Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas

Oleh Ahmad Muntaha AM
A. Pengertian Disabilitas
Merujuk UU No 04 tahun 1997, penyandang disabilitas yg dibahasakan dgn istilah penyandang cacat diartikan sebagai setiap orang yg mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yg dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya buat melakukan secara selayaknya, yg terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b) penyandang cacat mental; dan c) penyandang cacat fisik dan mental. Lebih lanjut undang-undang ini menjelaskan:

a. Cacat fisik ialah kecacatan yg mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara;

b. Cacat mental ialah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit;

c. Cacat fisik mental ialah keadaan seseorang yg menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

Dari sini dapat diketahui, bahwa maksud disabilitas ialah kelainan fisik dan/atau mental, yg dapat mengganggu atau menjadi rintangan bagi penyandangnya buat melakukan aktivitas sebagaimana umumnya orang.

B. Penyandang Disabilitas dalam Perspektif Al-Qur’an, Hadits, dan Ulama Mazhab

Dalam perspektif Islam, penyandang disabilitas identik dgn istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzâr: orang-orang yg mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur.

Nilai-nilai universalitas Islam seperti al-musawa (kesetaraan/equality: Surat Al-Hujurat: 13), al-‘ialah (keadilan/justice: Surat An-Nisa: 135 dan Al-Maidah ayat 8), al-hurriyyah (kebebasan/freedom: Surat At-Taubah ayat 105) dan semisalnya, sebagaimana Keputusan Muktamar NU Ke-30 tahun 1999 di Kediri  meniscayakan keberpihakan terhadap penyandang disabilitas sekaligus menegasi sikap dan tindakan diskriminatif terhadap mereka.

Lebih spesifik Al-Quran, Hadits, dan pendapat para ulama secara tegas menyampaikan pembelaan terhadap penyandang disabilitas:

1. An-Nur ayat 61:
 

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ … (النور: 61)

Artinya, “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua buat makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian …” (Surat An-Nur ayat 61).

Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yg bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial, sebagaimana penjelasan Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam (I/406):

 

 

يَقُولُ الله جَلَّ ذِكْرُهُ مَا مَعْنَاهُ: لَيْسَ عَلَى أَهْلِ الْأَعْذَارِ وَلَا عَلَى ذَوِي الْعَاهَاتِ (الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْمَرِيضِ) حَرَجٌ أَنْ يَأْكُلُوا مَعَ الْأَصِحَّاءِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى يَكْرَهُ الكِبْرَ وَالْمُتَكَبِّرِينَ وَيُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ التَّوَاضُعَ.

Artinya, “Substansi firman Allah Ta’ala (Surat An-Nur ayat 61) ialah bahwa tak ada dosa bagi orang-orang yg punya uzur dan keterbatasan (tunanetra, pincang, sakit) buat makan bersama orang-orang yg sehat (normal), sebab Allah Ta’ala membenci kesombongan dan orang-orang sombong dan menyukai kerendahhatian dari para hamba-Nya.”

Bahkan dari penafsiran ini menjadi jelas bahwa Islam mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih diskriminasi yg berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlaqul karimah.

2. ‘Abasa 1-11:

 

 

 

 

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10) كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (11) … (عبس/1-11)

Artinya, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seorang tuna netra telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali ia mau menyucikan dirinya (dari dosa). Atau ia mau mendapatkan pengajaran yg memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yg merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memperhatikan mereka. Padahal tak ada (cela) atasmu kalau ia tak menyucikan diri (beriman). Adapun orang yg datang kepadamu dgn bersegera (buat mendapatkan pengajaran), sementara ia takut kepada Allah, engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu). Sungguh (ayat-ayat/surat) itu ialah peringatan. …” (Surat ‘Abasa ayat 1-11).

Ulama mufassirin meriwayatkan, bahwa Surat ‘Abasa turun berkaitan dgn salah seorang sahabat penyandang disabilitas, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum yg datang kepada Nabi Muhammad SAW buat memohon bimbingan Islam namun diabaikan. Kemudian turunlah Surat ‘Abasa kepada beliau sebagai peringatan supaya memperhatikannya, meskipun tunanetra. Bahkan beliau diharuskan lebih memperhatikannya ketimbang para pemuka Quraisy. Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW sangat memuliakannya dan bila menjumpainya langsung menyapa:

 

 

 

 

مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي

Artinya, “Selamat wahai orang yg sebabnya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku.”

Semakin jelas, melihat sababun nuzul Surat ‘Abasa, Islam sangat memperhatikan penyandang disabilitas, menerimanya secara setara sebagaimana manusia lainnya dan bahkan memprioitaskannya.

