Assalamu’alaikum wr. wb. Perkenalkan nama saya Sumiyati berasal dari Klaten. Saya mau bertanya kepada pak ustad mengenai nafkahnya anak zina. Kasus yg saya hadapi ialah lelaki yg menghamili pihak perempuan itu ternyata mengakui bahwa ia memang menghamili, namun ia tak mau menikahinya.<>
Saya permah bertanya kepada seorang tentang nafkahnya. Ia menjelaskan bahwa nafkah anak zina itu menjadi tanggungjawab ibunnya, bukan lelaki yg menghamili ibunya. Dalam pandangan saya sebagai orang awam keterangan orang tersebut sungguh tak adil. Sama-sama melakukan zina tetapi yg harus menanggung semuanya ialah pihak perempuan. Yang mau saya tanyakan apakah ada pandangan dari ulama yg menyatakan bahwa nafkah anak zina dibebankan kepada pihak yg laki-laki yg menjadi bapak biologisnya. Atas penjelasannya kami sampaikan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb.
Penanya yg budiman semoga selalu dirahmati Allah swt. Maraknya kasus perzinahan telah menimbulkan dampak negatif yg luar biasa. Lahirnya anak-anak tanpa seorang ayah, tentunya menjadi beban berat tersendiri kelak bagi si anak tersebut.
Sebelum masuk ke inti persoalan yg ditanyakan, maka hal yg harus dipahami ialah mengenai kedudukan status hukum anak zina dalam fiqh. Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak zina tak dinasabkan kepada ayah biologisnya tetapi dinasabkan kepada ibunya.
 وَوَلَد٠الزّÙنَا لَا ÙŠÙلْØَق٠الزَانÙــي ÙÙÙŠ قَوْل٠الْجÙمْهÙورÙ
“Menurut mayoritas ulama anak zina tak dinasabkan kepada lelaki pezina†(Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 7, h. 130)
Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa anak tersebut dianggap tak memiliki pertalian darah dgn ayah biologisnya, sehingga tanggungjawab sepenuhnya berada dipundak sang ibu, termasuk di dalamnya ialah memberi nafkah.
Bahkan menurut Imam Malik, dan Imam Syafii yg masyhur di kalangan madzhabnya, anak tersebut boleh dinikahi ayah boiologisnya sebab dianggap tak memiliki pertalian darah dgnnya. Di samping itu ayah biologisnya tak berkewajiban memberi nafkah dan warisan. Namun menurut mayoritas fuqaha, meskipun dianggap tak memiliki pertalian darah, sang ayah biologis tetap diharamkan buat menikahinya. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
ÙˆÙŽÙŠÙŽØْرÙم٠عَلَى الرَّجÙÙ„Ù Ù†ÙكَاØ٠ابْنَتÙÙ‡Ù Ù…ÙÙ†ÙŽ الزّÙنَا وَاÙخْتÙه٠وَبÙنْت٠ابْنÙه٠وَبÙنْت٠بÙنْتÙه٠وَبÙنْت٠أَخÙيه٠وَاÙخْتÙÙ‡Ù Ù…ÙÙ†ÙŽ الزّÙنَا ÙÙÙŠ قَوْل٠عَامَّة٠الْÙÙقَهَاء٠وَقَالَ مَالÙÙƒÙŒ وَالشَّاÙÙعÙيّ٠ÙÙÙŠ الْمَشْهÙور٠مÙنْ مَذْهَبÙه٠يَجÙوز٠لَه٠لÙاَنَّهَا اَجْنَبÙيَّةٌ Ù…Ùنْه٠وَلَا تÙنْسَب٠إÙلَيْه٠شَرْعًا وَلَا يَجْرÙÙ‰ التَّوَارÙث٠بَيْنَهÙمَا وَلَا تَعْتÙق٠عَلَيْه٠إÙذَا مَلَكَهَا وَلَا يَلْزَمÙÙ‡Ù Ù†ÙŽÙَقَتÙهَا Ùَلَمْ تَØْرÙمْ عَلَيْه٠كَسَائÙر٠الْاَجَانÙبÙ Â
“Menurut mayoritas fuqaha, haram bagi lelaki menikahi anak perempuannyanya yg dihasilkan dari perzinahan, saudara perempuannya, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan saudara perempuanya. Sedang menurut Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yg masyhur di kalangan madzhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuanya sebab ia ialah ajnabiyyah (tak memiliki hubungan darah), tak dinasabkan kepadanya secara syar’i, tak berlaku di antara keduanya hukum kewarisan, dan ia tak bebas dari laki-laki yg menjadi ayah biologisnya ketika sang yg memilikinya sebagai budak, dan tak ada keharus bagi sang ayah buat member nafkah kepadanya. Karenanya, ia tak haram bagi ayah biologisnya (buat menikahinya) sebagaimana perempuan-perempuan lainâ€. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 7, h. 485).
