak berpengaruh besar terhadap hajat orang banyak. Mengapa? Karena status hukum mempertahankannya tak sepadan dgn kewajiban penjagaan eksistensi hidup manusia. 

Adapun lembaga yg wajib dijaga, misalnya eksistensi lembaga ekonomi syari’ah. Keberadaan lembaga ini status hukumnya ialah wajib eksistensinya, sebab ia merupakan wadah pelaksana mewujudkan sistem keuangan bebas riba (zero riba). Penyamaan penjagaan eksistensi ini dapat diqiyaskan dgn penjagaan eksistensi manusia, sebab sama-sama wajibnya. 

Dengan demikian, dimana letak relevansi konsepsi darurat sebagaimana diuraikan di muka? 

Bila kita sepakati bahwa eksistensi lembaga keuangan atau lembaga ekonomi syari’ah ini sebagai yg wajib dijaga, maka dalam beberapa hal terkait dgn hukum darurat sejatinya juga dapat berlaku buat lembaga ini. Mengingat hajat yg dipayunginya ialah umat Islam, maka produk hukum yg dijadikan landasan, tentunya tak boleh sampai menjurus ke perkara yg benar-benar haram. Paling tak statusnya ialah makruh, atau khilaful aula (menyelisihi pendapat yg utama).

Suatu misal penerapan akad salam (pesan) dalam lembaga keuangan syariah. Aplikasi akad ini secara tak langsung menjadi berganda. Bagaimana tak? Di satu sisi, pihak perbankan mengadakan akad dgn nasabah selaku pemesan, namun di sisi yg lain ia melakukan akad dgn pihak pemasok, seperti dealer, supplier, atau pihak ketiga lainnya. Bagaimana penerapan akad salam ini di perbankan syari’ah? Ternyata perbankan syari’ah menggunakan akad ini buat membuat skema pembiayaan kepada petani dalam jangka waktu yg relatif pendek, yaitu 2 – 6 bulan. 

Skema pembiayaan Bank ke petani ini dimaksudkan buat menggantikan sistem kredit dgn bunga bank yg selama ini dianggap riba. Prosesnya, seorang petani yg kesulitan biaya produksi pertanian mendatangi Bank buat memperoleh pinjaman modal. Selanjutnya, Bank melakukan survei ke lokasi pertanian petani buat memastikan ketersediaan lahan dan memastikan komuditas apa yg mau ditanam oleh petani. Berikutnya Bank memesan semua hasil komuditas yg mau ditanam oleh petani buat dibeli dgn bank melakukan pembayaran di muka. Karena pihak Bank telah memesan semua produk hasil pertanian Si Petani, maka buat pemasarannya, Bank menjalin kerjasama dgn perusahaan yg mau membeli produk tersebut dgn akad salam. Setelah masa panen tiba, petani menjual semua produknya ke bank syariah yg memberinya modal, lalu Bank menjualnya ke perusahaan yg telah memesan produk tersebut sebelumnya. Dari hasil penjualan, pihak Bank mendapatkan keuntungan yg dibagi bersama dgn petani melalui bai’murabahah. Bai’ murabahah ialah jual beli barang sesuai harga aslinya dgn tambahan keuntungan yg disepakati.

(Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah)

Sampai di sini, bila kita teliti mekanisme dan alur pinjaman Bank Syariah ke Petani, sejatinya terdapat beberapa persoalan yg menygkut akad syariah. Akad ini dalam pandangan fiqih statusnya masih diperselisihkan, namun pendapat yg kuat (rajih) menyatakan ketakbolehannya. Berikut ini merupakan daftar yg diperselisihkan itu:

1. Peran Bank selaku makelar produk

2. Pembelian dgn pembayaran di muka sebelum masa tanam yg diatasnamakan akad salam

3. Meminjami modal dgn kewajiban si petani menjual komuditas panennya ke pihak yg meminjami

4. Nisbah rasio keuntungan dari akad bai’ murabahah yg dibagi antara pihak Bank dan Petani yg tak ma’lum oleh Si Petani.

Keempat persoalan ini dianggap sebagai legal oleh Bank Syariah, dan halal, meskipun menselisihi pendapat/qaul ulama yg rajih dan telah menyatakan larangannya. Sebagai contoh ulasan, kita ambil salah satu, yakni kupasan akad salam dalam kitab Turats. 

