Mengenal Nafsu Amarah

Siapa pun yg mau menempuh jalan Allah atau menjadi seorang salik hendaknya menyadari bahwa dirinya tak mau pernah sampai kepada-Nya sebelum mengetahui hakikat nafsu, mengerti karakternya, menentang kemauan buruknya, dan berhasil memenangi pertarungan dgnnya. Namun, memerangi hawa nafsu ialah perkara yg berat. Berat lebih dari memerangi musuh yg kasat mata, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepulang dari salah satu peperangan:

 

قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟ قَالَ: مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ

 

Artinya, “Kalian baru saja pulang dgn baik dari jihad kecil menuju jihad besar.” Pada sahabat bertanya, “Apa itu jihad besar?” Beliau menjawab, “Seorang hamba memerangi hawa nafsunya,” (HR. al-Baihaqi).

 

Artinya, siapa saja yg berhasil mengalahkan dan mengungguli nafsunya, maka dia mau selamat dan bahagia. Sebaliknya, orang yg terkalahkan oleh nafsunya, maka dia mau merugi dan menyesal tiada tara di kemudian hari.

 

Pertanyaannya, mengapa manusia yg mampu mengalahkan nafsunya mau selamat dan bahagia, sedangkan manusia yg terkalahkan nafsunya mau menyesal? Sebab, mereka yg mampu mengalahkan nafsunya mampu menahan diri dan kemauan nafsunya, sehingga berbuah rasa takut dan ketaatan kepada Allah.

 

Sementara manusia yg terkalahkan oleh nafsunya cenderung mau mengikuti kemauannya, melampaui batas, mementingkan kehidupan dunia, bahkan bertindak semena-mena melebihi makhluk tak berakal. Hal ini sejalan dgn firman Allah dalam Al-Qur’an:

 

فَأَمَّا مَنْ طَغَىٰ، وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَىٰ، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ

 

“ Adapun orang yg melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan orang-orang yg takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari kemauan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS an-Nazi‘at [79]: 37-40).

 

Walhasil, nafsu mendorong manusia buat melampai batas dan mementingkan kehidupan dunia, sedangkan Allah mendorong hamba-Nya buat takut dan menahan diri. Posisi hati seorang hamba berada di antara kedua dorongan itu. Sehingga mungkin ia condong kepada keingian nafsu, mungkin condong kepada dorongan Allah. Tak heran bila para ulama menyebut nafsu sebagai tempat ujian dan penyebab petaka manusia yg masih dikendalikan kemauannya. Namun, tak demikian halnya manusia yg mampu mengendalikan nafsunya.

 

Dengan kata lain, saat berhadapan dgn nafsu, manusia terbagi tiga. Pertama, ada yg mampu mengendalikan nafsunya; kedua, ada yg sesekali mampu mengendalikan nafsunya, namun terkadang terkalahkan olehnya; ketiga, ada manusia yg dikuasai sepenuhnya oleh nafsunya.

 

Baca juga: Dua Cara Menahan Amarah Menurut Imam Al-Ghazali

 

Nafsu inilah yg kemudian dikenali oleh al-Ghazali sebagai “nafsu amarah”, nafsu yg tak diterbayg mau kembali kepada Allah, kecuali nafsu yg dirahmati-Nya, sebagaimana dalam Al-Qur’an.

 

وَما أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

 

“Dan aku tak membebaskan diriku (dari kesalahan) sebab sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yg diberi rahmat oleh Tuhanku,” (QS Yusuf [12]: 53).

 

Nafsu amarahlah yg selalu memerintah keburukan, nafsu yg menghimpun kuatnya rasa marah, selalu diikuti sifat-sifat tercela, jauh dari Allah, dan termasuk bala tentara atau langkah setan buat mengarahkan manusia kepada penyesalan dan kebinasaan. Karenanya, nafsu ini wajib diperangi, ditentang kemauannya, dan dikendalikan sebagaimana yg dipesan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. (Lihat: al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma’rifah], Jilid 3, hal. 4).

 

Namun, tak ada yg dapat keluar dari keburukan nafsu dan langkah setan kecuali berkat karunia dan pertolongan Allah, “Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yg mengikuti langkah-langkahnya, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yg keji dan yg mungkar. Sekiranya taklah sebab kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yg dikehendaki-Nya,” (QS. An-Nur [24]: 21). Maka memohonlah kepada-Nya supaya terhindar dari keburukan nafsu dan tipu daya setan.

 

Sementara setan ialah musuh yg nyata bagi manusia, dan pengajak jadi penghuni neraka, maka jangan pernah mengikuti bisikannya, dan jangan pula menjadi golongannya, Sesungguhnya setan itu ialah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), sebab sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yg menyala-nyala, (QS. Fathir [35]: 6).

 

Namun meski dicap sebagai pendorong keburukan, nafsu amarah memiliki manfaat, yakni sebagai lahan jihad, lahan uji diri, sekaligus lawan bertarung, sebagaimana yg dimaksud “jihad akbar” dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara itu, tak ada jihad kecuali mendatangkan kebaikan dan pahala yg besar.

 

Sekali lagi, orang yg hendak menempuh jalan Allah, hendaknya menyadari mau buruknya nafsu amarah yg ada pada dirinya, dan mampu memerangi kemauan buruknya. Sebab, hanya dgn mengetahui tabiaat dan memerangi keburukannya, seorang salik mau mampu melepaskan dari keburukan itu, kemudian menuju nafsu lawamah dan nafsu muthmainnah, dan mendekat kepada Allah. Insya Allah penjelasan tentang dua nafsu terkahir ini mau diuraikan pada kesempatan berikutnya.

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor: Mahbib

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.