Menyiarkan Nama-nama Orang yg Berkurban Termasuk Riya’?

Pelaksanaan kurban di masyarakat sangat meriah, mulai dari proses penyembelihan hingga pembagian dagingnya, bahkan di beberapa daerah difasilitasi oleh pemerintah setempat. Ini menjadi salah satu bukti bahwa negara kita sebetulnya telah sangat religius dan Islami, tanpa perlu diformalkan dgn simbol-simbol tertentu.

 

Berkait dgn semangat keislaman, sebagian panitia kurban mengambil inisiatif buat menyiarkan nama-nama orang yg berkurban melalui pengeras suara, selebaran kertas atau mengunggahnya di media sosial. Terlepas dari apa pun motifnya, setaknya ada sisi positif dari tradisi tersebut. Pertama, menghargai mudlahhi (pelaksana kurban); kedua, supaya mereka didoakan dan yg paling penting ialah buat menggugah masyarakat supaya turut serta berkurban. 

 

Bagaimana sebetulnya Islam menilai tradisi tersebut?

 

Menyiarkan nama-nama orang yg berkurban mengandung sisi pujian kepada mereka. Dengan disebut nama-namanya, secara tak langsung mau memberi kesan mereka ialah orang baik, dermawan, saleh, dan gemar bersedekah. Simpelnya, orang yg menyiarkan nama-nama mudlahhi, secara eksplisit sebetulnya hendak berkata “ini loh orang baik”, “ini loh orang mulia”, “ini loh orang yg dermawan”, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, secara fiqih hukumnya sama dgn memuji orang lain.

 

Memuji orang lain bila tak dilakukan di hadapannya, hukumnya diperbolehkan dgn catatan tak berlebihan sampai pada taraf berbohong, misalnya diberitakan si A berkurban dua ekor kambing, padahal ia hanya berkurban satu ekor saja. Bila sampai berdampak demikian, maka hukumnya haram dari sisi berbohong, bukan sebab memuji. Pelakunya masuk dalam ancaman keras penyebaran berita dusta yg dijelaskan dalam beberapa ayat dan hadits Nabi.

 

Syekh al-Imam al-Nawawi berkata:

 

فأما الذي في غير حضورِه، فلا منعَ منه إلا أن يُجازف المادحُ ويدخل في الكذب فيحرُم عليه بسبب الكذب لا لكونه مدحاً

 

“Adapun memuji di selain hadapan orang yg dipuji, maka tak tercegah kecuali orang yg memuji berlebihan dan masuk dalam kebohongan, maka haram sebab berbohong, bukan sebab memuji” (Syekh al-Imam al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiyyah, hal. 276).

 

Hukum boleh ini dapat meningkat menjadi sunah bila berdampak kemaslahatan seperti memperlihatkan syi’ar atau memberi teladan kepada orang lain supaya ditiru. Namun ketentuan hukum ini disyaratkan tak berdampak negatif, baik berkaitan dgn orang yg dipuji misalnya mengakibatkan orang yg dipuji menjadi sombong, ujub (membanggakan diri), atau dampak buruk yg kembali kepada masyarakat luas seperti pihak yg dipuji ialah penebar fitnah atau teroris sehingga dgn memberinya sanjungan mau berdampak pencitraan positif atas perilaku menyimpangnya, dalam bahasa lain disebut “promosi gratis”. 

 

Dalam penjelasan di kitab yg sama, al-Nawawi memaparkan:

 

ويُستحبُّ هذا المدح الذي لا كذبَ فيه إذا ترتب عليه مصلحةٌ ولم يجرّ إلى مفسدة بأن يبلغَ الممدوحَ فيفتتن به، أو غير ذلك.

 

“Dan disunahkan memuji yg tak ada kebohongannya ini bila berdampak maslahat dan tak menarik mafsadah, sekira pujian itu sampai kepada orang yg dipuji sehingga ia terfitnah dgnnya atau dampak-dampak lainnya” (Syekh al-Imam al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiyyah, hal. 276).

 

Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Allan memberi komentar atas referensi di atas sebagai berikut:

 

(قوله إذا ترتب عليه مصلحة) بأن ينشط السامعين ذكر ذلك للإقبال على التحلي بما يتحلى به من الكمال –إلى أن قال- أو للتخلي عما كانوا فيه من سوء الأحوال والأفعال ومن ثم ذكر أصحابنا أنه لو ترتب على المدح مفسدة امتنع كأن ذكر ما ظهر من صورة محاسن ذي بدعة لئلا يؤدي ذكرها إلى ترويج بدعته والتدنس بسوء رزيته. 