Dalam kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh V/269, disebutkan:

واتفق أئمة المذاهب على أن السلم يصح بستة شروط: وهي أن يكون في جنس معلوم، بصفة معلومة، ومقدار معلوم، وأجل معلوم، ومعرفة مقدار رأس المال وتسمية مكان التسليم إذا كان لحمله مؤنة ونفقة

Artinya: “Para imam madzhab sepakat bahwa sahnya akad salam ialah disebabkan terpenuhinya 6 syarat, yaitu bila 1) jenis, 2) sifat barang, 3) kadar, 4) tempo pesanan seluruhnya diketahui, dan 5) mengetahui besarnya modal, serta 6) menyebutkan tempat penyerahan apabila buat membawa pesanan tersebut membutuhkan adanya biaya serta nafaqah [kendaraan].

Berdasarkan kriteria syarat ini, maka ada beberapa syarat yg tak terpenuhi dalam akad salam tersebut, antara lain: sifat barang yg dipesan saat akad salam dilangsungkan dan kadar barang yg dipesan. Jangankan kadar, menanam saja belum. Namun, pihak Bank Syariah berani menerapkan kebolehannya sebab adanya pendapat sebagian kecil ulama yg hanya mensyaratkan ra’sul al-mâl (modal) dan al-muslam fîh (barang yg dipesan). Dalam hal ini ada banyak perbedaan. 

Demikian juga terhadap seberapa besar ujrah samsarah (makelar) juga tak disebutkan secara jelas. Terkait dgn hal ini, para ulama masih memperselisihkan terhadap kebolehannya. Meski demikian, sebagian besar ulama masih memperbolehkan akad samsarah kendati tak diketahui berapa besar ujrah yg bakal diberikan. Sebagaimana dikutip dalam kitab al-Madzahib al-Arbaah: 3/129:

ومن ذلك أجرة السمسار والدلال. فإن الأصل فيه عدم الجواز لكنهم أجازوه لحاجة الناس إليه

Artinya: “Sebagian dari permasalahan tersebut ialah gaji makelar dan pemberi rujukan (yg tak diketahui), sebab sesungguhnya dalil asal ialah tak membolehkan. Kendati demikian, para ulama masih mentolerirnya sebab faktor kebutuhan manusia kepada jasa makelar.”

Pada kasus darurat, tak diketahuinya upah selaku makelar ini masih dapat ditolerir sebab adanya perhitungan upah atas dasar upah mitsil (upah standar). Padahal pendapat yg terkuat ialah ketakbolehannya mengangkat makelar tanpa diketahui upahnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj: 3/431:

ثم شرع في الركن الرابع، وهو الجعل، فقال: (ويشترط) لصحة الجعالة (كون الجعل) مالاً (معلوماً) لأنه عوض كالأجرة، ولأنه عقد جوز للحاجة، ولا حاجة لجهالة العوض

Artinya: “Selanjutnya rukun yg keempat ialah upah. Mushannif berkata: Disyaratkan buat syarat sahnya ju’alah ialah adanya upah harta yg diketahui sebab sesungguhnya ‘iwadl merupakan ujrah. Karena sesungguhnya suatu akad diperbolehkan ialah sebab adanya hajat. Tidak ada hajat bagi orang yg tak mengetahui upah.”

Sementara dalam kasus darurat, yaitu kasus di mana upah makelar tak diketahui, maka cara penyelesaian upah dikembalikan kepada adat kebiasaan, yaitu ujrah mitsil. 

Namun, apakah hal ini dibenarkan oleh syara’? Dan sampai kapan, kasus ujrah mitsil bagi makelar ini dapat berlangsung dalam situasi darurat? Ini persoalan yg lumayan rumit buat diselesaikan dan membutuhkan pemikiran semua pihak dgn tetap mempertimbangkan hajat nol riba (zero riba) dan kondisi persaingan antara bank/lembaga keuangan syariah dan lembaga konvensional. Dan sesulit apapun permasalahan, hal itu tak boleh membuat eksistensi lembaga sebagai yg harus ditiadakan, mau tetapi harus dibantu dgn disertai solusi hukum menurut manhaj Syafi’i yg berlaku di Indonesia.

Wallahu a’lam

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.