Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak kiai yg terhormat. Di kampung saya ada tanah sebelah masjid kosong (mepet masjid) dan itu masih dalam lingkup tanah wakaf masjid. Di situ ditanami buah (pisang, sayuran, ketela ) oleh takmir masjid dan hasilnya buat pribadi.Â
Â
Yang mau saya tanyakan, apakah boleh yg seperti itu. Terimakasih atas perhatiannya. Wassalamu’alaikum warhahmatullahi wabarakatuh. (Muhammad Syafiin/Blora)
Â
Jawaban:
Wa’alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh. Saudara penanya yg kami hormati. Sebelum menanggapi pertanyaan dari saudara Syafiin di Blora, kami mohon maaf atas keterlambatan jawaban ini.
Â
Saudara Syafiin yg dirahmati Allah. Wakaf merupakan anjuran agama Islam yg sangat baik buat dilaksanakan oleh pemeluknya. Orang yg mewakafkan asetnya demi kemaslahatan umum atau sering disebut waqif dijanbilan mau mendapatkan bonus pahala yg mengalir, meskipun ia telah meninggallkan bisingnya kehidupan dunia ini.
Â
Bahkan kebanyakan ulama ketika memberikan penjelasan mengenai hadis yg menjelaskan bahwa diantara amal yg tak putus pahalanya ialah sedekah jariyah, mereka mengartikan bahwa sedekah jariyah tersebut ialah wakaf.
Â
Dalam masalah wakaf ada empat komponen dasar yg tak dapat lepas yakni pihak/orang yg wakaf (waqif), penerima wakaf (al-mawquf alaih) dalam hal ini ialah nadhir maupun pihak-pihak yg menerima wakaf, barang yg diwakafkan (al-mawquf), dan shighat (ijab qabul) dari kedua belah pihak. Dan dalam tiap-tiap komponen ini terdapat persyaratan-persyaratan yg harus dipenuhi.
Â
Selanjutnya mengenai penggunaan barang wakaf dalam hal ini penanaman sekaligus pemanfaatan lahan kosong sebagaimana pertanyaan yg saudara sampaikan pada dasarnya boleh apabila buat kepentingan umum artinya kaum muslimin maupun warga di sekitar berhak mengambil manfaatnya atau hasilnya diperbuatkan buat kepentingan masjid. Adapun si penanam boleh mengambil hasilnya buat kepentingan pribadi, dgn kadar yg paling sedikit diantara nafkah dan ongkos standar (tak boleh lebih dari upah minimal pekerja yg ada di daerah tersebut).
Â
Dasar pengambilan hukum ini ialah kitab I’anah at-Thalibin:
Â
والجواب أن الظاهر من غرسه ÙÙŠ المسجد أنه موقوÙØŒ لما صرØوا به ÙÙŠ Ø§Ù„ØµÙ„Ø Ù…Ù† أن Ù…ØÙ„ جواز غرس الشجر ÙÙŠ المسجد إذا غرسه لعموم المسلمين، وانه لو غرسه لنÙسه لم يجز، وإن لم يضر بالمسجد، ÙˆØيث عمل على أنه لعموم المسلمين ÙÙŠØتمل جواز بيعه وصر٠ثمنه على Ù…ØµØ§Ù„Ø Ø§Ù„Ù…Ø³Ù„Ù…ÙŠÙ†ØŒ وإن لم يمكن الانتÙاع به جاÙا، ويØتمل وجوب صر٠ثمنه Ù„Ù…ØµØ§Ù„Ø Ø§Ù„Ù…Ø³Ø¬Ø¯ خاصة،
Â
Rujukan di atas pada intinya menjelaskan bahwa menanami pohon di tanah yg diwakafkan buat masjid pada dasarnya boleh apabila buat kepentingan kaum muslimin, sedangkan apabila hanya buat dinikmati oleh pribadi, maka hukumnya tak boleh, meskipun tak merugikan masjid. Demikian pula boleh menjual hasil tanamannya bila buat kepentingan kaum muslimin atau hanya kepentingan masjid. Saudara penanya yg dimuliakan Allah. Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa substansi pemanfaatan tanah wakaf sekali lagi ialah buat kepentingan masyarakat luas (‘amat al-muslimin). Bukan buat kepentingan pribadi maupun satu golongan tertentu.
Â
Mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Â
Â
(Maftukhan ad-Damawi)
Â
Uncategorized