Menurut Aswaja, Sejauh Mana Menganggap Kafir Diperbolehkan?

Telah maklum bahwa agama Islam terpecah menjadi sekian banyak golongan keyakinan (firqah) dari masa ke masa. Berbagai macam golongan keyakinan tersebut ada yg dianggap benar dan tak bermasalah meskipun mempunyai nama beraneka ragam, semisal golongan Asy’ariyah (pengikut konsep teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari), golongan Maturidiyah (pengikut konsep teologi Imam Abu Manshur al-Maturidi) dan Thahawiyah (pengikut konsep teologi Imam at-Thahawi).

 

Kesemua nama tersebut hanyalah sekedar perbedaan nama tokoh yg dijadikan guru utama, tetapi ajarannya tak berbeda kecuali dalam perincian-perincian yg memang ijtihadiyah yg sama sekali tak berujung pada penyesatan. Sama seperti dalam dunia fiqih dikenal mazhab empat yg sebenarnya tak berbeda kecuali dalam perincian yg bersifat ijtihadiyah. Semuanya sepakat menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pijakan utama.

 

Di sisi lain, ada kelompok yg dianggap sebagai golongan sesat oleh Ahlusunnah wal Jamaah (Asy’ariyah-Maturidiyah), seperti misalnya: Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah, Mujassimah, Musyabbihah, dan lain sebagainya. Mereka dianggap sebagai kelompok menyimpang oleh mayoritas umat Islam dalam lintas sejarah.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah golongan-golongan teologis yg berbeda dgn mayoritas ulama tersebut dianggap kafir? Siapakah di antara aliran sesat yg layak dikafirkan dan siapakah yg tak layak dikafirkan tetapi hanya dianggap salah dalam hal aqidah?

 

Perlu diketahui bahwa sejarah mencatat Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja; Asy’ariyah-Maturidiyah) sebagai golongan yg paling toleran terhadap semua golongan di luar mereka. Hanya Aswaja sajalah yg dgn tegas menyatakan bahwa mayoritas golongan di luar mereka taklah kafir meskipun mempunyai keyakinan yg berbeda dgn Aswaja. Pendapat yg populer di kalangan Aswaja tentang batas kafir taknya aliran sesat ialah seperti yg dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitamy berikut:

 

والمختار الذي عليه جمهور المتكلمين والفقهاء: أنه لا يكفر أحدٌ من المخالفين في غير الضروري. والجهل به تعالى من بعض الوجوه غير مكفر، وليس أحدٌ من أهل القبلة يجهله تعالى إلا كذلك؛ فإنهم على اختلاف مذاهبهم اعترفوا بأنه تعالى قديمٌ أزليٌّ، عالمٌ قادر، موجدٌ لهذا العالَم

 

“Pendapat yg dipilih, yg diikuti oleh mayoritas ulama ahli kalam dan ahli fiqih, ialah bahwasanya tak seorang pun dari golongan luar dianggap kafir dalam hal selain yg telah diketahui bersama (dlarûriy). Ketaktahuan terhadap Allah Ta’ala dari satu sisi taklah membuat jadi kafir. Tak ada seorang pun dari ahli kiblat (orang-orang yg shalat) yg tak mengetahui Allah kecuali dalam hal itu saja. Mereka semua, dalam berbagai mazhabnya, mengakui bahwa Allah Ta’ala Qadîm tanpa awal mula, Maha-Mengetahui, Maha-Berkuasa, Yang Mencipta alam dunia.” (Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fath al-Mubîn, halaman 164).

 

Dalam bahasan teologi, Aswaja terkenal sangat keras menentang teologi Muktazilah yg berlebihan dalam menyucikan Allah hingga tak mengakui seluruh sifat-Nya dan terhadap teologi Musyabbihah yg berlebihan menetapkan sifat Allah hingga menyerupakannya dgn makhluk. Namun demikian, seperti dinyatakan Imam al-Ghazali berikut ini, Aswaja taklah memvonis kafir mereka melainkan masih dapat memaklumi kesalahpahaman hasil pemikiran mereka.

