Mengenal Imam Mazhab (1): Biografi Abu Hanifah & Kisah Kewarakannya

Sebuah fakta yg tak pernah luput dicatat dalam banyak kitab sejarah mazhab, bahwa Imam Abu Hanifah ialah akar pangkal transmisi keilmuan hukum Islam (fiqih). Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i termasuk orang pertama yg mengakui ini, dan hingga sekarang pandangan beliau terhadap Abu Hanifah masih sangat terang.

 

Adalah Syekh Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) termasuk yg mengabadikan pengakuan as-Syafi’i tersebut. Dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 131) ia menulis:

 

فهو الذي قال فيه الشافعي رضي الله عنه: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

 

Artinya, “Suatu ketika, as-Syafi’i pernah memuji Abu Hanifah. Ia berkata, ‘Transmisi keilmuan umat Islam dalam bidang fiqih berinduk kepada Abu Hanifah’.”

 

Fakta ini nyaris mustahil absen dari memori para santri dan kiai. Ini menjadi bukti bahwa pendiri mazhab Hanafi yg dikenal sebagai pimpinan kaum rasionalis (ahlu ar-ro’yi) itu bukan orang sembarangan. Ia tentu lahir dari keluarga yg tak biasa di hadapan Allah, dan pasti pernah mengukir jejak perjuangan yg tak remeh. Sehingga, Allah terangi keluarga itu sepanjang masa, mengabadikannya dalam sejarah peradaban Islam dunia.

 

Biografi Singkat Abu Hanifah

Abu Hanifah, yg bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zutha ialah seorang ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Ia termasuk imam mazhab kawakan di antara tiga mazhab muktabar lainnya (mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Hanbali). Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H bertepatan dgn tahun 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H atau tahun 767 M.

 

Mengutip Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104), bahwa sang promotor golongan rasionalis ini, namanya masuk dalam daftar atba’ at-tabi’in (pengikut para tabiin), generasi ketiga setelah Nabi. Sebab, kabarnya ia hanya sempat semasa—walaupun tak lama—dgn empat orang sahabat; Anas bin Malik yg tinggal di Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi di Madinah, dan sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah di Makkah. Tapi sayg, tak satu pun pernah ditemuinya.

 

Sedangkan, dalam riwayat lain-kendati tergolong lemah-Abu Hanifah masuk dalam daftar tabiin, santrinya para sahabat Nabi. Karena menurut riwayat ini, ia pernah bertemu dgn sahabat Anas bin Malik, dan meriwayatkan satu hadist tentang kewajiban menuntut ilmu darinya. Ditambah lagi, pada tahun 96 H, Nu’man remaja pernah dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Saat di Masjidilharam, ia sempat bertemu dgn seorang sahabat bernama Abdullah bin al-Harst bin Juzu’ az-Zabidi, dan berhasil meriwayatkan satu hadist lagi.

 

Tanah Kufah menjadi tempat tinggal terlama bagi Abu Hanifah. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana. Sebelum masuk ke dunia santri, putra Nu’man ini ialah seorang wiraswasta. Hari-harinya selalu di pasar, membantu sang ayah berjualan sutra. Saat di rumah, ia sibuk memikirkan bagaimana memproduksi kain-kain sutra pilihan. Karena itu, wajar dirinya dikenal sebagai ulama entrepreneur.

 

Setelah sekian lama menjadi wiraswasta, bahkan sampai menghabiskan separuh masa mudanya, Abu Hanifah pun akhirnya bertolak dari dunia pasar menuju dunia intelektual atas saran seorang ulama bernama as-Sya’bi. Wajar saja bila dia termasuk satu dari sekian ulama yg telat belajar. Namun, hal itu bukan persoalan besar di mata Abu Hanifah. Berkat ketekunan dan kecerdasan yg dimilikinya, mampu mengalahkan orang-orang yg belajar jauh sebelum dirinya. Terkait kisah lengkap Abu Hanifah tentang perpindahan dunianya dari tongkrongan pasar ke halakah ilmiah, mau dibahas di tulisan berikutnya. Insya Allah.

