Macam-macam Pembiayaan pada Perbankan Syariah

Pembiayaan menurut definisi UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ialah usaha perbankan dalam menyediakan uang atau “tagihan yg dipersamakan dgn itu” kepada nasabahnya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dgn pihak lain yg mewajibkan pihak yg dibiayai (nasabah) mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dgn imbalan atau bagi hasil. Tujuan dari pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariahnya ialah peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi nasabah/pihak yg dibiayai. Pembiayaan ini dalam bank konvensional disebut kredit perbankan dgn penetapan bunga. 

Sifat dari pembiayaan suatu perbankan ialah harus dapat dinikmati oleh semua kalangan termasuk pengusaha yg bergerak di bidang industri, manufacture, pertanian, perdagangan dan beberapa segi bidang lainnya. Langkah ini merupakan mutlak harus dilakukan seiring pembangunan nasional membutuhkan upaya membuka seluas-luasnya kesempatan kerja, lembaga yg mampu menunjang produksi dan distribusi barang dan jasa buat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, ruang gerak perbankan syariah harus mencakup juga upaya permodalan sehingga tak hanya berkutat pada aspek industri kecil rumah tangga atau kebutuhan-kebutuhan skala domestik. Ini mutlak harus dilakukan bila berharap perbankan syariah mampu menggantikan segmen perbankan konvensional dari segi pembiayaan. Kebutuhan nasional di bidang ekspor dan impor sementara waktu masih bergantung kepada aplikasi bank konvensional.

Fasilitas yg dilegalkan oleh fiqih buat kebutuhan pembiayaan ini ada tiga, yaitu (1) murabahah, (2) mudharabah, dan 3) musyarakah. 

Pembiayaan Murabahah

Untuk pembiayaan murabahah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, ialah dilaksanakan dgn instrumen jual beli dgn mengambil keuntungan. Murabahah juga berpeluang memberikan permodalan usaha lewat aqad bai’ murabahah bil wa’di lisy syira’ dan bai’ murabahah lil amiri lisy syira’. Praktik tentang ini dapat dilihat pada tulisan yg lalu tentang Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis Syari’ah.

(Baca: Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis Syariah)

Karena pembiayaan murabahah ini dilakukan dgn basis ribhun (laba), baik melalui jual beli secara kredit maupun secara tunai, maka nilai keuntungan (profitabilitas) yg dimiliki oleh perbankan ialah bergantung pada besaran margin keuntungan. Besaran margin ini berasal dari nilai ra’su al-maal ditambah dgn ribhun serta kemungkinan tambahan biaya-biaya administrasi yg dilegalkan oleh syariat. 

Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan mudharabah merupakan produk perbankan yg diterapkan buat kepentingan murni memodali suatu pendirian lapangan usaha. Modal ialah 100% berasal dari pihak bank, sementara partner yg dimodali hanya sekedar menjalankan usaha. Dengan kata lain, pihak perbankan mendirikan perusahaan, sementara yg menjalankan ialah partnernya tersebut. 

Berbeda dgn sifat penyediaan modal lewat jalur murabahah, maka pada permodalan mudharabah, pihak perbankan dapat mendapatkan bagi hasil secara terus menerus selama usaha tersebut masih dijalankan. Besaran keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan pada awal kontrak. Dan apabila terjadi kerugian dalam usaha, maka pihak pemodal (bank), yg sepenuhnya mau menanggungnya. Adapun pelaksana (‘amil), hanya mau dimintai pertanggungan jawab bilamana kerugian tersebut disebabkan sebab keteledorannya. 

Wilayah yg dapat diambah oleh paket mudharabah ini ialah istishna’iy, yaitu pendirian lapangan usaha. Terhadap apakah suatu investasi harus ditentukan oleh “nasabah yg menyerahkan uangnya kepada bank buat diinvestasikan” ataukah perbankan sendiri yg melaksanakan, maka dalam kesempatan ini bergantung pada jenis mudharabah yg diikuti. 

Ada dua jenis aqad pembiayaan mudharabah, yaitu: mudharabah muqayyadah dan mudharabah muthlaqah. 

1. Mudharabah muqayyadah merupakan jenis usaha yg ditentukan oleh pemilik modal atau shohibu al-maal. Istilah lain dari shahibu al-maal ialah rabbu al-maal (pemodal). Dalam wilayah ini yg berperan selaku shahibu al-maal ialah bank itu sendiri. Adapun partner yg dibiayai, berperan selaku mudlarib (pengelola). Ia hanya berhak menjalankan usaha tersebut. Contoh dalam hal ini ialah produk Reksadana Syariah.

Suatu misal: 

Pak Ahmad memiliki beberapa mobil. Ia berkemauan mendirikan rental mobil. Kemudian ia menunjuk salah satu saudaranya (Si Udin) buat menjalankan bisnis tersebut. Semua mobil yg ditentukan Pak Ahmad, dapat dipergunakan buat disewakan oleh saudaranya. Dari setiap kali ada orang yg menyewa mobil, Si Udin mau diberi besaran penghasilan sebesar 25% dari harga sewa. 

Dalam contoh kasus ini, maka Pak Ahmad berperan selaku shahibu al-maal, sementara Si Udin berperan sebagai mudlarib. Mobil yg disewakan merupakan al-maal (harta). Kerja atau usaha Si Udin dalam menjalankan merupakan dharabah dan nisbah pembagian hasil merupakan ribhhun. Pasrah Pak Ahmad kepada Si Udin dgn disertai menunjukkan nisbah keuntungan 25% pemasukan, dan disanggupi oleh Si Udin merupakan ijab-qabul.

2. Mudharabah muthlaqah, merupakan jenis usaha yg diajukan oleh seorang partner (mudlarib), kemudian disetujui oleh pihak shahibu al-maal (bank). Artinya, pihak perbankan di sini bersifat tak menentukan suatu jenis usaha apapun. Ia hanya bersifat memodali dan menerima nisbah pembagian hasil dari perjalanan usaha tersebut. Jenis mudharabah seperti ini yg paling banyak dijumpai pada industri perbankan, baik perbankan syariah maupun konvensional. Contoh dalam hal ini ialah produk Deposito Syariah.

Suatu misal:

Pak Ahmad mau mendirikan Industri Tahu. Karena Ia tak memiliki modal, akhirnya, ia membuat sebuah proposal yg lengkap disertai dgn rincian dan prospek usaha serta peluang keuntungan kepada pihak perbankan syariah. Kemudian, pihak bank menyetujuinya dgn mengucurkan sejumlah dana yg dibutuhkan oleh Pak Ahmad. 

Dana yg diberikan oleh Bank ini sifatnya ialah bukan pinjaman, melainkan amanah kepada Pak Ahmad buat mengelolanya demi kebutuhan pendirian industri sebagaimana yg diajukan oleh Pak Ahmad kepada Bank. Jika untung, maka Bank mau terus menerima nisbah pembagian keuntungannya. Sementara bila rugi, pihak Bank selaku pemodal yg menanggungnya. Pak Ahmad tak berkewajiban menanggung kerugian tersebut, selagi kerugian bukan disebabkan sebab faktor keteledoran dia. 

Lantas bagaimana hubungannya antara “bank” dgn pihak “nasabah” yg dalam hal ini ialah “shâhibu al-mâl” (pemilik harta) sebenarnya? Bilamanakah ada kerugian? Dan bilamanakah ada keuntungan?

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.