‘Nusyuz’ dalam Etika Pergaulan Suami Istri Menurut Ulama Tafsir

Di dalam Al-Qur’an, telah disebutkan bahwa seorang suami hendaknya mempergauli istrinya dgn jalan yg ma’ruf. Istilah ma’ruf, menurut terminologi bahasanya sering dimaknai sebagai ‘baik’. Menurut pengertian syara’nya, sebuah perbuatan ma’ruf sering diartikan sebagai:

 

كل ما يعرفه الشرع ويأمر به ويمدحه ويثني على أهله، ويدخل في ذلك جميع الطاعات، وفي مقدمتها توحيد الله عز وجل والإيمان به

 

Artinya, “segala sesuatu yg memiliki landasan syara’, diperintahkan, dipuji atau dihimbaukan kepada para ahlinya. Padanya terdapat sekumpulan perbuatan ketaatan, dan yg paling utama di antara ketaatan itu ialah mentauhidkan Allah Azza Wa Jalla dan sekaligus mengimanani-Nya” (Abdul Aziz al-Rajihy, al-Qaul al-Bayyin al-Adhar fi al-Da’wati Ila Allahi wa Al-Amri bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, [Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt], h. 8).

 

Di sisi lain ma’ruf kadang juga diartikan sebagai:

 

كل قول حسن وفعل جميل وخلق كامل للقريب والبعيد

 

Artinya, “Segala bentuk ucapan yg baik, perbuatan yg indah, dan akhlak yg sempurna, baik buat konsekuensi jangka waktu dekat maupun jauh.” (Abdul Aziz al-Rajihy, al-Qaul al-Bayyin al-Adhar fi al-Da’wati Ila Allahi wa Al-Amri bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, [Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt], h. 8).

 

Jadi, dgn melihat definisi ini maka perintah mempergauli istri dgn baik itu sebagaimana diperintahkan oleh Syari’ (Allah Ta’ala) di dalam Al-Qur’an, ialah juga bermakna sebagai perintah mengeluarkan kata-kata yg baik kepada pasangan, sikap yg baik dalam perbuatan, serta akhlak yg sempurna, atau setaknya yg mendekati sempurna buat menjaga konsekuensi logisnya di masa yg mau datang, dalam jangka waktu dekat atau jauh. Konsekuensi logis yg dimaksud di sini, salah satunya ialah antisipasi terhadap perbuatan “nusyuz” dari istri.

 

‘Nusyuz’ dalam Al-Qur’an disinggung sebanyak dua kali. Pertama, nusyuz disinggung dalam Surat Al-Nisa’ [4] ayat 34; dan kedua, disinggung dalam Surat Al-Nisa’ [4] ayat 128.

 

Di dalam Surat al-Nisa’ [4] ayat 34, Allah SWT berfirman:

 

﴿ٱلرِّجَالُ قَوَّ ٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡض وَبِمَاۤ أَنفَقُوا۟ مِنۡ أَمۡوَ ٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰت لِّلۡغَیۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللهُ وَٱلَّـٰتِی تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِی ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوا۟ عَلَیۡهِنَّ سَبِیلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیّا كَبِیرا﴾ [النساء ٣٤]

 

Artinya, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yg lain (perempuan), dan sebab mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yg saleh ialah mereka yg taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tak ada, sebab Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yg kamu khawatirkan mau nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi bila mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan buat menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”

 

Sementara itu di dalam Surat Al-Nisa [4] ayat 128, Allah SWT berfirman:

 

﴿وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضا فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡهِمَاۤ أَن یُصۡلِحَا بَیۡنَهُمَا صُلۡحاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَیۡرۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرا﴾ [النساء ١٢٨]

 

Artinya, “Dan bila seorang perempuan khawatir suaminya mau nusyuz atau bersikap tak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yg sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan bila kamu memperbaiki (pergaulan dgn istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan.”