 

Guru-Guru Abu Hanifah

Setelah memutuskan buat mengikuti saran as-Sya’bi, meninggalkan hiruk pikuk dunia perdagangan dan mencurahkan lebih banyak simpati kepada para ulama, ‘santri baru’ itu telah mulai jarang tampak di pasar. Ia mulai menjauh dari kebisingan di tempat itu. Walaupun, sesekali juga menyempatkan diri menyambangi para pelanggan setia dan teman-temannya di sana. Tapi itu dapat dihitung jari. Dalam sepekan, mungkin sekali atau bahkan tak sama sekali. Kesehariannya sibuk dgn mengaji, menghadiri halakah demi halakah para ulama di Kufah.

 

Di antara para ulama, tempat simpuh Abu Hanifah mengambil hadist ialah imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, imam Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar), imam Qatadah, dan syekh Hammad bin Abi Sulaiman (tempat mulazamah terlama, selama 18 tahun). Dari syekh Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dgn transmisi keilmuan yg sampai pada Rasulullah. Sebab, gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yg mana keduanya ialah santri tiga ulama besar; imam al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq bin Ajda’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bin Abi Thalib, gerbang keilmuan baginda Nabi. Keterangan ini ditulis oleh Muhammad Ali as-Sayyis dalam Tarikh al-Fiqih al-Islami (hal. 104).

 

Kisah Warak Abu Hanifah

Suatu ketika, Jubarah bin al-Mughallis bercerita tentang dirinya yg pernah mendengar Qais bin ar-Rabi’ memuji Abu Hanifah. Qais berkata:

 

كان أبو حنيفة ورعا تقيا مفضلا على إخوانه

 

Artinya, “Abu Hanifah ialah seorang amat warak dan benar-benar taat beragama, ia juga gemar menebar kebaikan kepada sesama.”

 

Sebenarnya, ada banyak pengakuan serupa terkait kewarakan imam Nu’man bin Tsabit. Pengakuan itu juga muncul dari orang-orang elit, sekelas imam as-Syafi’i, imam Malik dan seterusnya. Belum lagi pengakuan yg muncul dari para murid dekatnya; orang-orang yg langsung mengaji, satu majelis dgn Abu Hanifah. Seperti imam Abu Yusuf al-Hanafi (wafat 183 H) dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (wafat 198 H).

 

 

Di antara kisah kewarakan Abu Hanifah yg ditulis imam al-Hafidh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam bukunya Manaqib al-Imam Abi Hanifah wa Shahibaihi; Abu Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan (hal. 41), yaitu ketika Abu Hanifah menyedekahkan hasil penjualan baju yg dinilainya syubhat. Suatu ketika, ulama yg juga entrepreneur itu menyuruh salah seorang partner bisnisnya yg bernama Hafsh buat menjual baju komoditas miliknya. Tapi sayg, barang yg hendak dijual itu tak utuh, terdapat cacat pada bagian baju tersebut. Karena itu, Abu Hanifah berpesan:

 

إنّ في ثوب كذا عيبا فإذا بعته فَبَيِّن

 

Artinya, “Di baju ini terdapat cacat, kalau ada yg mau membelinya, beritahulah dahulu di mana bagian cacatnya.”

 

Namun sialnya, Hafsh ini malah lupa pesan Abu Hanifah. Ia langsung menjual baju itu tanpa menunjukkan celanya. Sedangkan, buat menemukan si pembeli tadi telah tak mungkin. Baygkan saja, di tengah pasar yg sangat ramai, dipadati orang-orang tak dikenal datang dari segala penjuru. Mengetahui hal itu, Abu Hanifah langsung menyedekahkan uang hasil penjualan baju tersebut. Kerennya, ia tak marah atas keteledoran itu. Jangankan sampai marah, komentar pun tidak. Malahan, Abu Hanifah menyikapinya dgn senyum ramah. Sungguh luar biasa, ia mampu meneladani akhlak baginda Nabi.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.