 

المعتزلة والمشبهة والفرق كلها سوى الفلاسفة، وهم الذين يصدقون ولا يجوزون الكذب لمصلحة وغير مصلحة، ولا يشتغلون بالتعليل لمصلحة الكذب بل بالتأويل ولكنهم مخطئون في التأويل، فهؤلاء أمرهم في محل الاجتهاد. والذي ينبغي أن يميل المحصل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً.

 

“Muktazilah, Musyabbihah, dan sekte-sekte lain seluruhnya selain penganut filsafat ketuhanan Yunani, mereka ialah orang yg membenarkan [risalah Nabi] dan tak menoleransi adanya kebohongan buat alasan maslahat atau selain maslahat. Mereka tak menyibukkan diri buat berapologi membela maslahat kebohongan melainkan mereka mentakwil. Akan tetapi mereka salah dalam takwilnya. Maka, mereka semua berada dalam ruang lingkup ijtihad. Yang selayaknya dilakukan oleh peneliti ialah menjauhi vonis kafir selama ada jalan buat itu”. (al-Ghazali, al-Iqtishad fî al-I’tiqâd, 135)

 

Jadi, yg dianggap kafir hanyalah seseorang yg mengingkari pengetahuan yg telah umum bagi Tuhan, misalnya mengingkari bahwa Tuhan itu ada, tak berawal, Maha-Kekal, Maha-Melihat, Maha-Mendengar, Maha-Mengetahui terhadap hal-hal detail dan seterusnya. Demikian juga orang yg mengingkari adanya kenabian dan adanya alam akhirat. Pengingkaran terhadap pengetahuan umum seperti ini taklah dimiliki oleh umat Islam, baik yg terpelajar maupun yg bodoh, sehingga relatif sulit ditemukan adanya orang atau golongan yg divonis kafir secara mutlak.

 

Baca juga: Memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara Benar

Berbeda dgn Aswaja, golongan lainnya saling mengafirkan apabila melihat ada perbedaan pendapat, bahkan itu dianggap sebagai kewajiban dari agama buat berlepas diri dan mengutuk kesesatan. Imam al-Hafidz Ibnu Asakir mencatat bagaimana pihak di luar Aswaja saling mengafirkan sebagai berikut:

 

فَأَما الْأَصْحَاب فَإِنَّهُم مَعَ اخْتلَافهمْ فِي بعض الْمسَائِل مجمعون على ترك تَكْفِير بَعضهم بَعْضًا بِخِلَاف من عداهم من سَائِر الطوائف وَجَمِيع الْفرق فَإِنَّهُم حِين اخْتلفت بهم مستشنعات الْأَهْوَاء والطرق كفر بَعضهم بَعْضًا وَرَأى تبريه مِمَّن خَالفه فرضا وَظَهَرت مِنْهُم أَمَارَات المعاداة والتباغض كَمَا عرف من فرق الْمُعْتَزلَة والخوارج وَالرَّوَافِض وَمَا ذَلِك إِلَّا من أَمر الله عزوجل عَلَيْهِم وإحسانه فِي الائتلاف مَعَ وجود الِاخْتِلَاف إِلَيْهِم 

 

“Adapun kawan-kawan kami (Asy’ariyah), meskipun mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah, mereka sepakat buat meninggalkan saling vonis kafir. Berbeda dgn kelompok selain mereka dan sekte-sekte islam, ketika mereka berbeda dalam hal pandangan dan metode yg dianggap buruk, maka mereka saling mengafirkan satu sama lain. Mereka menganggap berlepas diri dari dari orang selain kelompok mereka ialah wajib. Dari mereka nampak tanda-tanda permusuhan dan kemarahan seperti diketahui dari kelompok Muktazilah, Khawarij dan Syi’ah. Toleransi dalam Aswaja itu tak lain sebab perintah dan kebaikan Allah ﷻ terhadap mereka supaya tetap rukun dalam perbedaan.” (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, halaman 409)

 

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa yg dianggap kafir hanyalah aliran yg nyata-nyata mengingkari hal-hal pokok yg diketahui secara umum dalam ajaran Islam. Adapun dalam hal yg masih membuka ruang penafsiran, maka pendapat yg populer di kalangan Aswaja ialah tak mengafirkannya. Wallahu A’lam.

 

 

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.