 

“Ucapan al-Nawawi; bila berdampak kemaslahatan; maksudnya sekira penyebutan sanjungan dapat memberi semangat kepada para pendengarnya buat melakukan perilaku baik sebagaimana perilaku pihak yg dipuji. Atau menghindari dari perbuatan tercela orang-orang yg menyimpang. Karena hal ini, ashab kami menuturkan; bila memuji berdampak mafsadah, maka tercegah, seperti penyebutan kebaikan pelaku bid’ah, supaya penyebutan sanjungan itu tak mengantarkan lakunya perbuatan bid’ahnya dan ternodainya orang lain dgn keburukan perilakunya” (Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Allan al-Bakri al-Shadiqi al-Syafi’i, Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, juz.5, hal. 23).

 

Sedangkan memuji di hadapan orang yg dipuji terdapat hadits-hadits yg saling bertentangan dalam menjelaskan hukumnya, sebagian hadits mengarah kepada hukum boleh atau sunnah, sementara hadits lain cenderung mencegahnya.

 

Di antara hadits yg melarang ialah:

 

أَنَّ رَجُلًا جَعَلَ يَمْدَحُ عُثْمَانَ، فَعَمِدَ الْمِقْدَادُ فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ، وَكَانَ رَجُلًا ضَخْمًا، فَجَعَلَ يَحْثُو فِي وَجْهِهِ الْحَصْبَاءَ، فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ: مَا شَأْنُكَ؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ»

 

“Seorang laki-laki memuji Utsman, lalu al-Miqdad bereaksi kemudian ia duduk di atas dua lututnya, ia ialah laki-laki yg gemuk, lalu ia menaburkan debu di muka laki-laki yg memuji tersebut. Utsman bertanya-tanya, ‘Ada apa dgnmu Miqdad?’ Lalu Miqdad menjawab sesungguhnya Rasulullah berkata, ‘Bila kalian melihat para pemuji, taburkanlah debu di wajah-wajah mereka’ (HR. Muslim).

 

Adapun dalil yg memperbolehkan sangat banyak, di antaranya sanjungan Nabi kepada Sahabat Abu Bakr:

 

يَا أَبَا بَكْرٍ لاَ تَبْكِ، إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبُو بَكْرٍ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا مِنْ أُمَّتِي لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ

 

“Wahai Abu Bakr, jangan menangis, sesungguhnya manusia yg paling terpercaya bagiku di dalam bergaul dan hartanya ialah Abu Bakr. Bila aku mengambil kekasih dari umatku, niscaya aku memilih Abu Bakr” (HR. al-Bukhari).

 

Dalil-dalil yg bertentangan tersebut kemudian diberi jalan tengah oleh para ulama, dalam ushul fiqh disebut “thariqah al-jam’i” (teori kompromi), yaitu sebuah teori dgn cara mengarahkan masing-masing dalil dalam konteks yg berbeda. Dalam persoalan ini, ulama menegaskan bahwa hadits yg melarang diarahkan kepada pujian yg berdampak negatif seperti menyebabkan takabur pihak yg dipuji. Sedangkan hadits yg membolehkan konteksnya ialah sanjungan kepada orang yg memiliki kualitas iman yg baik dan jiwa yg terlatih sekira tak terbuai dgn sanjungan yg ia terima. Bila berdampak demikian, maka hukumnya makruh, bahkan mencapai tingkat makruh yg parah (makruh karahah syadidah).

 

Al-Imam al-Nawawi berkata:

 

قال العلماء وطريق الجمع بين الأحاديث أن يُقال إن كان الممدوحُ عنده كمالُ إيمان، وحسنُ يقين، ورياضةُ نفس، ومعرفةٌ تامة، بحيث لا يفتتن، ولا يغترّ بذلك، ولا تلعبُ به نفسُه، فليس بحرام ولا مكروه، وإن خيف عليه شئ من هذه الأمور، كُرِهَ مدحُه كراهةً شديدة.

 

“Ulama berkata; jalan mengumpulkan di antara hadits-hadits itu ialah, bila orang yg dipuji memiliki kesempurnaan iman, keyakinan yg baik, terlatih jiwayanya dan pengetahuan yg sempurna, sekira tak terfitnah dan terbujuk dgn sanjungan, tak dipermainkan nafsunya, maka menyanjung tak haram, tak makruh. Bila dikhawatirkan demikian, maka haram memujinya dgn tingkat kemakruhan yg parah” (Syekh al-Imam al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiyyah, hal. 276).

 

Kesimpulannya, menyiarkan nama-nama pihak yg berkurban, baik melalui pengeras suara di dunia nyata atau publikasi di media sosial hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan dgn tujuan syi’ar dan memberi teladan apabila memenuhi tiga syarat. Pertama, tak memuat kebohongan. Kedua, tak menutupi kesan negatif para pelaku menyimpang di masyarakat, seperti koruptor, bandar narkoba, dalang kerusuhan, atau sejenisnya. Ketiga, tak berdampak buruk kepada orang yg dipuji, seperti menyebabkan jumawa.

 

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.