Namun menurut sebagian ulama dari kalangan madzhab maliki seorang laki-laki yg berzina dgn seorang perempuan kemudian perempuan hamil dan melahirkan seorang anak perempuan, maka si lelaki tersebut tak boleh menikahi anak perempuan tersebut. Ketakbolehan menikahinya ialah sebab di antara keduanya dianggap ada pertalian darah (nasab). Dasar yg digunakan ialah hadits berikut ini; Â
عَن أَبÙÙŠ Ù‡Ùرَيْرَةَ رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠قَالَ قَالَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ كَانَ رَجÙÙ„ÙŒ ÙÙÙŠ بَنÙÙŠ Ø¥ÙسْرَائÙيلَ ÙŠÙقَال٠لَه٠جÙرَيْجٌ ÙŠÙصَلّÙÙŠ Ùَجَاءَتْه٠أÙمّÙÙ‡Ù Ùَدَعَتْه٠Ùَأَبَى أَنْ ÙŠÙجÙيبَهَا Ùَقَالَ Ø£ÙجÙيبÙهَا أَوْ Ø£ÙصَلّÙÙŠ Ø«Ùمَّ أَتَتْه٠Ùَقَالَتْ اللَّهÙمَّ لَا تÙÙ…Ùتْه٠Øَتَّى تÙرÙÙŠÙŽÙ‡Ù ÙˆÙجÙوهَ الْمÙومÙسَات٠وَكَانَ جÙرَيْجٌ ÙÙÙŠ صَوْمَعَتÙÙ‡Ù Ùَقَالَتْ امْرَأَةٌ Ù„ÙŽØ£ÙŽÙْتÙنَنَّ جÙرَيْجًا Ùَتَعَرَّضَتْ Ù„ÙŽÙ‡Ù Ùَكَلَّمَتْه٠Ùَأَبَى Ùَأَتَتْ رَاعÙيًا Ùَأَمْكَنَتْه٠مÙنْ Ù†ÙŽÙْسÙهَا Ùَوَلَدَتْ غÙلَامًا Ùَقَالَتْ Ù‡ÙÙˆÙŽ Ù…Ùنْ جÙرَيْج٠Ùَأَتَوْه٠وَكَسَرÙوا صَوْمَعَتَه٠ÙَأَنْزَلÙوه٠وَسَبّÙوه٠Ùَتَوَضَّأَ وَصَلَّى Ø«Ùمَّ أَتَى الْغÙلَامَ Ùَقَالَ مَنْ أَبÙوكَ يَا غÙلَام٠قَالَ الرَّاعÙÙŠ قَالÙوا نَبْنÙÙŠ صَوْمَعَتَكَ Ù…Ùنْ ذَهَب٠قَالَ لَا Ø¥Ùلَّا Ù…Ùنْ Ø·Ùين٠رواه البخاري
“Dari Abi Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, dahulu di Bani Israil terdapat seorang laki-laki yg bernama Juraij. Ketika ia sedang menjalankan shalat, sang ibu datang dan memanggilnya. Ia pun dalam hati berkata, apakah saya menjawab panggilan ibu atau tetap meneruskan shalat. Kemudian sang ibu mendatanginya dan berdoa, ‘Ya Allah jangan engkau matikan dia sampai Engkau memperlihatkan wajah-wajah wanita pelacur kepadanya. Pada suatu hari Juraij sedang berada di biaranya, lantas ada seorang perempuan berkata (dalam hatinya), ‘sungguh aku mau membuat fitnah kepada Juraij’, ia pun menawarkan dirinya lepada Juraij kemudian mengajak bicara. Akan tetapi Juraij tak menggubrisnya. Lantas si perempuan tersebut pun mendatangi seorang penggembala dan menyerahkan dirinya kepadanya (buat mezinahinya). Setelah beberapa waktu perempuan itu pun mengandung kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Perempuan itu pun kemudian mengatakan bahwa anak laki-laki yg telah dilahirkan ialah anak Juraij. Ketika orang-orang mendengarkan hal tersebut, mereka beramai-ramai mendatangi Juraij, menghancurkan biaranya, kemudian menyeret dan mencaci-makinya. Maka Juraij pun berwudlu dan melakukan shalat, setelah itu mendatangi bayi laki-laki tersebut dan berkata, ‘siapa sebenarnya ayahmu wahai anak bayi laki-laki?’. Si bayi lantas menjawab, ‘(ayahku) ialah si penggembala’. Akhirnya mereka pun berkata kepada Juraij, ‘kami mau membangun kembali biaramu dari emas’. Juraij pun berkata, ‘tak usah, tetapi bangunlah kembali biaraku dari tanah’’ (H.R. Bukhari)
Pertanyaan Juraij kepada si bayi laki-laki, “siapa sebenarnya ayahmu wahai anak bayi laki-laki?†dijadikan dalil oleh mereka buat mendukung pendapatnya. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani wajhud dilalah-nya ialah bahwa Juraij menasabnkan anak hasil zina kepada si pezina dan Allah membenarkan penasaban tersebut dgn sesuatu yg keluar dari kebiasaannya dalam ucapan si bayi laki-laki yg memberikan kesaksiannya bahwa sebenarnya Juraij itu bukan ayahnya.