 

Dilihat dari sisi penyandaran pada kedua ayat di atas, lafadh nusyuz pada ayat pertama, disandarkan pada (1) kepemimpinan seorang suami dalam lingkup rumah tangga terhadap istrinya sebab kelebihan yg dianugerahkan kepada suami, dan (2) sesuatu yg diberikan oleh suami kepada istrinya berupa nafkah dan mahar. Karena faktor keduanya ini, lantas hadir tuntutan sebagaimana termaktub dalam lafadh al-shalihatu qanitatun hafidhatun li al-ghaibi bi ma hafidha allah (perempuan shalihah itu perempuan yg gemar ber-imadah, menjaga diri saat suaminya tak ada di rumah dgn penjagaan sebagaimana yg telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya).

 

Sementara dalam ayat kedua, lafadh ‘nusyuz’, justru berlaku sebaliknya, yaitu ketakutan seorang istri dari perbuatan nusyuz suami, berpaling atau bersikap acuh tak acuh. Walhasil, penggunaan lafadh nusyuz di dalam Al-Qur’an, ternyata juga berlaku bagi suami dan tak hanya pada istri saja. Sekarang mari kita lihat kajian nusyuz ini dari para mufassir!

 

Mufassir pertama, kita ruju’ pada Tafsir ath-Thabari (w. 310 H). Ketika menafsiri Surat Al-Nisa [4] ayat 34, dan sampai pada penggalan ayat ‘wal lâti takhâfûna nusyûzahunna’ (ketika seorang istri kalian khawatirkan sikap nusyuz-nya), ath-Thabari (w. 310 H) menyatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ta’wil.

 

Sebagian ahli ta’wil melakukan pengalihan makna terhadap bunyi teks ‘al-khauf’ sebagai ‘al-ilmu’, sehingga makna bergeser dari sebelumnya memiliki pengertian ‘takut’ menjadi berpengertian ‘tahu’. Namun, unsur ‘tahu’ di sini juga memuat pengertian ‘dhan’ (prasangka) sehingga lebih pasnya bila lafadh ‘takhafuna’ dalam ayat di atas, dialihkan maknanya sebagai ‘kalian menduga’.

 

Akan tetapi, mayoritas ahli ta’wil memiliki pengertian yg kiranya agak berbeda dgn di atas. Sebagaimana disampaikan oleh ath-Thabari (w. 310 H), mayoritas ahli ta’wil sepakat mengalihkan makna ayat sebagai:

 

إذا رأيتم منهن ما تخافون أن ينشزن عليكم، من نظر إلى ما لا ينبغي لهن أن ينظرن إليه، ويَدخُلن ويخرجن، واسترْبتم بأمرهن، فعِظُوهن واهجروهنّ

 

Artinya: “Apabila kalian melihat istri-istri kalian, lalu kalian timbul rasa takut mau perbuatan nusyuz-nya atas diri kalian, sebab melihatnya mereka kepada sesuatu yg tak sepatutnya mereka lihat, mereka masuk dan keluar semaunya sehingga menimbulkan rasa ragu pada diri kalian atas ulahnya, maka nasehati mereka, dan pisahilah mereka dari rangjangnya.” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman 64).

 

Ath-Thabari (w.310) secara spesifik memberikan kesimpulan terhadap makna ‘khauf’ dalam ayat ini sebagai:

معنى”الخوف” في هذا الموضع: الخوف الذي هو خلاف”الرجاء”

 

Artinya, “Makna ‘khauf’ pada ayat ini ialah seolah bermakna sebagai takut yg merupakan lawan dari ‘al-raja’ (pengharapan mau terjadinya sesuatu).” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman 64).

 

Mungkin lebih pasnya, ‘al-khauf’ di sini ialah semakna dgn ‘kekhawatiran mau terjadinya sesuatu’. Dengan demikian, seolah ayat berbicara dgn konteks ketika seorang suami sangat mengkhawatirkan timbulnya sikap ‘nusyuz’ dari istri, disebabkan adanya gejala mereka suka keluar masuk rumah dan pergi seenaknya sendiri tanpa adanya izin dari suami (sebagaimana pengertian ini telah disampaikan sebelumnya), maka disarankan bagi suami buat menasehatinya atau melakukan pisah ranjang dgn pasangannya.