3. Hadits Abu Dawud

 

 

 

 

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ الرَّجُلَ لَيَكُونَ لَهُ الدَّرَجَةُ عِنْدَ اللهِ لَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ حَتَّى يُبْتَلَى بِبَلَاءٍ فِي جِسْمِهِ فَيَبْلُغَهَا بِذَلِكَ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)  

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya suatu derajat di sisi Allah yg tak mau dicapainya dgn amal, sampai ia diuji dgn cobaan di badannya, lalu dgn ujian itu ia mencapai derajat tersebut,’” (HR Abu Dawud).

Hadits ini memberi pemahaman bahwa di balik keterbatasan fisik (disabilitas) terdapat derajat yg mulia di sisi Allah ta’ala.

4. Pendapat Imam Al-Qurthubi

Berkaitan perintah shalat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 43, pemuka ulama ahli tafsir asal Cordova Spanyol, Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H/1273 M), menyatakan:

 

 

 

 

وَلَا بَأْسَ بِإِمَامَةِ الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْأَشَلِّ وَالْأَقْطَعِ وَالْخَصِيِّ وَالْعَبْدِ إِذَا كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَ عَالِمًا بِالصَّلَاةِ.  

Artinya “Tunanetra, orang pincang, orang lumpuh, orang yg terputus tangannya, orang yg dikebiri, dan hamba sahaya tak mengapa menjadi imam shalat bila masing-masing dari mereka mengetahui tatacara shalat.”

Imam Al-Qurtubi dan para ulama lainnya tak mempermasalahkan disabilitas. Menurutnya, penyandang disabilitas  semisal tunanetra, tunadaksa dan lainnya boleh-boleh saja menjadi imam shalat asalkan mengetahui tatacaranya. Hal ini meniscayakan pengakuan Islam atas peran para penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan bahkan dalam peribadahan.

5. Pendapat Imam Ar-Ramli As-Shaghir

Ketika menjelaskan syarat mahram yg menemani wanita saat bepergian Imam Ar-Ramli As-Shaghir (919-1004 H/1513-1596 M), mufti Syafi’i negeri Mesir pada masanya ini menyatakan:

 

 

 

 

وَاشْتِرَاطُ الْعَبَّادِيِّ الْبَصَرَ فِيهِ مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ لَا فِطْنَةَ مَعَهُ وَإِلَّا فَكَثِيرٌ مِنْ الْعُمْيَانِ أَعْرَفُ بِالْأُمُورِ وَأَدْفَعُ لِلتُّهَمِ وَالرِّيَبِ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْبُصَرَاءِ

Artinya, “Pengajuan syarat mampu melihat bagi mahram yg menemani wanita saat berpergian oleh Al-‘Abbadi diarahkan dalam konteks orang yg tak mempunyai kecakapan. Di luar konteks itu, maka banyak tunanetra yg lebih mengetahui berbagai permasalahan dan lebih mampu menolak kesalahpahaman dan praduga ketimbang orang-orang yg dapat melihat.”

Pendapat ulama ini terang-terangan mengakui dan mengapresiasi peran penyandang disabilitas dalam menjaga kehormatan dan keselamatan para mahram atau keluarganya.

C. Implementasi Keberpihakan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas

Pandangan Islam sebagaimana uraian di atas menegaskan semangat keberpihakan Islam terhadap penyandang disabilitas. Implementasi keberpihakan Islam terhadap penyandang disabilitas dilakukan dgn beberapa hal sebagai berikut:

1. Mengarusutamakan pemahaman bahwa Islam memandang penyandang disabilitas setara dgn manusia lainnya.

2. Mendorong penyandang disabilitas buat mensyukuri segala kondisi dirinya sebagai berkah dari Allah SWT.

3. Mendorong penyandang disabilitas buat bersikap optimis, mandiri dan mengoptimalkan segala potensinya buat hidup dan berperan secara lebih luas di tengah kehidupan masyarakat sebagaimana umumnya.

4. Mendorong penyadang disabilitas buat memperjuangkan hak-hak asasinya: baik hak di bidang pendidikan, sosial, hukum, politik, ekonomi, maupun hak-hak lainnya.

5. Menentang segala sikap dan perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas baik yg dilakukan oleh individu, masyarakat maupun lembaga.

6. Mendukung advokasi terhadap penyandang disabilitas oleh masyarakat, pemerintah, organisasi-organisasi lainnya.

*) Penulis ialah Wakil Sekretaris LBM PWNU Jawa Timur.

 

 

 

 

 

 

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.