Lebih lanjtut menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, jawaban si anak bahwa ‘ayahku ialah fulan si pengembala’, menunjukkan bahwa penasaban tersebut ialah sahih. Karenanya, di antara keduanya, yaitu si anak dan si pengembala berlaku hukum anak-bapak kecuali dalam hal pewarisan dan wala` yaitu pewarisan yg diperoleh dari budak yg pernah dimerdekakan ketika bekas budak tersebut meninggal dan tak memiliki ahli waris yg mau mewarisi harta peninggalannya. Pengecualian terhadap pewarisan dan wala` ini didasarkan kepada dalil lain. Karenanya, selain kedua hal tersebut hukumnya tetap berlaku.Â
وَاسْتَدَلَّ بَعْض٠الْمَالÙÙƒÙيَّة بÙقَوْل٠جÙرَيْج٠مَنْ أَبÙوك يَا غÙلَام٠بÙأَنَّ مَنْ زَنَى بÙامْرَأَة٠Ùَوَلَدَتْ بÙنْتًا لَا ÙŠÙŽØÙلّ لَه٠التَّزَوّÙج بÙتÙلْكَ الْبÙنْت Ø®ÙلَاÙًا Ù„ÙلشَّاÙÙعÙيَّة٠وَلÙابْن٠الْمَاجÙØ´Ùون٠مÙنْ الْمَالÙÙƒÙيَّة . وَوَجْه٠الدَّلَالَة٠أَنَّ جÙرَيْجًا نَسَبَ اÙبْنَ الزّÙنَا Ù„ÙلزَّانÙÙŠ وَصَدَّقَ اللَّه Ù†Ùسْبَتَه٠بÙمَا خَرَقَ Ù„ÙŽÙ‡Ù Ù…Ùنْ الْعَادَة ÙÙÙŠ Ù†Ùطْق الْمَوْلÙود بÙشَهَادَتÙه٠لَه٠بÙØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ ØŒ وَقَوْلÙه٠أَبÙÙŠ ÙÙلَانٌ الرَّاعÙÙŠ ØŒ Ùَكَانَتْ تÙلْكَ النّÙسْبَة صَØÙÙŠØَةً Ùَيَلْزَم٠أَنْ يَجْرÙÙŠ بَيْنهمَا Ø£ÙŽØْكَام٠الْأÙبÙوَّة٠وَالْبÙÙ†Ùوَّة٠، خَرَجَ التَّوَارÙØ« وَالْوَلَاء بÙدَلÙيل٠ÙَبَقÙÙŠÙŽ مَا عَدَا Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ عَلَى ØÙكْمÙÙ‡Ù
“Sebagian ulama dari kalangan madzhab malik berdalili dgn perkataan Juraij, ‘siapa sebenarnya ayahmu wahai anak bayi laki-laki?’ bahwa laki-laki yg berzina dgn seorang perempuan kemudian si perempuan tersebut melahirkan seorang anak perempuan maka tak halal bagi si laki-laki tersebut buat menikahinya, berbeda dgn pandangan madzhab syafi’i dan Ibn al-Majisyun ulama dari kalangan madzhab maliki. Dan wajhud dilalah-nya ialah bahwa Juraij menasabakan anak zina kepada si pezina dan Allah swt membenarkan penasaban tersebut dgn sesuatu yg keluar dari kebiasaannya dan tampak dalam perkataan si anak yg memberikan kesaksiannya kepada Juraij atas hal tersebut. Dan pernyataan, ‘ayahku ialah fulan si pengembali’ maka menunjukkan bahwa penasaban tersebut ialah sahih. Karenanya, berlaku di antara keduanya (si anak dan si pengembala) hukum bapak-anak kecuali dalam hal pewarisan dan wala` sebab ada dalil lain. Maka selain keduanya (pewarisan dan wala`) status hukukmnya masih tetapâ€. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Bairut-Dar al-Ma’rifah, 1379 H, juz, 6, h. 483) Â
Konsekwensi dari pandangan ini bahwa nafkah termasuk di dalamnya biaya pendidikan si anak menjadi tanggungjawab ayah biologisnya, kecuali terkait soal pewarisan dan wala`. Dan penjelasan ini bila ditarik dalam konteks pertanyaan di atas maka jawabnya ialah ada pandangan ulama yg menyatakan bahwa nafkah anak zina atau anak luar nikah dibebankan kepada ayah biologisnya.
Demikian penjelasan yg dapat kami kemukakan. Semoga bermanfaat, dan perlakukanlah seorang anak dgn baik meskipun ia lahir akibat perzinahan, sebab ia tak berhak menanggung kesalahan kedua orang tuanya. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, wassalamu’alaikum wr. wb. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)