 

Sementara itu, pengertian ‘nusyuz’ dalam kitab yg sama, ath-Thabari (w. 310 H) memberikan penjelasan:

 

وأما قوله:”نشوزهن”ØŒ فإنه يعني: استعلاءَهن على أزواجهن، وارتفاعهن عن فُرُشهم بالمعصية منهن، والخلاف عليهم فيما لزمهنّ طاعتهم فيه، بغضًا منهن وإعراضًا عنهم

 

Artinya, “Adapun firman Allah SWT: ‘nusyuzahunna’, maka yg dimaksud dari penggalan ayat ini ialah sikap tinggi hatinya istri (isti’la) terhadap suami, dan keberaniannya meninggalkan firasy mereka (personifikasi dari suami) dgn jalan membangkang, serta berani melakukan hal yg seharusnya terikat pada mereka berupa taat suami (mengingat hubungan suami istri), dgn jalan marah serta berpaling dari suami.” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman 64).

 

Lafadh firasy, dalam hal ini merupakan personifikasi dari suami, yg maksudnya ialah hak suami atas mereka melalui hubungan persenggamaan (jima’). Jadi, pengertian berpaling meninggalkan firasy ialah seolah sama pengertiannya dgn berpaling dari meninggalkan hak suami buat menggaulinya lewat hubungan persenggamaan. Berpalingnya ini dapat disebabkan sebab dua hal, yaitu: sebab sikapnya dalam menolak ajakan suami atau sebab kepergiannya mereka yg tak pamit kepada suami dgn alasan yg tak dikuatkan oleh syariat. Contoh alasan yg dapat dibenarkan oleh syariat misalnya: ‘rutinitas kerja, atau adanya perjanjian kontrak kerja yg mengharuskan si istri meninggalkan rumah pada jam kerja. Ini ialah contoh alasan yg dikuatkan oleh syariat.

 

Walhasil, berdasarkan penafsiran di atas, hak suami mendapatkan pelayanan dari istri lewat persenggamaan ini ialah hak yg dikuatkan oleh syariat dan mendapatkan legitimasinya sehingga dapat menutup hak lain, bila hak tersebut tak dikuatkan oleh syariat pula. Contoh hak lain yg tak dikuatkan syariat misalnya: keluarnya istri dari rumah suami buat mengunjungi orang tua atau pergi ke mall buat bersenang-senang atau jalan-jalan yg tak ada kaitannya dgn kewajiban yg bersifat mengikat dgn suami seiring adanya ikatan suami istri. Kepergian ini merupakan yg tak dikuatkan oleh syariat, sehingga kewajiban izin istri kepada suami, belum gugur tanpa adanya keridlaannya.

 

Lain halnya bila perginya istri ada hubungannya dgn pemenuhan haknya buat menyempurnakan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Semisal, belanja di warung buat kebutuhan masak, atau membelikan baju ganti buat anak yg telah tak layak, maka keluarnya istri dalam kondisi demikian, meskipun tanpa seizin suami, tak dapat dipandang sebagai tindakan nusyuz, mengingat ada beban wajib lainnya yg ada kaitannya (iltizam) dgn mu’asyarah bi al-ma’ruf dalam keluarga.

 

Sampai di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ‘nusyuz’ merupakan tindakan berpalingnya istri dari suami, meninggalkan kewajibannya dalam rumah tangga, yg dilakukan dgn kondisi marah atau maksiat, dan meninggalkannya itu tanpa dilandasi oleh alasan yg dikuatkan oleh syariat. Adapun kepergian istri meninggalkan rumah dgn alasan yg dibenarkan dan dikuatkan syariat, maka kepergian ini tak dapat dikategorikan sebagai tindakan nusyuz, meskipun tanpa seizin suami. Kunci utama ‘nusyuz’ ada pada tindakan meninggalkan melayani suami dalam urusan firasy (hubungan persenggamaan) tanpa alasan yg benar menurut syara’. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah – PW LBMNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.