Larangan Memasung & Mengasingkan Penyandang Disabilitas

Masalah pemasungan orang dgn gangguan mental di Indonesia masih dapat ditemui di berbagai daerah, atau mungkin di lingkungan dekat kita. Human Right Watch (HRW) menyatakan dalam rilisnya, meski jumlahnya menurun, pemasungan penyandang disabilitas mental ini masih merupakan pilihan yg dilakukan kebanyakan masyarakat.

 

HRW mengutip keterangan dari Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, bahwa orang yg dipasung dan dibelenggu dalam ruang terbatas telah mengalami penurunan jumlah kejadian. Per Juli 2018, angka pemasungan di 32 provinisi di Indonesia berada pada angka 12.832 kejadian, menurun dibandingkan 13.528 per Desember 2017.

 

Agaknya, pemasungan atau pembelengguan di ruang terbatas ini tak terjadi pada orang dgn disabilitas mental saja. Bahkan masih dapat ditemui di sekitar kita, orang dgn disabilitas fisik dikungkung di rumah dan kurang mendapat respek dari keluarga. Diskriminasi disabilitas fisik, juga dapat memicu keputusasaan yg depresif bagi penyandangnya.

 

Pemasungan dan pembelengguan di ruang terbatas ini mencakup perawatan di panti sosial, rumah sakit jiwa, serta pusat rehabilitasi berbasis agama yg membatasi ruang ekspresi dan sosialisasi para penyandang disabilitas mental maupun fisik. Sebenarnya, bagaimana sudut pandang hukum atau ajaran Islam atas pemasungan dan pembelengguan tersebut?

 

Dalam Al-Qur’an, salah satu ayat yg menjadi ajakan pemenuhan hak sosial penyandang disabilitas tercantum dalam Surat An-Nur ayat 61:

 

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا…

 

Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang buta tak (pula) bagi orang pincang, tak (pula) bagi orang sakit; dan tak (pula) bagi diri kamu makan di rumah kamu, atau di rumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudara-saudara kamu yg laki-laki, di rumah saudara kamu yg perempuan, di rumah saudara bapak kamu yg laki-laki, di rumah saudara bapak kamu yg perempuan, di rumah saudara ibu kamu yg laki-laki, di rumah saudara ibu kamu yg perempuan, di rumah yg kamu miliki kuncinya atau kawan kamu; Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau berpisah-pisah…”

 

Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an yg dikenal dgn Tafsir ath-Thabari, menyebutkan bahwa asbabun nuzul ayat tersebut ialah dahulu orang-orang Anshor di Madinah sebelum hadirnya Nabi Muhammad, sering merasa risih dgn orang-orang buta dan lumpuh, yg hemat mereka tak mau dapat ikut menikmati makanan sebagaimana mereka lakukan. 

 

Mereka berpikir mau lebih baik buat menyendirikan makanan orang-orang cacat itu dibanding makan bersama. Dari sikap diskriminatif inilah, Allah menurunkan Surat An-Nur ayat 61, menyatakan bahwa tak ada masalah buat orang-orang buta dan lainnya buat makan bersama mereka (Imam at Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran [Beirut: Muassasah ar-Risalah], jilid 19, hal. 219 – keterangan serupa dapat ditemukan dalam tafsir-tafsir yg lebih belakangan, seperti kitab tafsir karya Imam al-Mawardi, al-Qurthubi atau Ibnu Katsir).

 

Ada juga pendapat ulama dgn sudut pandang objek bicara – yaitu orang sakit, lumpuh dan buta tersebut. Ayat di atas dinilai menegur para penyandang disabilitas supaya berbesar hati dan tak enggan makan bersama orang lain atau berkunjung ke rumah saudara kaum muslimin.

 

Baca juga:

• Kisah Nabi Muhammad dan Sahabat Disabilitas Amr bin Al-Jamuh

• Sudahkah Masjid Memenuhi Hak Beribadah Kelompok Difabel?

 

Keterangan tafsir Surat An-Nur ayat 61 di atas yg juga menyinggung tentang “rumah-rumah” keluarga dan orang-orang terdekat, menunjukkan bahwa menghapuskan stigma dan diskriminasi buat penyandang disabilitas – apalagi diikuti pengasingan dan pemasungan – hendaknya dimulai dari keluarga, tetangga serta orang-orang terdekat.

 

Dengan demikian, dari sudut pandang ajaran Islam, pemasungan dan pembelengguan ialah bentuk diskriminasi dan pengasingan sosial yg tak boleh dilakukan atas penyandang disabilitas. Memberikan respek dan kesamaan hak ialah hal yg mesti dipenuhi, baik buat penyandang disabilitas mental maupun fisik. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.