– Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal-nya (BPJPH) dinilai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tak serius dalam menangani sertifikat halal sebagaimana amanah undang-undang.
Hal itu lantaran Kementerian Agama
menyerahkan besaran tarif layanan sertifikat halal pada standar besaran tarif
di MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI.
“Dalam kaitan sertifikasi lebih
baik lembaga yg ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar
Nasional Indonesia diperkuat sebagai pelaksana sertifikasi,†kata Ketua Umum
PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta, dikutip dari situs resmi NU, Minggu, 8
Desember 2019.
Sebelumnya, kata Kiai Said, PBNU telah
menyampaikan rekomendasi kepada pembentuk undang-undang buat melakukan revisi
menyeluruh terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Pihaknya menilai regulasi terkait
jaminan produk halal bertentangan dgn kaidah hukum, aspek sosiologis, dan
aspek yuridis di samping ketidaksiapan Kemenag dalam mengimplementasikannya.
Maka dari itu, PBNU melaygkan surat
rekomendasinya kepada Ketua DPR RI yg juga ditembuskan kepada Presiden RI,
Ketua Komisi VIII DPR RI, dan Badan Legislasi DPR RI.
“Kami setuju dgn rekomendasi
PBNU buat pembatalan UU Jaminan Produk Halal. Kami setuju layanan sertifikat
halal menjadi kewenangan BPOM RI,” kata Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail
(LBM) PBNU KH Sarmidi Husna.
Diketahui, Menteri Agama RI mengeluarkan
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi
Halal yg ditandatangani pada 12 November 2019.
KMA Nomor 982 Tahun 2019 ini menyatakan bahwa
besaran tarif layanan sertifikat halal hingga kini belum ditetapkan.
Besaran tarif layanan sertifikat halal
buat sementara mengikuti besaran tarif yg berlaku pada MUI dan LPPOM MUI.
Penyerahan tarif sementara sesuai
besaran tarif pada MUI dan LPPOM MUI dalam KMA Nomor 982 Tahun 2019 bersifat
sementara sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait
jaminan produk halal berlaku.